Daya UMKM untuk Terbang Tinggi
Tak kenal lelah mencoba membentangkan sayap, usaha mikro, kecil, dan menengah dapat terbang kian jauh dan tinggi.
Salah satu resep usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk bertahan di tengah pandemi Covid-19 adalah jeli melihat peluang dan memanfaatkannya. Jangan jemu mencoba membuka pintu. Siapa tahu ada jalan kesempatan di baliknya, menanti untuk ditapaki. Semangat tiada henti ini dianut pemilik kedai kopi yang selama ini mengandalkan konsumen untuk nongkrong.
Maret 2020 menjadi salah satu titik adaptasi bagi Ardy Jumardi, pemiliki kedai kopi Bribean. Guncangan bagi usaha kopinya ditimbulkan oleh imbauan menjaga jarak fisik selama pandemi Covid-19.
”Pandemi jadi pukulan besar bagi kedai kopi yang sekaligus sebagai tempat nongkrong. Kedai Bribean tutup sementara sehingga tak melayani makan-minum di tempat. Akan tetapi, tetap melayani pesanan secara dalam jaringan,” ujarnya saat dihubungi, pekan lalu.
Kedai kopi Bribean berlokasi di Jalan Bengawan, Bandung, Jawa Barat. Dari foto-foto akun Instagramnya, sebelum pandemi, kursi-kursi di Bribean tak pernah sekejap pun menganggur. Ada saja penikmat kopi atau konsumen yang ingin nongkrong sambil menyesap kopi. Beberapa pengunjung malah menghadap komputer jinjing atau sekadar santai.
Pandemi Covid-19 seolah mendorong Jumardi keluar dari zona nyaman. Dia pun segera melakukan riset pasar sederhana untuk melihat permintaan kopi secara daring.
Riset pasar membuahkan solusi. Bribean yang mengusung slogan ”Kopi Ketemu Donat” tetap dapat bertahan tanpa melunturkan citra dan produk primadona yang disuguhkan bagi pelanggannya.
Jumardi menuturkan, solusi itu berwujud kopi 1 liter dalam kemasan botol. ”Ternyata, orang-orang cenderung membutuhkan produk yang ekonomis. Kopi literan jadi pilihan yang hemat karena bisa diminum beberapa kali di rumah. Kemudian, kami paketkan kopi itu dengan donat beku sehingga pelanggan dapat menggoreng donat sendiri,” ujarnya.
Tak tanggung-tanggung, kopi literan yang tahan tiga hari itu juga membuat Bribean membentangkan sayap. Jumardi mengatakan, biasanya pelanggannya hanya sebatas wilayah Bandung. Namun, berkat layanan logistik berpendingin, kopi dan donat Bribean bisa menjangkau wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Tak ingin kehilangan momentum, pada Lebaran bulan Mei lalu Jumardi menawarkan pesanan bingkisan Lebaran. Konsumen bisa membeli paket itu untuk dikirim kepada keluarga, rekan, atau kerabat. Tentu saja, paket Lebaran itu berisi donat dan kopi literan.
Menggandeng rekan
Gereget dalam membentangkan sayap tak melulu soal target pasar. Akan tetapi, juga berkaitan dengan kesempatan kerja.
Berkat kopi literan, Pierre Suriatmojo, pemilik Kopi Iyeko, berhasil menggandeng rekannya yang tengah dirumahkan dari kantornya.
Nilai-nilai mengenai keberlanjutan dan upaya menjaga lingkungan hidup dipegang Pierre dan istrinya, Iswardani Ratnadewi atau Nina. Nilai serupa juga dianut dalam berbisnis. Maka, Kopi Iyeko tak sekadar menjual produk kopi, tetapi juga mempraktikkan nilai keberlanjutan melalui kemasan botol kaca yang bisa dipakai berkali-kali.
Kemasan botol kaca satu literan ini ditawarkan sejak pemerintah mengimbau masyarakat untuk beraktivitas dari tempat tinggal dalam mengendalikan penyebaran Covid-19. Sebelumnya, Kopi Iyeko dijajakan dalam botol kaca berukuran seperempat liter dan dijajakan secara fisik di bazar dan tempat kerja.
Dengan prinsip bisa diisi ulang itu, maka Pierre membutuhkan pengiriman dan logistik tersendiri.
”Pelanggan yang membeli Kopi Iyeko bisa mengembalikan botol kacanya (yang berukuran 1 liter) untuk diisi ulang di rumah saya. Penjemputan botol kosong ini memerlukan kurir tersendiri. Oleh karena itu, saya menggandeng rekan saya untuk menjadi kurir yang mengantar kopi dan menjemput botol kosongnya,” tuturnya saat dihubungi, Kamis (28/5/2020).
Pengantaran Kopi Iyeko dalam kemasan seliter dijadwalkan tiap Selasa atau Kamis, tergantung dari jumlah pemesanan. Hingga kini, pengiriman dan penjemputan kopi meliputi wilayah Jakarta, Tangerang Selatan, Bekasi, dan Depok.
Menjelang Lebaran lalu, Pierre dan Nina juga menawarkan paket bingkisan untuk dikirim kepada keluarga dan sahabat. Dengan tetap memegang nilai keberlanjutan lingkungan, bingkisan itu terdiri dari wadah, satu toples kaca kue kering, dua botol Kopi Iyeko, satu botol kakao, dan kain furoshiki atau kain pembungkus yang memiliki desain tertentu.
Semua elemen dalam bingkisan itu dapat digunakan kembali oleh penerimanya. Bahkan, Pierre dan Nina menekankan, setiap botol dan toples dalam bingkisan itu dapat dikembalikan ke rumah mereka untuk diisi ulang. Botol kaca bisa diisi ulang dengan kopi, sedangkan toples bisa diisi lagi dengan kue-kue kering. Jika isinya habis, bisa diisi ulang lagi.
Baca juga : UMKM Paling Rentan terhadap Wabah Covid-19
Memulai
Pandemi Covid-19 dan imbauan untuk beraktivitas dari tempat tinggal seolah menjadi pupuk yang menumbuhkan bisnis skala rumahan. Apalagi, imbauan tersebut disampaikan sebelum Ramadhan-Lebaran 2020. Tak kehabisan daya juang, bisnis kuliner seperti penjualan kue kering justru tumbuh subur.
Bermula dari sekadar mengisi waktu kosong di sela-sela aktivitas bekerja dari rumahnya di Jakarta, Mutiara Adinda (26) merealisasikan hobi memasak kue kering. Kue itu ditawarkan dalam bentuk bingkisan atau hamper Lebaran.
Produk yang dirajut bersama teman kuliahnya itu ditawarkan melalui akun Instagram.
Semula, Mutiara hanya menjual kue kering tersebut kepada keluarga dan teman-teman dekatnya. Menjelang Lebaran 2020, dia mendapat konsumen yang tak dikenalnya. Konsumen itu menelusuri Instagram berdasarkan ulasan dan rekomendasi kerabat Mutiara atas kue bikinannya. Sejak saat itu, peluang bisnis di luar lingkaran keluarga dan teman-temannya pun terbuka.
Kendati baru dalam hitungan bulan, Mutiara mengaku telah mendapat banyak pelajaran dari pengalaman bisnisnya.
”Risiko gagal dalam usaha makanan itu tinggi, mulai dari berburu bahan baku sampai proses pengiriman. Namun, saya juga mendapatkan hal yang tak ternilai harganya, yakni kepuasan pelanggan dan apresiasi dari mereka,” ujarnya.
Sementara Linda Bernadetta T (25) yang tinggal di Jakarta Timur juga memulai bisnis kue keringnya sejak kebijakan bekerja dari rumah diterapkan. Langkah pertama yang dilakukan Linda saat memulai bisnis adalah mengasah kemampuannya memasak dengan cara menonton video-video di Youtube.
Tak hanya meningkatkan kepiawaiannya memasak, Linda juga belajar merumuskan harga jual. Sejak merencanakan bisnis, dia sudah menargetkan untuk memanfaatkan momentum Ramadhan-Lebaran 2020.
Bisnis ini tak dilakukannya sendiri. Linda mengajak serta kakak, adik, dan ibunya. Dengan mengajak serta keluarganya, Linda menegaskan, jadwal setiap anggota keluarga mesti dipahami dan dihormati bersama-sama.
Momentum memanfaatkan periode Ramadhan-Lebaran 2020 untuk menjual kue kering juga dimanfaatkan William, pemilik akun Pampam Shop di laman belanja dalam jaringan Bukalapak. William yang biasanya menjual aksesoris gawai, menambah kesibukannya dengan menjual kue kering.
Tak ada alasan muluk-muluk bagi William saat mengawali langkahnya menjual kue kering. Semula, ia membantu rekannya yang kesulitan menjual kue kering.
Sejak awal Ramadhan hingga pekan ketiga Ramadhan, William sudah menjual 600 toples kue kering. Niatnya membantu rekan pun berhasil, bahkan sukses.
Pandemi Covid-19 menjadi ujian bagi pelaku usaha, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Tak mau cengeng, pelaku UMKM ini bertahan dengan daya juang dan daya adaptasi yang luar biasa.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah di Indonesia, ada 64 juta-an unit UMKM di Indonesia pada akhir 2018. Mereka menyerap sekitar 119 juta tenaga kerja.
Pelaku UMKM ini bertahan dengan daya juang dan daya adaptasi yang luar biasa.
Tanpa merengek, pelaku UMKM ini berusaha mempertahankan bisnis di tengah pandemi Covid-19. Bahkan, tak sedikit yang mampu mengembangkan bisnis mereka.
Mereka membentangkan dan mengepakkan sayap yang kian lebar. Jangkauan mereka makin jauh. Semua dilakukan dengan daya upaya sendiri.