Pelaku usaha dituntut cermat melihat celah peluang usaha selama masa pandemi Covid-19. Kemampuan berinovasi dan terus belajar dinilai menjadi modal kuat untuk melanjutkan usaha.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
Kehadiran coronavirus disease atau Covid-19 dalam tiga bulan terakhir telah mengubah kebutuhan masyarakat. Perubahan yang juga memaksa para pelaku usaha untuk ”banting setir” mencari peluang baru demi melanjutkan usaha.
Memang tak mudah. Namun, selama tetap berusaha, jalan itu pasti ada. Inilah yang diyakini oleh Lisye Diana (57), pelaku usaha lampion dengan nama L&D Art Lamp di daerah Bandung, Jawa Barat, yang terdampak Covid-19.
Selama 22 tahun membangun usaha lampion, Lisye mengaku baru kali ini omzet terjun bebas lebih dari 50 persen. Pesanan lebih dari 100 lampion untuk Mei 2020 pun terpaksa batal karena kondisi akibat Covid-19 belum membaik.
”Saya sudah ada rencana membuat beberapa lampion yang dipesan oleh salah satu media di Jakarta. Awalnya saya masih bertahan dan sudah dikerjakan sekitar 25 persen, tetapi kemarin dibilang jangan diteruskan lagi pembuatannya karena acara dibatalkan,” tutur Lisye saat dihubungi Kompas, Jumat (5/6/2020).
Menyadari penjualan lampion yang semakin menurun, Lisye kemudian mencari alternatif usaha lain yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ia mencoba memproduksi masker dan alat pelindung diri (APD) pada awal Covid-19 masuk ke Indonesia.
Proses pembuatan masker dan APD dipelajarinya melalui Youtube serta belajar bersama teman-teman lain. Hasil produksinya pun dapat dikirim ke wilayah Jakarta, Jawa Barat, bahkan hingga ke Papua.
”Saya jadinya ’banting setir’ memproduksi masker dan APD yang sebelumnya tidak pernah saya buat. Dari Covid-19 ini, saya belajar, yang penting dalam membangun usaha itu semangatnya jangan padam,” ujar Lisye.
Meski begitu, peralihan produksi ke masker dan APD, kata Lisye, hanyalah sementara karena permintaan saat ini pun mulai berkurang. Ke depan, ia tetap berupaya membangun kembali usaha lampionnya.
”Usaha lampion tetap dijalankan sehingga kalau memang nanti ada pesanan lagi, saya sudah siap untuk menjualnya. Saya juga terus mempromosikannya lewat berbagai sosial media, ada di Instagram, Facebook, juga Whatsapp,” kata Lisye.
Pengalaman serupa dialami Rumdani Prakti Sumiwi (58). Pelaku usaha makanan ringan dan jamu tradisional di daerah Cilacap, Jawa Tengah, yang berhasil mengambil peluang usaha di tengah Covid-19.
Awalnya usaha unggulan Rumdani adalah kripik jamur yang dirintis sejak 11 tahun lalu. Karena Covid-19, usaha jamu tradisional, khususnya jahe merah, yang baru berjalan 4 tahun meningkat hampir 10 kali lipat. Harga jual pun meningkat dari Rp 100.000 per kilogram (kg) menjadi Rp 125.000 per kg.
”Saya melihat jahe merah ini sangat dibutuhkan dalam masa Covid-19. Jadi memang beberapa bulan terakhir difokuskan untuk produksi jahe merah. Peminatnya itu dari Jawa sampai ke Kalimantan dan Sulawesi,” kata Rumdani.
Dalam menjalankan usaha, kata Rumdani, pelaku usaha harus cermat melihat peluang usaha dan mencari tahu apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Selain itu, inovasi juga menjadi mutlak dilakukan untuk mengikuti perkembangan jaman.
”Saya pernah waktu 2011 memanggil orang ke rumah untuk mengajari bagaimana cara mengirim e-mail buat bantu jualan. Sekarang pun sama, saya pelajari cara menjual produk lewat media sosial, misalnya saya tanya ke anak-anak bagaimana meng-upload foto dan menuliskan keterangan produk di Instagram,” ucapnya.
Kendala
Cerita lain diungkap Farid Widianto (43), pelaku usaha homemade sabun cuci tangan dan cuci piring di daerah Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang masih terkendala dalam memasarkan produk melalui media sosial. Ia mengaku masih kesulitan karena tidak paham cara menggunakan media sosial.
”Saya sadar itu (media sosial) penting banget untuk bantu mempromosikan produk. Saya juga sudah download Facebook dan Instagram, tetapi belum bisa pakai karena enggak ngerti. Nanti mau belajar dulu sama teman,” kata Farid.
Alhasil, Farid mengatakan, dirinya kehilangan pasar karena restoran-restoran yang menjadi pelanggannya tutup. Penjualan dari pintu ke pintu pun sulit dilakukan karena adanya pembatasan sosial.
Menurut Farid, dalam membuat sabun, ia menggunakan tujuh bahan dasar alami yang aman untuk tangan dan dengan tingkat kebersihan yang baik. Namun, karena promosi yang kurang, produk pun tidak dikenal luas.
Ketua Asosiasi UMKM Ikhsan Ingratubun menyampaikan, apabila pelaku usaha kini tidak bisa memasarkan produk secara dalam jaringan (daring), hal itu akan sulit bertahan. Sebab, perilaku masyarakat kini sudah terbiasa berbelanja daring.
”Keterampilan dan kemampuan menjual produk secara online (daring) harus dimiliki para pelaku UMKM. Pemerintah juga terus didorong untuk membantu meningkatkan kemampuan pelaku UMKM,” kata Ikhsan.
Catatan Kompas, daridata Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menangah (UKM), memang baru 13 persen pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang sudah go online. Sementara jumlah pelaku UMKM, pada 2018, mencapai 64,19 juta unit (99,99 persen) dengan total 116,98 juta (97 persen) tenaga kerja.
Dalam rangka melaksanakan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), pemerintah telah menganggarkan Rp 677,2 triliun hingga akhir 2020. Dari jumlah tersebut, Rp 123,46 triliun di antaranya untuk sektor UMKM dalam bentuk subsidi bunga, penempatan dana untuk restrukturisasi, dan mendukung modal kerja UMKM.
Sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia, keberpihakan kepada UMKM memang harus dilakukan. Sebab, kebangkitan UMKM juga akan menjadi kebangkitan ekonomi Indonesia.