Secara Sosial, Warga DKI Belum Siap Menuju Normal Baru
›
Secara Sosial, Warga DKI Belum...
Iklan
Secara Sosial, Warga DKI Belum Siap Menuju Normal Baru
Masyarakat di DKI Jakarta dinilai belum siap menjalani normal baru karena sebagian masih kurang terlibat dalam menegakkan disiplin menjalankan protokol kesehatan untuk menahan laju penularan Covid-19.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS--Sekalipun saat ini laju penularan Covid-19 di Jakarta mulai menurun, tapi secara sosial masyarakat dinilai masih berisiko tinggi. Tekanan ekonomi telah mempengaruhi persepsi risiko masyarakat sehingga belum bisa menerapkan perilaku hidup aman.
Demikian salah satu kesimpulan dari survei tentang persepsi risiko masyarakat di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta yang dilakukan oleh Social Resilience Lab Nanyang Technological University (NTU) Singapura bersama Laporcovid-19. Hasil survei dipaparkan oleh Sulfikar Amir, sosiolog bencana dari NTU, dalam webinar, Kamis (4/6).
Menurut Sulfikar, penyebaran virus korona baru ini terkait erat dengan perilaku manusia. Oleh karena itu, selain intevensi medis, yang bisa dilakukan untuk menekan wabah adalah melalui intervensi sosial, di antaranya membatasi interaksi antar manusia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga telah menekankan pentingnya aspek sosial dalam penanganan wabh ini. Bahkan, salah satu syarat sebelum suatu negara menuju transisi normal baru adalah memastikan keterlibatan publik, tujuannya agar mereka memiliki persepsi risiko yang tinggi terhadap ancaman penularan sehingga bisa berperilaku sehat dan aman.
"Melihat pentingnya perilaku sosial ini, kita harus punya kemampuan untuk melihat apa yang terjadi di masyarakat secara sosiologis. Dalam penelitian ini, kami fokus untuk mengetahui persepsi risiko masyarakat di Jakarta," kata dia.
Survei yang dilakukan sejak 29 Mei hingga 2 Juni 2020 ini berhasil mengumpulkan responden valid sebanyak 3.160. Dari aspek pendidikan, sebagian besar responden merupakan sarjana (41,86 persen) dan lulusan SMA (40,08 persen). Sementara jenis pekerjaan cukup merata di sektor informal dan formal.
Hasilnya ditemukan, tingkat pengetahuan responden mengenai Covid-19 tergolong baik, di mana sumber informan yang paling dipercaya adalah kalangan ahli dan tenaga kesehatan, disusul agamawan, dan keluarga. "Secara keseluruhan, indeks persepsi risiko warga Jakarta adalah 3,46 atau dalam rentang kurang siap dan agak siap menghadapi normal baru. Idealnya angkanya di atas 4, sehingga untuk saat ini sebaiknya jangan dulu dipaksa ke normal baru," kata Sulfikar.
Dalam kajian ini juga ditemukan, tekanan ekonomi menjadi faktor dominan yang mempengaruhi persepsi risiko masyarakat. Tekanan ekonomi ini yang membuat masyarakat tetap beraktivitas di luar rumah dan mengabaikan risiko wabah.
Irma Hidayana, perwakilan dari Laporcovid-19 mengatakan, dengan temuan ini, pemerintah seharusnya lebih meningkatkan pemberian jaminan sosial ekonomi kepada masyarakat kurang mampu. "Memaksa masyarakat untuk beraktivitas di tengah wabah yang belum mereda, justru akan meningkatkan risiko," kata dia.
Irma menambahkan, transparanis dan kepercayaan terhadap sumber informasi juga akan mempengaruhi persepsi risiko. Oleh karena itu, untuk meningkatkan persepsi risiko masyarakat, pemerintah didorong untuk lebih terbuka dengan data, termasuk juga menyampaikan jumlah korban meninggal yang masih dalam status pasien dalam pengawasan (PDP) maupun orang dalam pemantauan (ODP), selain yang sudah positif.
Dalam kajian ini, para peneliti juga mengukur sentimen warga terhadap pemerintah pusat dan daerah. "Respon masyarakat DKI Jakarta terhadap pemerintah pusat dalam penanganan Covid-19 ternyata sentimennya lebih besar yang negatif. Ada juga yang menganggap baik. Tetapi, sentimen negatifnya lebih dominan, di anaranya dianggap inkonsisten, tertutup hingga tidak jujur. Sebaliknya, respon sentimen terhadap Pemerintah DKI lebih banyak yang positif," kata Sulfikar.