Kelembagaan Penyelenggara Pemilu Belum Diperhatikan
Draf RUU Pemilu yang dirumuskan tenaga ahli Komisi II DPR dan Badan Keahlian DPR dinilai belum memberikan perhatian terhadap manajemen pemilu dan kelembagaan penyelenggara pemilu, serta penegakan hukum pemilu.
JAKARTA, KOMPAS — Draf Rancangan Undang-Undang Pemilu yang dirumuskan tenaga ahli Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan Keahlian DPR belum memberikan perhatian terhadap manajemen pemilu dan kelembagaan penyelenggara pemilu, serta penegakan hukum pemilu. Tema-tema besar terkait dengan sistem pemilu, ambang batas, dan perolehan kursi masih menjadi fokus dan terus diutak-atik dari setiap perubahan regulasi tentang pemilu.
Padahal, manajemen pemilu serta penguatan kelembagaan penyelenggara pemilu dan penegakan hukum pemilu merupakan isu krusial untuk mewujudkan pemilu yang demokratis dan berkeadilan.
Tanpa adanya penguatan kelembagaan penyelenggara dan titik berat kepedulian pada manajemen pemilu serta upaya menghadirkan keadilan elektoral, perubahan regulasi pemilu tak ubahnya sebagai sarana partai-partai bernegosiasi dan berdebat untuk mengamankan posisi masing-masing dalam kontestasi politik dan melupakan tujuan digelarnya pemilu.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, Jumat (5/6/2020), mengatakan, dari kajian Perludem atas RUU Pemilu itu, titik beratnya masih dominan pada pembahasan tentang perubahan sistem pemilu, apakah proporsional terbuka ataukah proporsional tertutup.
Baca juga : Desain Pemilu Dirumuskan
Perdebatan mengenai hal itu akan sangat panjang karena tiap-tiap sistem memiliki kekurangan dan kelebihan. Sayang, sekalipun telah mengalami dua jenis sistem pemilu itu, Indonesia tidak dapat menerapkannya dengan konsekuen.
”Sistem pemilu kita selama ini sebenarnya tambal sulam karena tidak pernah benar-benar konsekuen menerapkan apa yang telah dipilih. Ini bukan soal mengadopsi suatu sistem yang disesuaikan dengan kearifan lokal. Tetapi, ini bagaimana kita membangun suatu sistem pemilu yang koheren dengan sistem politik, sistem perwakilan, dan sistem pemerintahan kita,” kata Titi.
Terkait dengan hal itu, draf RUU Pemilu dinilainya belum mencerminkan koherensi tersebut. Pembahasan soal sistem proprosional terbuka ataukah tertutup pun dinilai hanya menjadi arena pertarungan parpol-parpol.
Dari setiap peruabahan RUU Pemilu, hal itu kerap dibahas dan diutak-atik. Demikian halnya dengan ambang batas pencalonan presiden atau ambang batas perolehan suara untuk penentuan kursi parlemen.
Baca juga : RUU Pemilu Jadi Pintu Masuk Kodifikasi Aturan Politik
”Isunya selalu soal sistem pemilu, ambang batas, dan penentuan kursi. Itu sesuatu yang sangat erat berkait dengan kepentingan parpol-parpol memperoleh kekuasaan di dalam pemilu. Parpol besar pasti ingin proporsional tertutup. Parpol menengah ingin proporsional terbuka. Parpol besar ingin ambang batas tinggi, sedangkan parpol menengah ingin ambang batas rendah,” kata Titi.
”Selalu pembahasannya hanya berkutat di situ. Padahal, isu pemilu dan kompleksitasnya tidak hanya pada sistem, tetap juga pada manajemen, kelembagaan, dan keadilan elektroal,” ujarnya.
Baca juga : Revisi UU Pemilu Diharapkan Tingkatkan Kualitas Demokrasi
Kewenangan Bawaslu
Terkait dengan penguatan kelembagaan penyelenggara pemilu, di dalam draf RUU tertanggal 6 Mei 2020 juga terdapat penguatan kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk melakukan audit investigatif jika ditemukan ada pelanggaran audit dana kampanye oleh peserta pemilu. Hal itu diatur di dalam Pasal 463. Pada Ayat 1, pasal itu berbunyi, ”Dalam hal ditemukan dugaan pelanggaran peraturan perundang-undangan Bawaslu dan Bawaslu Provinsi berwenang melakukan audit investigatif.”
Pasal itu, menurut Titi, patut diapresiasi karena selama ini Bawaslu tidak memiliki cukup kewenangan untuk melakukan audit investigatif. Kendati demikian, ketentuan itu harus diperjelas dan dipertegas supaya lebih terang pelanggaran seperti apa yang dapat dilakukan investigasi oleh Bawaslu.
Sebab, selama ini sekalipun ditengarai banyak uang yang beredar dalam penyelenggaraan pemilu, dan politik yang bersifat transaksional, perbuatan itu tidak mudah untuk diungkap, bahkan oleh penegak hukum sekalipun. Oleh karena itu, pemberian kewenangan investigasi kepada Bawaslu itu harus ditopang pula dengan kejelasan aturan mengenai perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat didekati dengan upaya tersebut.
Di sisi lain, masyarakat sipil berharap adanya perbaikan relasi dan pengaturan kelembagaan penyelenggara pemilu sehingga tidak lagi ada disharmoni antara Komisi Pemilihan Umum, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
Selama ini, disharmoni rentan terjadi karena ketidakjelasan pembagian kerja dan kewenangan. Bawaslu, misalnya, menurut Titi, harus diatur kembali kewenangannya sebagai lembaga pengawas yang juga menjadi hakim atau lembaga ajudikasi sengketa dan persoalan tahapan ataupun administrasi.
”Selama ini, kan, dalam setiap tahapan, Bawaslu selalu terlibat. Tetapi, ketika ada persoalan dalam tahapan itu, Bawaslu juga yang menjadi hakim. Dalam hal ini, harus ada perbaikan kewenangan kelembagaan sehingga tidak timbul disharmoni antara KPU dan Bawaslu,” katanya.
Kutub perbedaan
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Alwan Ola Riantoby mengatakan, sejumlah perbedaan memang ditemukan dalam draf RUU Pemilu. Perbedaan itu antara lain pada penggunaan sistem proporsional tertutup, kenaikan ambang batas parlemen menjadi 7 persen, dan adanya pengurangan daerah pemilihan (dapil).
”Pilihan perubahan tersebut akan melahirkan kutub perbedaan, baik yang pro maupun kontra. Terutama antara partai besar dan partai kecil,” katanya.
Baca juga : DPR Siapkan Sejumlah Opsi Ambang Batas Parlemen
Namun, khusus untuk pilihan sistem proporsional tertutup, menurut Alwan, sistem itu memiliki kelemahan. Sebab, risiko kanal partisipasi publik tertutup akan menjadi lebih besar. Sistem itu juga menimbulkan hubungan antara pemilih dan wakilnya pascapemilu menjadi jauh.
”Selain itu, juga akan menumbuhkan oligarki karena semua kewenangan ada pada partai, serta adanya potensi atau terbukanya ruang politik transaksional di internal partai dalam bentuk jual beli nomor urut,” katanya.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Arif Wibowo menekankan, draf itu masih harus diperbaiki dan dimintakan pendapat kepada fraksi-fraksi. Perbedaan pendapat di antara fraksi-fraksi besar kemungkinan terjadi karena fraksi-fraksi belum satu suara tentang sejumlah pengaturan di dalamnya.
Ia pun membantah jika Komisi II DPR tidak memperhatikan kelembagaan dan manajemen pemilu serta penegakan hukum pemilu.
”Semuanya kami pikirkan, bukan hanya sistem pemilu dan ambang batas. Soal itu, kami bisa saja berbeda-beda pandangan nanti dengan fraksi-fraksi lain di dalam pembahasan. Tetapi, soal penguatan kelembagaan tentu jadi perhatian kami. Misalnya soal perlu tidaknya Bawaslu dijadikan lembaga permanen untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Itu juga jadi salah satu hal yang akan kami bahas nanti,” papar Arif.
Baca juga : Pemilu 2019 Jadi Bahan Evaluasi
Khusus terkait Bawaslu, PDI-P mengusulkan semua pihak untuk mengkaji kembali perlunya lembaga itu permanen di tingkat daerah.
Sebab, dengan adanya pemilu serentak, baik lokal maupun nasional, kerja pengawasan tidak akan diperlukan lagi setiap tahun. Sebab, kerja Bawaslu di daerah praktis hanya berjalan lima tahun sekali. Di sisi lain, pengawasan oleh masyarakat secara partisipatif pun dapat digerakkan.
”Jadi, bukan kami tak peduli manajemen pemilu dan kelembagaan penyelenggara. Itu semua juga kami pikirkn nanti di dalam pembahasan,” katanya.