Belum ditemukannya vaksin virus Covid-19 dan antisipasi pandemi tak dapat dihentikan dalam waktu singikat membuat Olimpiade Tokyo bersiap dengan skenario yang lebih sederhana.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·3 menit baca
TOKYO, KAMIS — Skenario menyederhanakan Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo 2020 dengan mengurangi jumlah penonton serta partisipan pada upacara pembukaan dan penutupan mulai mengemuka. Langkah ini menjadi antisipasi seandainya penyebaran virus korona jenis baru berlangsung lama dan kedua ajang besar itu tak dibatalkan.
Olimpiade Tokyo 2020, yang seharusnya berlangsung 24 Juli-9 Agustus 2020, diikuti Paralimpiade pada 25 Agustus-6 September, menjadi ajang olahraga terbesar yang terdampak pandemi Covid-19. Ajang empat tahunan ini ditunda setahun menjadi 23 Juli-8 Agustus 2021, dengan tetap menggunakan nama yang sama.
Penyelenggaraan Olimpiade pernah diganggu wabah virus zika pada Rio de Janeiro 2016, aksi terorisme yang menewaskan 11 anggota kontingen Israel dan seorang polisi Jerman pada Muenchen 1972, serta boikot negara peserta di Moskwa 1980 dan Los Angeles 1984. Perang Dunia I meniadakan Olimpiade 1916, dan Perang Dunia II membatalkan Olimpiade 1940 dan 1944. Akan tetapi, pemunduran jadwal selama setahun baru terjadi kali ini.
Sejak penundaan ditetapkan oleh Pemerintah Jepang dan Komite Olimpiade Internasional (IOC) pada Maret, Pemerintah Jepang bersikukuh akan menyelenggarakan Olimpiade pada 2021. Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengatakan, dengan penundaan selama setahun, atlet memiliki cukup waktu untuk mempersiapkan diri. Penonton pun dapat menikmati Olimpiade dengan skala yang tak akan menurun.
Namun, dengan belum ditemukannya vaksin untuk menyembuhkan penyakit yang mulai merebak pada Desember 2019, di Wuhan, China, ini, Jepang mulai berpikir untuk menurunkan skala pesta olahraga dunia tersebut. Hal ini dilakukan untuk menghindarkan ”ancaman” IOC, seperti dikatakan Presiden IOC Thomas Bach kepada BBC. IOC akan membatalkan Olimpiade dan Paralimpiade jika dua ajang ini tak bisa digelar pada 2021.
Ketua Komite Koordinasi IOC untuk Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo John Coates mengatakan, panitia harus mulai berpikir untuk menyelenggarakan Olimpiade yang berbeda. Bulan Oktober 2020 akan menjadi waktu krusial untuk memastikan kesiapan Tokyo menggelar kedua ajang tersebut pada 2021.
Skenario terburuk
Pemerintah Jepang pun tak memiliki pilihan lain selain menyelenggarakannya dengan aman agar ajang tersebut tak menjadi tempat penyebaran virus bagi masyarakat Jepang, para atlet, dan warga dunia. Selain mendatangkan atlet dan ofisial dari 200-an negara anggota IOC, Olimpiade juga selalu mengundang penonton dari ratusan negara di seluruh dunia.
”Prioritas kami adalah menghindari skenario terburuk, yaitu dibatalkannya Olimpiade dan Paralimpiade,” kata sumber di pemerintahan Jepang pada The Yomiuri Shimbun.
Gubernur Tokyo Yuriko Koike membenarkan, Olimpiade akan disederhanakan meski tak menjelaskan detailnya. ”Menggelar Olimpiade dan Paralimpiade membutuhkan simpati dan pengertian dari masyarakat Tokyo dan Jepang. Untuk itu, kami harus merasionalisasi apa yang harus dirasionalisasi dan menyederhanakan apa yang harus disederhanakan,” kata Koike, Kamis (4/6/2020).
Proposal dengan skenario yang spesifik masih akan dibahas, namun skenario utama yang tampaknya akan dijalankan adalah mengurangi jumlah penonton di setiap arena pertandingan. Pengurangan jumlah partisipan dalam upacara pembukaan dan penutupan, yang menjadi ikon Olimpiade, akan dilakukan.
Pemerintah dan panitia juga mempertimbangkan agar tes polymerase chain reaction (PCR) diwajibkan untuk penonton, selain untuk atlet dan ofisial. Rencana lain adalah melarang tim keluar dari perkampungan atlet selain menuju tempat pertandingan.
”Saat ini, belum ada keputusan konkret, tetapi kami akan terus mendiskusikan. Situasi akibat penyebaran virus ini penuh ketidakpastian, termasuk untuk memprediksi apa yang akan terjadi pada 2021,” kata juru bicara Tokyo 2020, Masa Takaya.
Covid-19 telah menginfeksi 6,5 juta orang dan menewaskan 388.000 secara global. Di Jepang, terdapat 17.000 kasus terinfeksi dengan 900 orang meninggal. (AFP/REUTERS)