Kasus Korona Naik di Pusat Detensi Migran di Malaysia
›
Kasus Korona Naik di Pusat...
Iklan
Kasus Korona Naik di Pusat Detensi Migran di Malaysia
Wabah Covid-19 memicu kontroversi melalui penggerebekan beberapa pekan terakhir di Malaysia. Kaum migran tidak berdokumen ditangkap dari tempat yang diduga sebagai sarang Covid-19 dan dikirim ke pusat-pusat detensi.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
KUALA LUMPUR, KAMIS — Malaysia melaporkan 277 kasus baru Covid-19 pada Kamis (4/6/2020), peningkatan harian terbesar di negara itu. Merebaknya wabah itu umumnya terjadi di pusat-pusat detensi buruh migran sehingga memicu dugaan otoritas Malaysia gagal melindungi pekerja asing.
Jumlah total kasus Covid-19 sebenarnya relatif kecil jika dibandingkan dengan negara-negara lain, termasuk di kawasan Asia. Hingga tengah pekan ini ada total 8.247 kasus Covid-19 dilaporkan di Malaysia, dengan jumlah kasus kematian sebanyak 115 kasus. Pemberlakuan kebijakan penutupan wilayah selama beberapa waktu dinilai ikut membuat situasi terkendali.
Namun, kasus positif Covid-19 telah meningkat dengan cepat sejak pekan lalu di pusat-pusat detensi buruh migran. Pusat detensi adalah tempat penahanan warga asing yang berada di negara itu secara ilegal. Malaysia merupakan salah satu tujuan pekerja migran asal sejumlah negara, seperti Indonesia, Myanmar, dan Bangladesh. Mereka bekerja di sejumlah sektor, mulai dari pertanian, perkebunan, infrastruktur, hingga manufaktur.
Pejabat senior Kementerian Kesehatan Malaysia, Noor Hisham Abdullah, mengungkapkan, dari kasus yang dilaporkan pada Kamis, 270 kasus di antaranya adalah kasus positif Covid-19 yang menimpa orang-orang asing yang ditahan di satu pusat detensi migran di Kuala Lumpur. Pusat detensi itu hingga Kamis telah melaporkan lebih dari 600 kasus positif Covid-19. Sementara lebih dari 100 infeksi lainnya tercatat di beberapa fasilitas penahanan migran lain di Malaysia.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia telah memperingatkan selama berbulan-bulan tentang potensi wabah di pusat-pusat detensi itu. Menurut mereka, tempat-tempat itu sempit, kotor, dan kekurangan fasilitas medis yang memadai. ”Tempat-tempat itu adalah tempat yang terbatas, dengan siklus konstan jadi tempat keluar masuknya orang, sehingga menjadi lokasi sempurna untuk menyebarkan virus ke dan dari masyarakat,” kata Glorene Das, direktur eksekutif kelompok hak-hak migran Tenaganita.
Wabah ini juga memicu kontroversi mengenai penggerebekan dalam beberapa pekan terakhir. Sejumlah besar migran tidak berdokumen ditangkap dari tempat yang diduga sebagai sarang Covid-19 dan dikirim ke pusat-pusat detensi itu. Pemerintah Malaysia mengurangi tingkat pembatasan wilayah pada bulan lalu. Hal itu memungkinkan sebagian besar bisnis dibuka kembali, tetapi beberapa pembatasan tetap ada.
Kritik
Sejauh ini belum diperoleh konfirmasi apakah ada pekerja migran Indonesia yang ditahan dan atau positif Covid-19 dalam laporan terbaru di Malaysia itu. Data terbaru Kementerian Luar Negeri RI pada Jumat (5/6/2020) menunjukkan tambahan kasus terkonfirmasi Covid-19 pada sejumlah WNI di Arab Saudi dan Kuwait.
Total WNI terkonfirmasi Covid-19 di luar negeri adalah 994 orang, dengan 56 orang di antaranya meninggal dan 387 orang masih dalam perawatan. Adapun WNI di Malaysia yang positif Covid-19 adalah 157 orang. Dari jumlah itu, 40 orang di antaranya sembuh, 115 orang dalam kondisi stabil, dan 2 orang meninggal.
Indonesia saja melakukan relaksasi tahanan. Malaysia justru menggunakan momentum Covid-19 untuk menangkapi pekerja yang diduga ilegal dan pengungsi Rohingya.
Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant Care, lembaga yang mengadvokasi hak-hak pekerja migran, mengkritik kebijakan otoritas Malaysia yang dinilai justru menggunakan momentum pandemi Covid-19 untuk menerapkan pendekatan keamanan dan represif terhadap pekerja migran di negara itu.
Apalagi, tidak ada kejelasan apakah pusat-pusat detensi migran di Malaysia mengenakan protokol Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) atau tidak. ”Indonesia saja melakukan relaksasi tahanan. Malaysia justru menggunakan momentum Covid-19 untuk menangkapi pekerja yang diduga ilegal dan pengungsi Rohingya,” kata Wahyu.
Wahyu mendorong Kementerian Luar Negeri RI mendesak otoritas Malaysia untuk tidak bertindak represif terhadap migran, khususnya pekerja migran, selama masa pandemi ini. Pemerintah RI dapat menjadi contoh kepatuhan atas protokol WHO dalam menghadapi WNA, misalnya terhadap para jemaah tablig yang berada di wilayah RI.
”Momentum itu ada di Juni ini, yakni di KTT ASEAN. Tunjukkan Malaysia juga dapat mencontoh langkah Singapura dalam mengurusi kaum buruh migran,” ujarnya.
Migran di Singapura
Pemerintah Singapura dilaporkan tengah berlomba untuk membuat perumahan tambahan bagi sekitar 60.000 pekerja migran dengan target selesai pada akhir tahun ini. Singapura berupaya mengurangi kepadatan di asrama yang telah mengalami lonjakan kasus positif Covid-19. Singapura mengonfirmasi 544 kasus baru Covid-19 pada Selasa (2/6/2020) sehingga total kasus Covid-19 di negara itu menjadi 35.836 kasus.
Jumlah kasus positif Covid-19 di negara berpenduduk 5,7 juta jiwa itu adalah salah satu yang terbesar di Asia. Sebagian besar kasus terjadi di asrama-asrama migran yang menampung lebih dari 300.000 orang. Sebagian besar dari mereka adalah pekerja asal negara-negara di Asia Selatan.
Singapura akan menciptakan ruang tambahan dalam bentuk bangunan semi-permanen yang dapat disatukan dengan cepat dalam bentuk modular. Hal itu dinilai cocok untuk sementara dan dibangun di sejumlah properti milik negara yang tidak digunakan.
Properti-properti itu di antaranya bekas sekolah dan pabrik yang kosong. Pemerintah setempat mengatakan, asrama adalah pendekatan praktis untuk menampung pekerja migran di Singapura yang selama ini memiliki persoalan dasar, yaitu kekurangan lahan. Meskipun bersifat sementara, Singapura tetap berupaya agar asrama untuk pekerja migran itu memenuhi standar akomodasi. (AFP/REUTERS)