Produksi narasi-narasi ketahanan politik menghadapi pandemi tidak melulu didominasi bahasa resmi. Penggunaan bahasa semiformal dan bahasa tutur yang mudah dipahami juga penting untuk disampaikan.
Oleh
Wawan Sobari
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 tak hanya menimbulkan disrupsi sosio-ekonomi. Politik kelembagaan di Tanah Air mengalami imbas serupa. Respons dan regulasi pemerintah dalam penanganan wabah menjadi sorotan warga.
Dua survei nasional tentang kinerja pemerintah dalam penanganan Covid-19 menunjukkan hasil relatif seragam. Survei SMRC (9-12 April) menemukan 41 persen responden menilai pemerintah lambat/sangat lambat dan 52 persen menilai cepat/sangat cepat menangani wabah. Sementara riset opini Median (6-13 April) menemukan publik yang tidak puas (40,1 persen) dan puas (52,4 persen).
Mengapa respons positif terhadap kinerja pemerintah tidak absolut di mata publik?
Eksplanasi kelembagaan
Penjelasan pintas atas hasil penilaian kinerja pemerintah bisa saja dengan mengaitkan antara angka kepuasan dan situasi politik masa Pilpres 2019. Perolehan suara pilpres (55,32 persen berbanding 44,68 persen) tidak terpaut jauh dari nilai persepsi penanganan wabah. Angka itu menggambarkan situasi keterbelahan politik tidak sepenuhnya luruh pascapilpres.
Meskipun tampak logis, eksplanasi keterbelahan terlalu menyederhanakan upaya-upaya penanganan wabah. Analisis kelembagaan baru fase ketiga bisa membantu menjelaskan efektivitas upaya-upaya ketahanan politik pemerintah selama masa pandemi.
Lowndes dan Roberts (2013) menggunakan tiga pilar teoretis yang menjelaskan pilihan perilaku dan dampak politik, yaitu rules (aturan), practices (tindakan), dan narratives (narasi).
”Dalam pilar pertama, keberhasilan upaya-upaya penanganan pandemi dan berbagai dampak disruptifnya bergantung pada mekanisme yang tampak dan tercatat (formal). Langkah-langkah terlegitimasi berbasis aturan formal dinilai tepat atau efektif saat darurat. Penerjunan aparat untuk menerapkan aturan dan menertibkan pelanggar bisa mengatasi masalah-masalah yang ditimbulkan pandemi.
Penjelasan kedua mengandalkan kekuatan-kekuatan praktik informal. Di luar cara-cara resmi, norma, nilai, hubungan antara pemimpin dan pengikut, dan praktik informalitas lainnya lebih otoritatif mengarahkan perilaku warga. Intinya, penggunaan unsur atau aktor informal (di luar negara) tak kalah efektif menangani wabah beserta dampak turunannya.
Intinya, kekuatan mengarahkan tindakan dan dampak pilihan politik diperoleh melalui perilaku dan pengulangan, bukan semata mengandalkan legitimasi regulasi.
Pilar ketiga mengandalkan kekuatan cerita dan gagasan guna membingkai makna aturan dan efektivitas implementasi penanganan pandemi. Pembingkaian makna melalui penjelasan, dialog, dan langkah-langkah implementasi mendorong keberhasilan penanganan wabah beserta dampak ikutannya. Dengan kata lain, keberhasilan konstruksi narasi ikut meyakinkan pilihan tindakan politik pemerintah demi rakyat.
Tiga pilar teoretis itu secara implisit menjelaskan bahwa faktor formal peran pemerintah bukan satu-satunya penjelasan pendapat publik atas kinerja pemerintah. Keterlibatan pihak-pihak di luar pemerintah ikut mengonstruksi persepsi publik atas penanganan wabah.
Selain itu, di era digital, informasi yang tersirkulasi secara cepat dan sulit dikendalikan ikut mereduksi pembingkaian makna kebijakan dan tindakan pemerintah. Maka, persepsi publik yang terekam dalam survei merupakan kombinasi aturan, tindakan, dan narasi.
Reinterpretasi
Pelajaran dari dua hasil jajak pendapat itu adalah pentingnya reinterpretasi kondisi kedaruratan karena pandemi. Penetapan kedaruratan sebaiknya bukan dilihat dari kacamata tunggal sebagai upaya penanganan wabah, melainkan sebagai ketahanan atas perubahan yang ditimbulkan oleh pandemi.
Dengan sudut pandang ketahanan, kegentingan karena situasi wabah bukan alasan bagi negara untuk semata mengandalkan kekuatan legitimasi aturan dan aparat dalam penanganan wabah.
Perspektif ketahanan memandang pentingnya upaya untuk membuka lebar ruang gotong royong, selain membangun kepercayaan melalui transparansi.
Ketahanan politik menganjurkan tiga kapasitas lembaga politik berhadapan dengan perubahan disruptif, termasuk wabah, yaitu kapasitas penanganan perubahan, kapasitas mengadaptasi, dan menentukan perubahan.
Terapkan tiga pilar
Tiga pilar institusi bisa diterapkan dalam seluruh tahapan. Pemerintah bisa mengeluarkan berbagai regulasi yang relevan bukan saja dalam penanganan wabah. Aturan-aturan berikutnya untuk mengadaptasi dan mengarahkan perubahan penting yang mengantisipasi efek negatif disrupsi sosio-ekonomi.
Secara bersamaan, upaya-upaya ketahanan politik dibarengi kolaborasi tindakan dan aktor. Di era kebebasan sipil memang tidak mudah menyamakan komando kedaruratan. Maka, pemerintah dan lembaga politik formal lainnya, termasuk partai politik, bisa mempraktikkan komando gotong royong. Komando tetap satu, tetapi implementasinya dilakukan dengan bahu-membahu semua lembaga politik.
Tak kalah penting, praktik dialog dijalankan bersama institusi nonnegara, terutama ormas dan dunia usaha. Menambah ragam aktor ketahanan politik sangat penting agar konten komando kedaruratan menyesuaikan konteks (nilai, kebutuhan) yang beragam.
Terakhir, kapasitas lembaga politik krusial saat membangun narasi. Lembaga politik tidak boleh meremehkan kekuatan konstruktif narasi yang bisa membingkai realitas.
Produksi narasi-narasi ketahanan politik menghadapi pandemi tidak melulu didominasi bahasa resmi. Penggunaan bahasa semiformal dan bahasa tutur yang mudah dipahami juga penting untuk disampaikan.
(Wawan Sobari, Dosen Bidang Politik Kreatif; Ketua Prodi Magister Ilmu Sosial FISIP Universitas Brawijaya)