Pengangguran di AS Diperkirakan Tertinggi Sejak Perang Dunia II
›
Pengangguran di AS...
Iklan
Pengangguran di AS Diperkirakan Tertinggi Sejak Perang Dunia II
Tingkat pengangguran di Amerika Serikat diperkirakan melonjak hingga hampir 20 persen pada bulan Mei. Jika proyeksi itu benar maka akan menjadi tingkat rekor baru terpuruknya ketenagakerjaan AS pasca Perang Dunia II.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·5 menit baca
WASHINGTON, JUMAT — Tingkat pengangguran di Amerika Serikat diperkirakan melonjak hingga hampir 20 persen pada bulan Mei. Jika proyeksi itu benar maka akan menjadi rekor baru terpuruknya sektor ketenagakerjaan AS pasca Perang Dunia II. Pandemi Covid-19 dan kebijakan penutupan wilayah menjadi faktor penekan pada kinerja ekonomi termasuk ketenagakerjaan.
Publik dan kalangan pelaku pasar menunggu laporan data ketenagakerjaan terbaru AS yang akan dirilis Jumat (5/6/2020) waktu setempat di Washington. Tekanan hebat terhadap sektor ketenagakerjaan AS berpotensi memperkuat prediksi para ekonom bahwa perlu beberapa tahun bagi AS untuk pulih dari krisis ekonomi. Efek tambahan yang mungkin ada dari protes atas kematian George Floyd di semua negara bagian di AS belum masuk dalam proyeksi itu.
Data Mei sejauh ini diprakirakan menjadi titik terendah bagi pasar tenaga kerja di AS. Tingkat pemutusan hubungan kerja tetap sangat tinggi. Namun tekanan itu mereda pada paruh kedua Mei karena bisnis-bisnis boleh dibuka kembali setelah ditutup pada pertengahan Maret.
Kepercayaan konsumen, industri manufaktur dan jasa juga stabil, meskipun masih pada level rendah. Paling tidak tanda-tanda itu membawa harapan bahwa kondisi terburuk sudah berakhir.
"Kabar baiknya adalah bahwa kita mungkin telah mencapai titik terendah," kata Sung Won Sohn, seorang profesor keuangan dan ekonomi di Loyola Marymount University di Los Angeles. "Tetapi pemulihan akan sangat lambat. Butuh waktu bertahun-tahun, mungkin satu dekade untuk kembali ke level kita berada pada akhir tahun lalu."
Laporan ketenagakerjaan disusun dari dua survei terpisah. Menurut jajak pendapat Reuters terhadap para ekonom, survei rumah tangga cenderung menunjukkan tingkat pengangguran yang melonjak menjadi 19,8 persen pada Mei dari 14,7 persen pada April. Itu adalah angka tertinggi sejak 1948 ketika pemerintah mulai membuat catatan. Survei perusahaan diperkirakan menunjukkan data nonfarm payrolls turun ke level 8 juta. Data itu menunjukkan rekor 20,537 juta pada bulan April.
Data itu akan menunjukkan jumlah total hilangnya pekerjaan di AS menjadi 29,4 juta sejak Maret, setara tiga kali lipat angka hilangnya pekerjaan selama resesi 2007-2009.
Biro Statistik Tenaga Kerja (BLS) Kementerian Tenaga Kerja AS mengatakan kesalahan klasifikasi oleh responden membuat tingkat pengangguran lebih rendah daripada kondisi yang sebenarnya di bulan April. Sejumlah besar orang telah mengklasifikasikan diri mereka sebagai tetap dipekerjakan untuk kategori PHK sementara. Seharusnya mereka masuk klasifikasi menganggur meskipun berada masa PHK sementara”. BLS adalah pihak yang menyusun laporan ketenagakerjaan di AS.
Tanpa kesalahan klasifikasi, data pengangguran April akan mendekati level 19 persen. Beberapa ekonom mengharapkan BLS mengatasi masalah ini pada bulan Mei, untuk dapat mengkaji estimasi tingkat pengangguran Mei dalam survei Reuters yang mencapai angkat 27 persen. Sebagai catatan, estimasi itu lebih tinggi dari tingkat pengangguran pada kala Depresi Hebat tahun 1930-an, yaitu mendekati 25 persen.
Di sisi lain, rincian survei rumah tangga AS juga dapat menawarkan petunjuk baru tentang ekonomi AS. Pada bulan April, setidaknya 18,1 juta dari 23,1 juta orang yang menganggur mengatakan bahwa mereka sedang berada di status PHK sementara. Hal itu mengindikasikan bahwa mereka akan kembali bekerja dalam waktu enam bulan. Sekitar 2,6 juta orang lainnya percaya bahwa mereka telah kehilangan pekerjaan secara permanen.
“Apa yang membuat penurunan ini berbeda dari yang lain adalah bahwa orang-orang telah berkeyakinan ketika pelonggaran dilakukan, maka pekerjaan mereka akan kembali,” kata Steven Blitz, kepala ekonom AS pada lembaga TS Lombard di New York. “Jika kita melihat PHK sementara turun karena (mereka) lebih banyak melihat kehilangan pekerjaan itu permanen, maka artinya kepercayaan mereka terhadap ekonomi (dalam) enam bulan dari sekarang akan menjadi jauh lebih kecil dan itu akan mengurangi rencana pengeluaran.”
Para ekonom mengatakan persepsi pekerja bahwa PHK mereka bersifat sementara, adalah salah satu alasan pasar saham AS telah pulih secara tajam dari posisi terendah selama pandemi. Angka kehilangan pekerjaan yang diantisipasi pada Mei itu, antara lain adalah berkurangnya tekanan pada industri rekreasi dan perhotelan. Bulan lalu, sejumlah pemerintah negara bagian dan daerah yang kekurangan dana kemungkinan telah menghentikan profesi seperti guru.
Kinerja ekspor
Ketika AS tengah bergulat dengan isu ketenagakerjaan, kinerja ekspor dan impor AS juga jeblok. Rekor penurunan ekspor dan impor AS pada bulan April bahkan mendorong naiknya defisit perdagangan naik dari 7 miliar dollar AS menjadi 49,5 miliar dollar AS.
Data Kementerian Perdagangan AS menunjukkan ekspor barang dan jasa AS turun lebih dari 20 persen atau 39 miliar dollar AS dibandingkan Maret. Nilainya menjadi 151,3 miliar dollar AS yang merupakan level terendah dalam 10 tahun.
Impor pada bulan April turun 13,7 persen atau senilai 32 miliar dollar AS menjadi 200,7 miliar dollar AS. Hal itu menjadikan defisit perdagangan AS membengkak 26 miliar dollar AS, atau lebih dari 13 persen, dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Hal itu masih merujuk pada laporan terbaru Kemdag AS yang dirilis Kamis.
Risiko politik
Kesulitan pasar tenaga kerja menimbulkan risiko yang signifikan bagi pemerintahan Presiden Donald Trump. Meskipun banyak ekonom memperkirakan tingkat pengangguran mencapai puncaknya pada bulan Mei, diperkirakan tingkat pengangguran tetap akan berada di atas 10 persen ketika warga Amerika menuju ke tempat pemungutan suara pada 3 November nanti.
Situasi itu tentu menjadi tantangan berat bagi Trump yang tengah berupaya keras untuk terpilih kembali pada pilpres November mendatang. Apalagi, pemerintahannya juga dikritik keras terkait penanganan pandemi Covid-19.