”Warteg” dan ”Burjo” Krisis di Kampung
Modal para juragan kecil dan karyawan warung nasi di perantauan habis dan tak bisa kembali ke perantauan. Daerah menerima beban tambahan di saat pandemi Covid-19.
JAKARTA, KOMPAS —Pandemi Covid-19 membawa dampak multidimensi yang nyata. Dalam skala kabupaten, daerah seperti Kuningan, Jawa Barat, serta Brebes dan Tegal, Jawa Tengah, menanggung ratusan ribu keluarga pengusaha kecil dan mikro, termasuk yang terpaksa pulang kampung tanpa pekerjaan.
Mereka adalah para pedagang bubur kacang hijau (burjo) dan mi instan di Yogyakarta dan kota lain serta pengusaha warung nasi (warteg) yang tersebar di Tanah Air.
Berdasarkan data Paguyuban Pengusaha Warga Kuningan (PPWK) Yogyakarta, sedikitnya 5.000 perantau Kuningan pulang dari Yogyakarta saja, belum dari daerah lain. Jika sebelumnya mereka mudik membawa rupiah, kini sebagian besar menganggur.
Baca juga : Karantina atau Tidak, Warteg Akan Terus Ada untuk Warga Jakarta
”Setiap bulan satu warung mengirim Rp 3 juta per bulan ke Kuningan. Di Yogyakarta ada 1.000 warung,” ujar Andi Waruga, Ketua PPWK Yogyakarta, Selasa (2/6/2020), yang sejak awal Maret lalu pulang kampung ke Desa Kaduagung.
Sejak itu, ia membantu kakaknya berjualan air mineral galon. Sebelumnya, omzetnya lebih dari Rp 20 juta per bulan di Yogyakarta.
Perantau lain, Maman Abdurahman, juga sama. Pedagang bubur itu akan kembali ke Yogyakarta pertengahan bulan ini. Ia butuh penghasilan menghidupi istri dan tiga anaknya, membayar utang bank Rp 350.000 per bulan yang kini macet, serta biaya anak masuk pesantren. ”Saya akan kembali ke Yogyakarta. Saya siap karantina dulu untuk mencegah penularan. Protokol kesehatan juga kelak saya jalankan,” katanya, yang kini tanpa penghasilan sama sekali.
Baca juga : Ribuan Pedagang Kuningan Hadapi Dilema apabila Kembali Ingin Merantau
Pulang kampung tanpa pekerjaan juga dialami Dwi, warga Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Brebes. Juragan warung nasi di Cipete, Jakarta, itu kini kehabisan modal. Padahal, ia harus melunasi utang gaji ke karyawannya.
”Saya sedang berusaha menjual tanah, tetapi belum laku. Sudah tidak ada modal lagi untuk mulai jualan dan membayar gaji karyawan,” ucapnya. Setidaknya gaji tiga karyawan yang harus ia tanggung Rp 10 juta. Belum termasuk uang kontrak warung dan lainnya.
Dalam kondisi biasa, pendapatan harian warung nasinya yang dirintis sejak lima tahun lalu itu sekitar Rp 3 juta per hari. Namun, sejak pandemi, omzetnya anjlok menjadi Rp 700.000 per hari. Modal belanja bahan makanan saja sekurangnya Rp 1 juta per hari.
Sudah tidak ada modal lagi untuk mulai jualan dan membayar gaji karyawan.
Sejak awal Mei, ia dan karyawannya memilih pulang kampung. Belum lagi para pengusaha lain seperti dirinya. Modal ia perlukan untuk kembali ke Jakarta. Namun, kembali ke Jakarta dan daerah tetangga seperti Banten saat ini tidaklah mudah. Ada surat izin keluar masuk (SIKM) yang harus dimiliki, yang dinilai rumit bagi para pekerja sektor informal.
”Syaratnya rumit, harus ada (surat) pengantar dan surat keterangan bebas Covid-19. Bos sudah minta saya segera kembali ke Jakarta, tetapi dia tidak mau membantu mengurus surat-surat yang diperlukan untuk SIKM,” kata Misbah (25), pegawai warung nasi di Tangerang, warga Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal.
Ia berharap bisa mendapatkan pekerjaan sementara di kampung halaman. Selain untuk mengisi kekosongan kegiatan, pekerjaan sementara juga bisa membuatnya mendapat tambahan modal untuk merantau. Untuk sementara, ia menggantungkan lagi hidupnya kepada orangtuanya.
Baca juga : PSBB Proporsional Bogor, Depok, dan Bekasi Sesuaikan Transisi DKI Jakarta
Kebijakan pemda
Sekretaris Daerah Kabupaten Kuningan Dian Rachmat Yanuar mengatakan, roda perekonomian di Kuningan terganggu pandemi. APBD, misalnya, dipastikan turun dari Rp 3 triliun menjadi Rp 2,6 triliun. PAD juga turun dari Rp 323 miliar menjadi Rp 311 miliar.
Kini, pihaknya menyiapkan Rp 9 miliar untuk memulihkan ekonomi Kuningan. Sasarannya mendorong UMKM. Namun, pihaknya belum bisa memastikan apakah bantuan itu mencakup seluruh UMKM, termasuk pedagang rantau, atau tidak.
Selama pandemi Covid-19, sekitar 11.000 UMKM di Kuningan saja berhenti berjualan atau omzet turun 40 persen.
Baca juga : Kluster Baru Bermunculan di Kuningan, Penapisan Masih Minim
Berdasarkan data UMKM Crisis Center Asosiasi Business Development Services Indonesia, 87 persen dari 1.569 UMKM di Jawa Barat merupakan usaha mikro beromzet kurang dari Rp 300 juta per tahun. Sejumlah 44 persen UMKM merumahkan pekerjanya untuk sementara waktu. Ada juga yang mengurangi jumlah pekerja dan menurunkan upah.
Menurut Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Jabar Kusmana Hartadji, mayoritas UMKM yang terdampak pandemi Covid-19 dari sektor kuliner, pedagang kaki lima, usaha wisata, dan jasa kreatif.
”UMKM didorong berinovasi menyesuaikan dengan kebutuhan saat ini. Pelaku usaha di bidang garmen, misalnya, bertahan dengan memproduksi masker kain yang sedang banyak dicari,” ujarnya.
Baca juga : Ribuan UMKM di Jabar Terdampak Covid-19, Inovasi Harus Jadi Solusi
Sementara itu, pemda di kawasan pesisir pantai utara bagian barat Jateng menyiapkan sejumlah solusi bagi warga yang terkendala kembali ke perantauan. Salah satu solusinya adalah pemberdayaan warga melalui program padat karya desa.
Pemerintah Kabupaten Tegal mencatat, sedikitnya 63.728 orang kembali dari perantauan selama pandemi Covid-19. Beberapa dari mereka kembali ke Kabupaten Tegal karena kehilangan pekerjaan di tempat perantauan, kontrak kerjanya habis, atau tempat usaha sepi.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Tegal Prasetiawan mengatakan, pemerintah sudah menyiapkan beberapa solusi, termasuk bagi mereka yang tak bisa kembali ke perantauan. Mereka diberi bantuan melalui bantuan langsung tunai (BLT) dana desa dan memberdayakan masyarakat melalui program padat karya tunai desa (PKTD).
Program diprioritaskan bagi masyarakat miskin dan yang kehilangan mata pencarian selama pandemi.
Melalui PKTD, masyarakat terdampak diberdayakan untuk melakukan pekerjaan yang berguna bagi kepentingan desa, misalnya bersih-bersih lingkungan, bersih-bersih saluran air, dan kegiatan lain yang tidak memerlukan keahlian khusus. Masyarakat yang diberdayakan akan diupah menggunakan sebagian dana desa.
”Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 50 Tahun 2020, dana desa diprioritaskan untuk penanganan dan pencegahan Covid-19 serta penyaluran BLT. Jika masih ada sisa anggaran, pemerintah desa boleh memanfaatkan dana itu untuk program PKTD,” ujar Prasetiawan.
Di Kabupaten Brebes, pengalokasian sebagian dana desa untuk PKTD sudah dilakukan sejumlah pemerintah desa di Kecamatan Songgom. Di daerah itu, warga diberdayakan menormalisasi sungai dan memperbaiki talut dengan upah Rp 60.000-Rp 80.000 per hari.
”Program diprioritaskan bagi masyarakat miskin dan yang kehilangan mata pencarian selama pandemi,” ucap Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Brebes Subagya.
Pasar daring
Selain inovasi produk, salah satu solusi UMKM di saat pandemi adalah pemanfaatan platform digital. Pasar dalam jaringan dapat menjadi solusi.
Rektor Universitas Padjadjaran Rina Indiastuti menilai, pandemi Covid-19 mengubah perilaku konsumen dengan berbelanja daring. ”Ini peluang agar tetap bertahan di tengah pandemi Covid-19 yang belum tahu kapan berakhir,” katanya.
Sebelumnya, dalam seminar daring ”Strategi Survival di Masa Covid-19: Upaya Adaptasi Usaha Mikro Kecil”, Jumat (15/5), Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki mengatakan, UMKM perlu menyiapkan sejumlah hal untuk masuk ke pasar daring.
Di Kota Cirebon, Jabar, untuk menyangga kelesuan usaha, 1.750 pelaku UMKM menerima bantuan uang tunai Rp 600.000 per bulan selama tiga bulan. ”Bantuan tahap ketiga akan diberikan akhir Juni,” ujar Kepala Dinas Perdagangan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Kota Cirebon Maharani Dewi.