(Bukan) Normal Baru Intermediasi Perbankan
Selama pandemi, intermediasi perbankan bukan lagi dari nasabah penabung ke sektor riil, melainkan hanya sekadar menjadi perantara likuiditas dari BI ke pemerintah. Semoga tidak menjadi normal baru intermediasi bank.
Sejak awal kemunculannya pada abad ke-17 di Eropa, perbankan berfungsi utama sebagai lembaga intermediasi keuangan. Perbankan menjadi perantara keuangan antara masyarakat yang kelebihan dana dengan masyarakat yang membutuhkan dana.
Masyarakat yang kelebihan uang menyimpan dananya di bank sebagai tabungan yang kemudian oleh bank disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan dana sebagai kredit.
Menurut UU Perbankan Nomor 10 Tahun 1998, bank disebut sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit.
Berkat fungsi intermediasi perbankan, perekonomian bisa berputar lebih cepat sehingga kesejahteraan pun meningkat. Pelaku usaha yang membutuhkan dana untuk membuka pabrik baru tak perlu lagi menunggu terlalu lama hingga tabungannya cukup.
Ia cukup datang ke bank membawa prospek usaha dan jaminan, maka kredit pun cair. Dengan kredit tersebut, pelaku usaha dengan cepat bisa meningkatkan produksinya dan menyerap lebih banyak tenaga kerja.
Jadi sejatinya, perbankan merupakan lembaga intermediasi yang bertugas menyalurkan kredit terutama ke sektor riil agar perekonomian tumbuh lebih cepat.
Perbankan di Indonesia tentu saja juga melakukan fungsi intermediasinya, dengan menyalurkan kredit ke sektor riil. Per Februari 2020, total outstanding kredit perbankan nasional mencapai Rp 5.712 triliun.
Dari jumlah itu, sebanyak Rp 4.144 triliun atau 72,5 persen disalurkan kepada dunia usaha sebagai kredit produktif yakni untuk investasi dan modal kerja.
Baca juga: Awan Gelap Membayangi Perbankan
Pada era reformasi, khususnya periode 2001 – 2014, kredit perbankan tumbuh rata-rata 20,75 persen per tahun. Selama periode ini, sektor riil berkembang pesat, membuat perekonomian nasional tumbuh relatif cepat.
Namun sayangnya, selama periode 2015-2019, pertumbuhan kredit anjlok, rata-rata hanya 8,9 persen per tahun. Bahkan khusus tahun 2019, kredit hanya tumbuh 6,08 persen, terendah sejak krisis 1998.
Surat utang negara
Rendahnya pertumbuhan kredit selama periode 2015 – 2019 terjadi karena perbankan makin gemar menempatkan likuiditasnya pada surat utang negara atau dikenal sebagai Surat Berharga Negara (SBN).
Kepemilikan SBN oleh perbankan meningkat dari Rp 350 triliun pada akhir 2015 menjadi Rp 581 triliun pada akhir 2019 atau melaju 16,5 persen per tahun. Padahal selama periode 2007 - 2015, pertumbuhan kepemilikan SBN oleh bank hanya tumbuh 3,8 persen per tahun.
Meningkatnya kepemilikan SBN oleh bank juga dipicu oleh melonjaknya pasokan SBN selama kurun 2015 – 2019. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, SBN neto yang diterbitkan pemerintah sepanjang periode 2015-2019 rata-rata sebesar Rp 297 triliun per tahun dengan yang tertinggi pada 2019, yakni Rp 360 triliun.
Baca juga: Beban Bunga Utang yang Kian Mencekik
Penerbitan SBN neto selama periode 2015-2019 jauh lebih besar dibandingkan dengan periode 2010-2014 yang rata-rata hanya Rp 128 triliun per tahun.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo, pada periode pertamanya, memang berutang besar-besaran melalui penerbitan SBN untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur di seantero Indonesia.
Total utang yang dibuat pemerintah pada 2015-2019 mencapai Rp 2.169 triliun. Sebagai perbandingan, pertumbuhan utang selama lima tahun tersebut lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya yang hanya Rp 932 triliun.
Bank lebih senang membeli SBN ketimbang menyalurkan kredit juga karena selisih (spread) bunga antara keduanya cenderung semakin tipis. Suku bunga kredit terus menurun sementara imbal hasil (yield) SBN relatif stabil. Suku bunga kredit modal kerja saat ini sekitar 10 persen per tahun, sementara imbal hasil SBN 10 tahun rata-rata 7 persen per tahun.
Dengan spread yang hanya 300 basis poin (bps), tentu perbankan lebih senang menempatkan dananya pada SBN yang nihil risiko. Sementara, dengan menyalurkan kredit, perbankan dihantui risiko kredit macet dan tingginya biaya operasional.
Pandemi
Di tengah kondisi ini, datanglah pandemi covid-19, yang bermula dari Wuhan China dan dengan cepat menyebar ke seluruh dunia. Untuk menangkal penyebaran covid-19, pemerintah di tiap-tiap negara pun membatasi aktivitas warganya. Akibatnya, hampir seluruh sektor ekonomi lumpuh, baik dari sisi produksi maupun konsumsi. Dunia usaha pun berguguran.
Dalam kondisi ini, jelas bank makin tak tertarik melakukan fungsi intermediasinya dengan menyalurkan kredit ke sektor riil. Risiko kredit ke sektor riil dinilai bank semakin besar.
Baca juga: Nasib Perbankan dan Bantuan Kredit Pemerintah
Di sisi lain, Pandemi Covid-19 juga memaksa tiap-tiap negara termasuk Indonesia meningkatkan anggaran belanjanya secara drastis untuk penanganan kesehatan, perlindungan sosial, dan pemulihan ekonomi. Untuk memenuhinya, tiap-tiap negara pun berutang besar-besaran, baik dari kreditor di dalam negeri maupun di luar negeri.
Sesuai APBN 2020 dalam Peraturan Presiden No 54/2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2020, pemerintah berencana menambah utang baru sebesar Rp 1.006,4 triliun, yang sebagian besar melalui penerbitan surat utang atau SBN. Dalam kondisi semua negara membutuhkan dana untuk menangani Covid-19, kompetisi di pasar uang internasional jelas sangat ketat karena hampir semua negara juga menawarkan surat utangnya.
Jadi mau tidak mau, pemerintah pun mengandalkan pasar dalam negeri untuk bisa menyerap SBN neto yang akan diterbitkan, yang diproyeksikan mencapai Rp 999,4 triliun.
Namun muncul persoalan baru, apakah likuiditas pasar domestik cukup untuk menyerap SBN tersebut. Sebab, pada tahun-tahun sebelumnya, pemerintah tak pernah menerbitkan SBN sebesar ini. Pada 2019, misalnya, SBN neto yang diterbitkan Rp 359,66 triliun. Pada 2018, lebih rendah lagi, senilai Rp 260,53 triliun.
Daya serap pasar domestik terhadap SBN neto sebenarnya hanya Rp 200 triliun-Rp 400 triliun per tahun. Lalu, bagaimana pasar menyerap SBN sebesar Rp 999,4 triliun pada 2020, yang besarnya dua kali lipat lebih dari rata-rata tahun sebelumnya?
Perantara BI dan Pemerintah
Dalam kondisi inilah peran perbankan dimanfaatkan pemerintah dan BI. Melalui kebijakan quantitative easing, BI memompa likuiditas besar-besaran ke perbankan.
Hingga kini, BI telah menginjeksi likuiditas ke perbankan dan pasar sekitar Rp 583,5 triliun. Rinciannya, selama periode Januari-April 2020, injeksi likuiditas mencapai Rp 415,8 triliun, yang bersumber dari pembelian SBN di pasar sekunder dari investor asing sebesar Rp 166,2 triliun, term repo perbankan Rp 160 triliun, swap valuta asing Rp 36,6 triliun, dan penurunan giro wajib minimum (GWM) rupiah pada Januari dan April 2020 sebesar Rp 53 triliun.
Sementara pada periode Mei 2020, injeksi likuiditas mencapai Rp 167,7 triliun, yang bersumber dari penurunan GWM rupiah menjadi 3,5 persen sebesar Rp 102 triliun, tidak mewajibkan tambahan giro untuk pemenuhan rasio intermediasi makroprudensial (RIM) sebesar Rp 15,8 triliun, serta term repo perbankan dan swap valuta asing Rp 49,9 triliun.
Baca juga: Utak-atik Likuiditas ala Bank Indonesia
Perbankan pun kelimpahan likuiditas, mencapai sekitar Rp 1.100 triliun per April 2020. BI lalu mendorong bank agar menggunakan likuiditas tersebut untuk membeli SBN. Salah satu caranya, dengan menaikkan rasio penyangga likuiditas makroprudensial (PLM) bank sebesar 200 bps menjadi 6 persen dana pihak ketiga (DPK). Kenaikan PLM tersebut wajib dipenuhi melalui pembelian SBN di pasar perdana. Tanpa memenuhi ketentuan tersebut, bank tidak bisa merepokan SBN ke BI.
Sebenarnya, tanpa didorong-dorong pun, perbankan akan senang hati membeli SBN dengan yield tenor 10 tahun saat ini mencapai 7,16 persen.
Alhasil, dengan likuiditas yang berlimpah, perbankan pun ramai-ramai memborong SBN. Kepemilikan SBN oleh bank melonjak drastis dari Rp 581,4 triliun pada akhir 2019 menjadi Rp 924,36 triliun per 3 Juni 2020. Ini berarti hampir seluruh likuiditas yang dipompa BI dialihkan ke SBN melalui perbankan.
Banque
Semua pihak pun senang. BI lega, persoalan likuiditas bisa teratasi. Pemerintah gembira karena ternyata tak sulit mencari utang untuk biaya penanganan Covid-19. Perbankan girang karena keuntungan tetap mengalir meskipun tidak bekerja menyalurkan kredit.
Dan yang paling penting, semua senang karena perbankan tetap bisa menjalankan fungsi intermediasinya. Namun, intermediasinya bukan lagi dari nasabah penabung ke sektor riil, namun dari BI ke pemerintah. Ya, dalam masa pandemi ini, perbankan seolah hanya menjadi perantara likuiditas dari BI ke pemerintah.
Intermediasinya bukan lagi dari nasabah penabung ke sektor riil, namun dari BI ke pemerintah. Perbankan seolah hanya menjadi perantara likuiditas dari BI ke pemerintah.
Kita tentu berharap, ini hanya sementara dan tidak menjadi normal baru (new normal) intermediasi perbankan. Saat ekonomi kembali pulih, bank harus kembali pada fungsi intermediasi yang sesungguhnya, yakni menyalurkan dana masyarakat sebagai kredit untuk sektor usaha.
Jika tidak, maka kita boleh kembali menyebut kata bank sebagai banque atau banca yang dalam bahasa Italia berarti bangku. Hanya dengan duduk-duduk di bangku, sambil ongkang-ongkang kaki, para bankir tetap bisa menangguk untung besar dari perputaran uang.