Dakwaan Lebih Berat bagi Empat Polisi dalam Pembunuhan Floyd
›
Dakwaan Lebih Berat bagi Empat...
Iklan
Dakwaan Lebih Berat bagi Empat Polisi dalam Pembunuhan Floyd
Keempat polisi yang terlibat pembunuhan George Floyd masing-masing terancam hukuman penjara hingga 40 tahun. Namun, pengunjuk rasa menuntut kepolisian dan sistem hukum AS dirombak karena menerapkan diskriminasi rasial.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
MINNEAPOLIS, KAMIS Setelah 1,5 pekan, unjuk rasa di Amerika Serikat untuk memprotes pembunuhan George Floyd berlangsung lebih tenang. Jaksa mengumumkan dakwaan baru terhadap empat polisi yang terlibat pembunuhan Floyd. Empat polisi itu terancam hukuman penjara hingga 40 tahun.
Jaksa Minnesota, Keith Ellison, mengumumkan, penuntut mengenakan dakwaan pembunuhan tingkat dua kepada Derek Chauvin, polisi Minnesota yang ketahuan menekan dengkulnya ke leher Floyd dan mengakibatkan warga kulit hitam itu tewas. Sebelumnya, Chauvin akan dijerat dakwaan pembunuhan tingkat tiga dengan ancaman hukuman penjara 25 tahun. Ia juga diancam dengan dakwaan pembunuhan tidak sengaja.
”Saya percaya perkembangan ini demi keadilan untuk Floyd, keluarganya, masyarakat kami, dan negara bagian kami. Kami yakin pada langkah kami walau sejarah menunjukkan jelas ada tantangan,” ujar Ellison, Rabu (3/6/2020) malam waktu AS atau Kamis dini hari WIB.
Tiga rekan Chauvin, yakni Thomas Lane, J Kueng, dan Tou Thao, juga dijerat dengan dakwaan terlibat atau membantu Chauvin melakukan kejahatan-kejahatan yang didakwakan terhadapnya. Sebelumnya, mereka tidak didakwa dan tidak ditahan. Pembunuhan tingkat dua diancam dengan penjara hingga 40 tahun. Adapun pembunuhan tidak sengaja diancam dengan penjara hingga 10 tahun. Pelaku dan pihak yang membantu diancam dengan hukuman yang sama.
Kini, keempat polisi itu didakwa dan telah ditahan. Mereka harus menyerahkan jaminan 1 juta dollar AS jika ingin menjadi tahanan kota.
Selama 1,5 pekan sejak Floyd tewas pada 25 Mei lalu, unjuk rasa dan kerusuhan melanda puluhan kota di AS. Massa marah karena berkali-kali aparat tidak dihukum setelah melakukan kekerasan—sebagian kekerasan itu berujung kematian—pada orang kulit hitam di AS.
”Kami harus mengakui penderitaan yang memicu protes di seluruh dunia lebih dari sekadar kejadian tragis ini (kematian Floyd). Kematian George Floyd adalah gejala penyakit. Kami tak akan bangun suatu hari dan mengetahui penyakit rasisme sudah sembuh. Kami harus bersama memecahkan ini, kami berutang itu pada George Floyd,” kata Gubernur Minnesota Tim Walz, seperti dikutip CNN.
Meski dakwaan telah dinaikkan, unjuk rasa terus berlangsung. ”Tidak cukup. Kami terus berbaris karena tidak cukup dengan pendakwaan mereka. Harus ada perubahan sistematis,” kata Jonathan Roldan, pengunjuk rasa.
Roldan dan banyak pengunjuk rasa lainnya menuntut kepolisian dan sistem hukum AS dirombak karena dinilai menerapkan diskriminasi rasial. Kepolisian juga dinilai kerap menggunakan kekerasan berlebihan kepada warga kulit berwarna di AS. Sebagian dari mereka tidak dihukum. Menurut Jaksa Ellison, hal itu tantangan sejarah untuk menghukum Chauvin dan rekannya.
Protes tokoh
Protes juga dilayangkan para tokoh, pejabat, dan mantan pejabat. Mantan bintang bola basket AS, Kareem Abdul Jabar, dan Duchess of Sussex Meghan Markle menambah daftar tokoh yang bersuara soal kematian Floyd dan rasisme di AS.
Jabar menyebut, ketidakadilan dan rasisme sistematis terus ada dalam 30 tahun sejak Rodney King jadi korban kekerasan polisi di Los Angeles (LA) pada 1992. Meghan juga mengingat pemukulan pria kulit hitam di LA itu. Kala insiden itu terjadi, Meghan tinggal di LA dan masih berusia 11 tahun.
Kecaman juga dilayangkan tiga purnawirawan jenderal, yakni James Mattis, Mike Mullen, dan John Allen. Mattis adalah mantan Menteri Pertahanan AS di masa Trump dan jenderal marinir. Allen pernah menjadi panglima AS di Afghanistan, sedangkan Mullen pernah menjadi Kepala Staf Gabungan AS.
”Donald Trump adalah presiden pertama selama saya hidup yang tidak mencoba menyatukan bangsa, dia malah memecah belah,” kata Mattis.
Para mantan Presiden AS, yakni Jimmy Carter, George Bush, dan Barack Obama, juga mengecam cara penanganan unjuk rasa dan kekerasan yang dilakukan aparat dan perusuh. Obama sudah dua kali membuat pernyataan terkait unjuk rasa dalam kasus Floyd.
Penentangan terhadap Trump juga dilontarkan Mark Esper, Menteri Pertahanan pengganti Mattis. Esper menolak penggunaan tentara aktif untuk penanganan unjuk rasa. Sebab, pengerahan tentara aktif hanya bisa dilakukan bila ada pemberontakan.
”Pengerahan tentara aktif harus jadi pilihan terakhir dan hanya dalam situasi sangat sulit. Kami tidak dalam situasi itu sekarang. Saya tidak mendukung penggunaan Undang-Undang Pemberontakan,” ujar Esper.
Esper merujuk pada undang-undang tahun 1807 yang memberikan presiden kewenangan mengerahkan tentara di dalam negeri jika ada ancaman pada negara. Trump menyatakan akan mengerahkan tentara jika gubernur dan wali kota gagal memadamkan unjuk rasa.
Hingga Kamis malam WIB atau Kamis pagi waktu Washington DC, unjuk rasa masih terus berlangsung. Pengunjuk rasa di sejumlah kota serentak tengkurap dan meletakkan tangan di punggung sebagai bentuk protes atas cara penangkapan polisi.
Di seluruh AS, lebih dari 10.000 orang ditangkap di tengah rangkaian unjuk rasa dan kerusuhan. Sedikitnya 3.000 orang ditangkap di Los Angeles. Maraknya penangkapan mendorong penggalangan dana untuk menyediakan bantuan hukum bagi yang ditangkap. Di LA, terkumpul dana 2 juta dollar AS.
Ketua Persatuan Pengacara LA Kath Rogers menyatakan terkejut dengan banyaknya penangkapan. Sebagian ditangkap hanya karena sedang memotret unjuk rasa. Ada juga yang ditangkap karena sedang di lokasi, walau tidak terlibat unjuk rasa apalagi kericuhan.
“Saya tidak pernah melihat peluru karet dan gas air mata digunakan sebanyak sekarang,” ujar Rogers. (AP/REUTERS)