Penangkapan Dianggap Salahi Prosedur, Ravio Patra Ajukan Praperadilan
Keabsahan penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan terhadap barang milik aktivis Ravio Patra oleh kepolisian diuji melalui mekanisme praperadilan. Kepolisian masih belum bersedia berkomentar soal praperadilan ini.
JAKARTA, KOMPAS – Aktivis dan peneliti kebijakan publik, Ravio Patra, mengajukan gugatan praperadilan atas penangkapan yang dilakukan polisi terhadap dirinya pada 22 April 2020. Upaya praperadilan ditempuh sebagai kontrol terkait apakah langkah yang dilakukan penegak hukum sudah sesuai dengan prosedur atau tidak.
Ravio mengaku Whatsapp-nya diretas, dan dari akun tersebut muncul pesan ajakan untuk berbuat rusuh dan melakukan penjarahan. Ini yang membuat Ravio sempat diamankan oleh kepolisian pada April 2020.
Anggota Koalisi Tolak Kriminalisasi dan Rekayasa Kasus Oky Wiratama Siagian dalam keterangan pers kepada media, Kamis (4/6/2020), mengatakan gugatan praperadilan sudah didaftarkan di Pengadilan Jakarta Selatan. Gugatan itu terdaftar dengan nomor register 63/pid.pra/2020/PN.JKT.Sel.
Menurut Oky, upaya praperadilan ditempuh karena kepolisian dianggap menyalahi prosedur dalam penangkapan Ravio Patra. Ravia Patra ditangkap dan diperiksa penyidik Polda Metro Jaya selama hampir 30 jam pada 22 April-23 April 2020 karena dianggap menyebarkan pesan berantai ajakan menjarah.
Belakangan diketahui, bahwa ponsel Ravio diretas. Dalam penangkapan itu, kata dia, polisi tidak bisa menunjukkan surat tugas penangkapan. Selain itu, polisi juga melakukan penggeledahan dan penyitaan barang pribadi milik Ravio.
“Ada tiga objek praperadilan yang kami ajukan dalam gugatan yaitu sah atau tidaknya penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan barang pribadi milik Ravio,” kata Oky.
Baca juga: Dalam Waktu Dekat, Penanganan Kasus Ravio Dilaporkan ke Empat Lembaga
Menurut Oky, penangkapan Ravio dilakukan pada hari yang sama saat ponselnya diretas oleh pihak lain. Peretasan itu diketahui pada 22 April siang. Kemudian, pada malam harinya, Ravio dijemput paksa oleh penyidik Polda Metro Jaya. Padahal, sesuai aturan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penangkapan langsung hanya dapat dilakukan pada saat yang bersangkutan terkena operasi tangkap tangan (OTT). Jika tidak tertangkap tangan, polisi seharusnya memanggil yang bersangkutan sebagai saksi.
“Namun, yang terjadi pada Ravio, dia ditangkap, diperiksa tanpa pendampingan kuasa hukum, dan tak pernah dipanggil sebagai saksi. Kejanggalan ini yang harus diuji di praperadilan apakah sah atau tidak,” kata Oky.
Ravio yang hadir dalam konferensi pers itu menambahkan, dia dijemput paksa oleh sekelompok pada 22 April malam. Saat itu, dia sedang hendak mengungsi ke rumah aman. Namun, sekelompok orang yang dia belakangan ketahui berasal dari Unit Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya itu memaksa dia untuk masuk ke mobil guna dibawa ke Mapolda Metro Jaya. Tak lama kemudian, dia dibawa kembali ke kosannya untuk penggeledahan. Barang-barang pribadi milik Ravio seperti ponsel, laptop, dompet, dan lain-lain kemudian disita oleh polisi.
“Di Polda, saya kemudian diperiksa dan di-BAP (berita acara pemeriksaan). Saya menolak diinterogasi dan meminta akses untuk menghubungi kuasa hukum. Tetapi polisi mengacuhkan permintaan saya. Dalam keadaan tertekan, saya akhirnya jawab pertanyaan dari mereka,” ujar Ravio.
Tidak adanya pendampingan hukum pada saat di-BAP inilah yang membuat Ravio mengaku kecewa. Padahal, sebelumnya dia sudah mengontak M Isnur dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) untuk menjadi kuasa hukumnya jika terjadi sesuatu. Ravio sudah curiga akan ada upaya kriminalisasi setelah menyadari ponselnya diretas. Saat itu, Ravio sadar bahwa ponselnya telah mengirimkan pesan berantai ajakan untuk melakukan penjarahan. Ravio juga sempat menghubungi sejumlah pihak yaitu SAFEnet dan YLBHI.
Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI Era Purnamasari mengatakan, ada dugaan kriminalisasi terhadap Ravio dalam kasus tersebut. Sebab, pada saat hari penangkapan dan pemeriksaan, sejumlah aktivis dari Koalisi Tolak Kriminalisasi dan Rekayasa Kasus tak bisa menemukan Ravio di Polda Metro Jaya. Pada hari yang sama, Bidang Humas Polda Metro Jaya menggelar konferensi pers yang menginformasikan adanya penjarahan di sejumlah tempat. Nama Ravio sempat disebut di konferensi pers itu.
“Kami menangkap ada semacam framing bahwa penjarahan yang terjadi di sejumlah tempat di Jabodetabek itu ada kaitannya dengan pesan berantai dari ponsel Ravio yang diretas,” kata Era.
Selain itu, saat itu, pihak koalisi masyarakat sipil sempat kesulitan meminta akses untuk melakukan pendampingan hukum terhadap Ravio. Polisi meminta kuasa hukum dari masyarakat sipil menunjukkan surat kuasa dari Ravio. Hal itu tentu sulit dilakukan karena Ravio sudah berada di Mapolda Metro Jaya dan sedang diperiksa. Alih-alih, polisi meminta keluarga Ravio dihadirkan sebagai kuasa. Hal tersebut juga sulit diwujudkan karena situasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) akibat Covid-19.
“Ravio diduga melakukan pelanggaran sejumlah pasal yang ancaman hukumannya di atas lima tahun penjara. Seharusnya dia mendapatkan akses pendampingan hukum. Tetapi, meskipun sudah meminta kepada polisi, upaya itu diacuhkan,” kata Era.
Selain melalui praperadilan, penangkapan Ravio yang dianggap menyalahi aturan itu juga sudah dilaporkan ke Divisi Propam Mabes Polri dan Ombudsman RI tentang dugaan maladministrasi penangkapan. Namun, hingga saat ini belum ada perkembangan dari laporan ke Divpropam Mabes Polri.
Terkait dengan gugatan praperadilan ini, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus belum mau berkomentar mengenai hal tersebut. Dia meminta waktu untuk dapat mengecek informasi tersebut. Demikian juga dengan perkembangan penyelidikan kasus yang melibatkan Ravio Patra, Yusri harus mengecek dulu informasi terkini dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya. “Saya cek dulu ya,” ujarnya.
Peretasan
Terkait peretasan ponsel Ravio, koalisi masyarakat sipil juga sudah melaporkan dugaan pelanggaran Pasal 30 Ayat (3) juncto pasal 46 ayat (3) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal tersebut mengatur tindak pidana peretasan atau menerobos sistem elektronik. Namun, hingga saat ini, kasus dugaan peretasan tersebut dinilai belum ada perkembangan.
Penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya sebelumnya mengatakan bahwa mereka akan bekerja sama dengan Facebook Corporation sebagai pemilik peladen (server) Whatsapp untuk mendapatkan informasi mengenai dugaan peretasan akun. Selain itu, ponsel Ravio juga sudah dibawa ke laboratorium forensik Mabes Polri untuk diperiksa (Kompas.id, 27/4/).
Baca juga: Telusuri Dugaan Peretasan Akun Whatsapp Ravio Patra, Polisi Gali Informasi dari Facebook
Rizki Yudha dari LBH Pers mengatakan, kasus Ravio menjadi fenomena gunung es dari pola serupa yang terjadi akhir-akhir ini. Sejumlah aktivis yang bersuara kritis terhadap kebijakan pemerintah mengalami peretasan. Upaya ini seolah menjadi upaya pembungkaman suara kritis dari masyarakat.
Ke depan, untuk melindungi masyarakat dari upaya peretasan, Indonesia membutuhkan regulasi yang melindungi data pribadi. RUU Perlindungan Data Pribadi itu sampai saat ini masih terkatung-katung pembahasannya di DPR.
“Pada akhirnya semua orang memiliki kerentanan yang sama terkait peretasan ini. Ini merupakan pelanggaran serius terhadap hak kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat yang harus menjadi perhatian yang sama,” kata Rizki.
Sementara itu, Andi Muhammad Rezaldy dari KontraS menambahkan, hingga Juni 2020 tercatat ada 141 kasus yang dialami oleh aktivis dan pembela hak asasi manusia. Sementara itu, ada 187 peristiwa penangkapan terhadap orang-orang yang bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah. Ini merupakan upaya sistematis untuk membungkam suara kritis masyarakat. Pembungkaman suara kritis itu, kata dia, melanggar hak asasi manusia.