Hak Pun Berkonflik akibat Pandemi Covid-19
Mungkin baru kali ini banyak orang terluka melihat kerumunan. Berkerumun tanpa menjaga jarak saat pandemi Covid-19 tidak hanya melanggar aturan pemerintah, tetapi juga mengabaikan hak orang lain.
Mungkin baru kali ini banyak orang terluka melihat kerumunan. Berkerumun tanpa menjaga jarak saat pandemi Covid-19 tidak hanya melanggar aturan pemerintah, tetapi juga mengabaikan hak orang lain meskipun setiap orang berhak berkumpul.
Bentakan salah seorang pedagang yang keberatan diminta menutup tokonya masih teringat erat di memori Andi Armawan, Kepala Satpol PP Kota Cirebon, April 2020. Perempuan paruh baya itu masih tetap ingin membuka tokonya meski ada larangan terkait aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) demi mencegah penyebaran penyakit Covid-19.
Hingga kini, Andi tidak habis pikir, kenapa niat baiknya itu mendapat perlawanan. ”Saya paham, warga jenuh di rumah karena pandemi. Pedagang juga mau jualan untuk mendapat untung sebelum Lebaran. Namun, aturan PSBB, kan, untuk kebaikan bersama,” ucap Andi di Kota Cirebon, Jawa Barat, Jumat (5/6/2020).
Faktanya, aturan PSBB di Cirebon banyak yang dilanggar. Selama 10 hari penerapan PSBB di ”Kota Wali” itu, tercatat 1.120 toko masih buka meski dilarang beroperasi. Andi juga heran, masih ada 123 kasus kerumunan. Padahal, kerumunan rentan memicu penularan Covid-19.
Mungkin baru kali ini berkerumun dan berdagang di tengah pandemi melukai banyak orang, termasuk Andi dan anggotanya. Kegiatan itu tidak hanya melanggar aturan pemerintah, tetapi juga mengabaikan hak orang lain meskipun setiap orang berhak berkumpul dan berdagang.
Ungkapan kekecewaan bahkan amarah warga juga tampak dalam jagad media sosial ketika melihat kerumunan orang dalam acara perpisahan gerai restoran cepat saji di Jalan Thamrin, Jakarta, beberapa waktu lalu. Hal serupa terjadi di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, seperti diberitakan sejumlah media.
Sejumlah warga merasa terkhianati. Mereka telah berupaya mematuhi anjuran pemerintah untuk di rumah saja selama kurang lebih dua bulan demi mencegah penyebaran penyakit Covid-19. Sementara orang lain justru keluar rumah dan berkerumun.
Di sisi lain, orang yang ikut berkerumun punya aneka alasan. Mulai dari punya memori terhadap gerai restoran berusia puluhan tahun itu hingga alasan hak untuk berkumpul. Tidak sedikit juga yang mengabadikan momentum itu sebagai konten di Youtube.
Belakangan, gerai restoran itu kena sanksi denda Rp 10 juta karena melanggar aturan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait PSBB. Kerumunan tersebut juga melanggar hak orang banyak meskipun setiap orang juga berhak berkumpul sesuai Pasal 24 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
”Dalam kasus ini, hak berkumpul tidak absolut karena berkonflik dengan hak lainnya, yakni hak kesehatan. Dan, hak kesehatan lebih diutamakan karena dekat dengan hak untuk hidup,” kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Muhammad Ashri, yang dua bulan terakhir memilih tidak keluar rumah.
Sebaliknya, berkumpul atau berkerumun pada masa pandemi Covid-19 saat ini justru mengancam kesehatan warga. Virus tak kasatmata itu berpotensi menular dalam kerumunan. Berbagai kluster penularan Covid-19 di Tanah Air berawal dari kerumunan orang, seperti Ijtima Ulama di Gowa, Seminari Bethel (Jakarta), dan Seminar Masyarakat Tanpa Riba (Bogor).
Baca Juga : ”Warteg” dan ”Burjo” Krisis di Kampung
Hak sehat
Berbagai kluster ini turut memperluas penyebaran Covid-19 dan merenggut lebih dari 1.600 jiwa di Indonesia. Itu sebabnya, protokol kesehatan, seperti menjaga jarak, menghindari kerumunan, mengenakan masker, dan cuci tangan, terus digaungkan demi mencegah jatuhnya korban jiwa.
Menurut Ashri, hak untuk berkumpul saat pandemi serupa dengan hak lainnya yang merupakan prima facie atau hak pada ”pandangan pertama”. Artinya, hak itu berlaku hingga dikalahkan oleh hak yang lebih kuat, dalam hal ini hak atas kesehatan yang juga diatur dalam Deklarasi Universal HAM.
Hak atas kesehatan bisa dimaknai bahwa suatu pihak tidak boleh melakukan sesuatu yang mengganggu dan membahayakan orang lain. Misalnya, merokok di tempat umum. Bahwa berkerumun atau tidak mengenakan masker saat ini bisa menularkan penyakit Covid-19, pelakunya berarti melanggar hak orang lain atas kesehatan.
Itu sebabnya, banyak warganet marah ketika seorang influencer seolah tak bersalah dengan kebiasaannya tidak mengenakan masker. Belakangan, influencer tersebut memohon maaf sambil terisak. Pakai masker di tempat umum saat ini tidak hanya melindungi diri sendiri, tetapi juga orang lain dari virus korona jenis baru.
Pembatasan fisik agar warga di rumah saja juga salah satu langkah memenuhi hak atas kesehatan saat pandemi. Tentu saja ada perdebatan terkait kebebasan fisik. Namun, Guru Besar Emiritus bidang Filsafat di Universitas Katolik Atma Jaya K Bertens dalam bukunya, Etika (2013), menjelaskan lebih dalam makna kebebasan.
Terkurung di rumah atau bahkan penjara memang membuat orang tidak bebas. ”Kalau hanya itulah yang kita maksudkan ”bebas”, pengertian kita tentang kebebasan masih terlalu dangkal. Bisa saja orang tidak menikmati kebebasan fisik, tetapi sungguh-sungguh bebas,” tulisnya.
Bertens mencontohkan para pahlawan yang dipenjara, tetapi tetap merasa bebas sepenuhnya. Pemikirannya menembus tembok penjara. Sebaliknya, orang yang bebas bergerak belum menjamin ia sungguh-sungguh bebas.
Misalnya, orang yang bebas bergerak ke tempat perjudian. Lama-kelamaan, kebiasaan judi telah memperbudak dirinya. Orang itu lalu meninggalkan tanggung jawabnya untuk menghidupi keluarga karena utangnya menumpuk dan kariernya hancur.
Dalam konteks pandemi, kebebasan untuk bepergian, seperti pelesiran ke sejumlah daerah dan luar negeri, bisa jadi menunjukkan orang tersebut tidak bebas. Ia tidak hanya bertanggung jawab terhadap dirinya ketika berwisata, tetapi juga orang lain. Siapa yang bisa memastikan ia tidak membawa virus atau terpapar Covid-19?
Akan tetapi, kata Ashri, penegakan pembatasan fisik dan sosial tidak boleh berlebihan, seperti dengan kekerasan. ”Setiap orang berhak untuk tidak disiksa. Ini tidak memerlukan persetujuan dari orang lain. Bahkan, hak ini nyaris absolut,” ujarnya.
Baca juga : Pembukaan Rumah Ibadah Jangan Dipahami Covid-19 Tak Lagi
Peran politik
Lalu, bagaimana dengan hak warga atas ekonomi di tengah pandemi? Ashri menilai, hak atas kesehatan tetap harus diutamakan karena, sekali lagi, sangat dekat dengan hak hidup. Sederhananya, orang meninggal dunia tidak bisa dihidupkan, sedangkan ekonomi yang tumbang masih bisa dihidupkan.
Walakin, lanjut Ashri, hak warga tidak bisa dipisahkan dari kewajiban negara. Kewajiban tersebut ialah menghormati, melindungi, dan memenuhi hak warganya. Misalnya, pemenuhan kebutuhan pokok warga di tengah pandemi, pemerintah menyalurkan bahan pangan hingga suntikan modal usaha.
Terkait hak kesehatan, negara punya kewajiban, seperti memenuhi asuransi kesehatan bagi rakyat kurang mampu dan membangun sarana serta fasilitas kesehatan yang memadai. ”Bagaimana jika negara gagal memenuhi hak warga negaranya? Pemerintah bisa digugat,” ucapnya.
Akan tetapi, katanya, gugatan belum tentu dikabulkan karena bergantung dengan apa yang terjadi di masyarakat. Dalam kondisi kekurangan bahan pangan, misalnya, hak atas makanan tidak mungkin terpenuhi. ”Jika sesuatu tidak ada, jangan berharap memilikinya,” ucapnya.
Soal kesehatan, semua pasien Covid-19 yang sedang gawat di daerah tidak mungkin mendapatkan bantuan ventilator karena alat medis itu terbatas jumlahnya. Begitu pun dengan alat tes Covid-19 yang kebanyakan impor.
Lalu, bagaimana memastikan bahwa kapasitas pemerintah seperti keuangan yang tidak cukup untuk mengadakan berbagai kebutuhan medis itu di tengah pandemi? ”Di sinilah berjalan proses politik, seperti peran wakil rakyat. Tugas hukum dan etika tidak sampai di sana,” ujarnya.
Pertanyaannya, sudahkah wakil rakyat menyuarakan dan berjuang soal hak warga atas kesehatan selama pandemi ini?
Baca juga : Pembukaan Rumah Ibadah Jangan Dipahami Covid-19 Tak Lagi Mengancam