Tekanan Ekonomi Saat Pandemi Picu Kekerasan Terhadap Perempuan
›
Tekanan Ekonomi Saat Pandemi...
Iklan
Tekanan Ekonomi Saat Pandemi Picu Kekerasan Terhadap Perempuan
Survei daring Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan menunjukkan bahwa selama pandemi Covid-19, perempuan banyak mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Tekanan ekonomi menjadi salah satu pemicunya.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 tidak hanya mengakibatkan perempuan menghadapi beban kerja yang berlipat ganda, tetapi juga membuat perempuan rentan dengan berbagai kekerasan dalam rumah tangga. Selama pandemi, kekerasan yang paling banyak dialami para perempuan saat berada di rumah adalah kekerasan psikologis dan ekonomi, selain kekerasan fisik dan seksual. Kendati demikian, para korban lebih banyak memilih diam, ketimbang melaporkan kasus yang menimpanya.
Kekerasan tersebut terutama dihadapi oleh perempuan yang berusia 31 tahun-40 tahun yang berlatar belakang kelompok berpenghasilan kurang dari Rp 5 juta per bulan, pekerja sektor informal, berstatus perkawinan menikah, memiliki anak lebih dari 3 orang, dan menetap di 10 provinsi dengan paparan tertinggi Covid-19.
Demikian Kajian S(Komnas Perempuan) tentang Perubahan Dinamika Rumah Tangga dalam Masa Pandemi Covid-19, yang disampaikan perwakilan Komisioner Komnas Perempuan yakni Andy Yentriyani, Maria Ulfah Anshor, Alimatul Qibtiyah, dan Retty Ratnawati kepada media, Rabu (3/6/2020) secara daring. Kajian tersebut dilakukan setelah melakukan survei daring pada April hingga Mei 2020, di 34 provinsi di Tanah Air dengan 2.285 responden.
Dari survei tersebut ditemukan potensi kekerasan di dalam rumah tangga terjadi karena besarnya pengaruh tekanan ekonomi selama masa pandemi. “Sebanyak 80 persen responden menyampaikan kekerasan yang mereka alami cenderung meningkat selama masa pandemi. Kekerasan fisik dan seksual terutama meningkat pada rumah tangga dengan pengeluaran yang bertambah,” ujar Alimatul Qibtiyah.
Secara frekuensi, survei tersebut menemukan bahwa kekerasan semakin sering terjadi pada perempuan dengan status perkawinan menikah, dengan penghasilan di bawah Rp 5 juta. Perempuan juga mengalami frekuensi kekerasan yang semakin sering dari anggota keluarga lain serumah.
Perempuan melakukan pekerjaan rumah tangga dua kali lipat dari laki-laki dengan durasi lebih dari 3 jam.
Dari sisi beban kerja domestik, mayoritas responden (96 persen) baik laki-laki dan perempuan, mengakui bahwa beban pekerjaan rumah tangga semakin banyak. Namun, perempuan melakukan pekerjaan rumah tangga dua kali lipat dari laki-laki dengan durasi lebih dari 3 jam.
Bahkan, 1 dari 3 reponden melaporkan bertambahnya pekerjaan rumah tangga menyebutkan bahwa dirinya mengalami stres. Selain itu, 70 persen responden memiliki anak lebih dari tiga orang sehingga berdampak pada bertambahnya pengeluaran keluarga.
Selama pandemi kekerasan psikologis dan ekonomi mendominasi kekerasan terhadap perempuan. Sebanyak 15 persen mengakui mengalami kekerasan psikologis, dan hampir 10 persen responden perempuan mengaku mengalami (kadang-kadang atau sering) kekerasan ekonomi.
Tidak banyak yang melapor
Kendati mengalami kekerasan, kekerasan fisik, psikologis, seksual, dan ekonomi, tidak banyak perempuan yang melaporkan apa yang dialaminya. Hanya sedikit responden melapor ke lembaga yang menyediakan layanan pengaduan kekerasan terhadap perempuan. “Ternyata 80 persen tidak melapor ke lembaga layanan. Artinya mereka memilih dan lebih memilih dia atau menceritakan pada keluarga dekat, teman, atau tetangga. Inilah yang mempertegas kalau kita hanya melihat kekerasan dari laporan, maka persoalan gunung es yang terjadi. Karena survei ini membuktikan korban yang semakin sering mengalami kekerasan saat Covid-19 tidak melaporkan ke lembaga layanan,” kata Alimatul.
Sikap diam saja atau memberitahukan kepada saudara, ternyata merupakan pilihan perempuan yang berstatus menikah, dan didominasi oleh responden dengan latar belakang pendidikan minimal S1 hingga pascasarjana.
Atas survei tersebut Komnas Perempuan memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk memastikan adanya kebijakan terkait penanganan pandemi Covid-19, termasuk penerapan kebijakan normal baru yang lebih komprehensif dengan mempertimbangkan kerentanan-kerentanan yang dihadapi kelompok dalam masyarakat, khususnya perempuan.
Selain itu, mengembangkan skema bantuan ekonomi khusus bagi perempuan, dengan langkah afirmasi pada perempuan kepala keluarga, para pekerja di sektor informal, rumah tangga dengan jumlah anak yang lebih dari 3 hingga 5 orang anak, kelompok berpenghasilan rendah. “Bantuan ekonomi ini perlu mencakup bantuan kebutuhan pokok, sekaligus memberikan peluang dan kesempatan kerja yang kreatif yang bisa dikerjakan di rumah,” ujar Retty.
Komnas Perempuan juga meminta agar penyelenggaraan layanan tetap tersedia dan gampang diakses bagi korban kekerasan yang akan mengadukan kasusnya.
Andy Yentriyani menyatakan setelah ada pandemi yang disusul pembatasan sosial, Komnas Perempuan memutuskan melakukan kajian komprehesif terkait tentang perubahan dinamika rumah tangga dalam masa pandemi Covid-19, terutama dampaknya pada layanan pada perempuan.
Maria Ulfa menyatakan survei tersebut merupakan bentuk respon dari Komnas Perempuan terhadap pemenuhan hak konstitusional perempuan, yang dimulai dengan survei yang dilanjutkan dengan kajian. Setelah itu akan dilakukan diskusi grup fokus dengan perempuan-perempuan yang terdampak Covid-19 termasuk perempuan kepala keluarga dan perempuan minoritas.