Menjaga Hak Berdaulat dengan Diplomasi Surat dalam Konflik Laut China Selatan
›
Menjaga Hak Berdaulat dengan...
Iklan
Menjaga Hak Berdaulat dengan Diplomasi Surat dalam Konflik Laut China Selatan
Dengan berulang kali menentang klaim China dalam isu Laut China Selatan, Indonesia menerapkan strategi keberatan berkesinambungan dan menjaga hak untuk tidak terikat pada klaim tersebut.
Oleh
KRIS MADA & MH SAMSUL HADI
·4 menit baca
Perwakilan Tetap RI untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 26 Mei 2020 mengirim nota edaran kepada Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres berisi penegasan sikap dan posisi Indonesia dalam konflik di Laut China Selatan. Nota edaran (note verbale) ini dikirim menanggapi nota Perwakilan Tetap China untuk PBB terkait protes terhadap tiga negara ASEAN, yakni Malaysia, Filipina, dan Vietnam, dalam isu Laut China Selatan.
Nota edaran Perwakilan Tetap RI (PTRI) di New York itu memuat tiga poin sikap, yang selama ini menjadi posisi Indonesia dalam isu Laut China Selatan (LCS). Disebutkan, misalnya, Indonesia bukan pihak yang bersengketa dalam isu tersebut. Selain itu, juga disampaikan penegasan ulang Jakarta bahwa peta sembilan garis putus-putus (nine-dash line), yang selama dijadikan dasar klaim China di LCS, tak memiliki dasar hukum internasional, termasuk Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982).
”Pandangan ini juga telah dikonfirmasi oleh putusan arbitrase tanggal 12 Juli tahun 2016 bahwa seluruh hak historis yang mungkin dimiliki oleh Republik Rakyat Tiongkok terhadap sumber daya hayati ataupun nonhayati telah gugur seiring dengan ditetapkannya batasan-batasan zona maritim oleh UNCLOS 1982,” demikian pernyataan dalam nota PTRI di New York.
Pernyataan tersebut merujuk pada keputusan Mahkamah Arbitrase Permanen (PCA) di Den Haag, Belanda, menanggapi pengajuan keberatan Pemerintah Filipina tahun 2013. Dalam putusannya, PCA menyatakan, klaim historis China di LCS yang ditandai dengan sembilan garis putus-putus (nine-dash line) tidak memiliki landasan hukum. Hak-hak historis China di LCS sebelumnya yang diklaim China, disampaikan PCA, telah terhapus jika hal itu tidak sesuai dengan zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang ditetapkan berdasarkan perjanjian PBB.
”Indonesia dengan ini menyatakan diri tidak terikat pada klaim-klaim yang bertentangan dengan hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982,” demikian pernyataan PTRI dalam nota edaran tersebut.
Pada 2 Juni 2020, Perwakilan Tetap China untuk PBB merespons nota edaran PTRI dengan mengeluarkan tiga poin pernyataan. Selain menegaskan posisinya di LCS, China juga menyatakan, pihaknya tidak memiliki sengketa teritorial dengan Indonesia di LCS.
”Tetapi, China dan Indonesia memiliki klaim tumpang tindih dalam hak-hak maritim dan kepentingan di beberapa bagian di Laut China Selatan,” demikian isi nota edaran itu. ”China bermaksud menyelesaikan klaim-klaim tumpang tindih itu melalui negosiasi dan konsultasi dengan Indonesia.”
Diplomasi melalui surat di Markas Besar PBB itu terjadi setelah ketegangan di LCS kembali memanas, April-Mei lalu, di tengah pandemi Covid- 19. Pada April lalu, China membentuk dua distrik administrasi baru dan memberi nama 80 fitur geografis di Laut China Selatan.
Filipina dan Vietnam, dua dari enam negara pengklaim dalam sengketa Laut China Selatan, memprotes langkah Beijing. Pada April itu juga, kapal patroli penjaga pantai dan laut China bertabrakan dengan kapal nelayan Vietnam di dekat Kepulauan Paracel di LCS. Ketegangan terus berlanjut hingga pertengahan April saat kapal China menggelar survei eksplorasi di dekat kapal The West Capella, yang dikontrak perusahaan energi Malaysia, Petronas, di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Malaysia.
Situasi semakin memanas setelah kapal-kapal perang Amerika Serikat dan Australia dikerahkan ke perairan itu.
Pengajar Hukum Laut Internasional Universitas Indonesia, Arie Afriansyah, menyebut, nota edaran PTRI untuk PBB pada 26 Mei 2020 adalah bukti konsistensi sikap Indonesia. ”Indonesia tidak menganggap ada konflik (sengketa atau tumpang tindih klaim perairan) dengan China. Indonesia berdasarkan hukum internasional, China berdasarkan klaim sepihak,” ujarnya, Kamis (4/6/2020), di Jakarta.
Keberatan berkesinambungan
Seorang diplomat senior yang enggan diungkap namanya menyatakan, nota edaran PTRI New York pada 26 Mei 2020 adalah bentuk keberatan berkesinambungan Indonesia. Dalam norma diplomasi, keberatan perlu terus dikemukakan agar sikap suatu negara tidak dinilai berubah. Kebalikan dari keberatan berkesinambungan adalah pengakuan diam-diam dengan cara tidak pernah mengajukan keberatan atas klaim pihak lain.
Dengan berulang kali menentang klaim Beijing, Indonesia menerapkan strategi keberatan berkesinambungan dan menjaga hak untuk tidak terikat pada klaim tersebut. Upaya itu selaras dengan hukum internasional.
Arie mengatakan, Indonesia tidak perlu melayani ajakan merundingkan perbatasan maritim seperti ditawarkan Beijing dalam nota edaran pada 2 Juni 2020. Sebab, Indonesia telah menegaskan tidak punya sengketa perbatasan maritim dengan China. Selain itu, kesediaan berdialog bisa dianggap sebagai pengakuan Jakarta atas klaim sepihak China lewat sembilan garis putus-putus. Dialog Jakarta-Beijing bisa dilakukan jika membahas topik lain.
Bukan kali ini saja Indonesia mengangkat pentingnya penghormatan pada UNCLOS 1982 dan putusan Mahkamah Arbitrase Permanen tahun 2016. Kala memprotes kehadiran kapal-kapal China di Laut China Utara, Indonesia juga menekankan putusan itu. Saat mengenalkan nama Laut Natuna Utara, yakni perairan di utara Kabupaten Natuna yang bersambung dengan Laut China Selatan, Jakarta juga menyinggung putusan tersebut.
Konsistensi merujuk UNCLOS 1982 dan putusan Mahkamah Arbitrase Permanen penting untuk mencegah situasi tegang di kawasan. Selain penting untuk konteks internasional, konsistensi merujuk UNCLOS 1982 dan Mahkamah Arbitrase Permanen juga penting untuk kebutuhan dalam negeri. Masyarakat Indonesia perlu terus mengetahui bahwa pemerintah tetap menjaga hak berdaulat di Laut Natuna Utara yang berbatasan dengan LCS.