Daur ulang bahan kimia dikampanyekan untuk menekan sampah plastik. Namun, analisis terbaru mengungkapkan, daur ulang bahan kimia justru mencemari, boros energi, punya rekam jejak kegagalan teknis. Kenapa bisa demikian?
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Di tengah-tengah pencemaran plastik yang luar biasa dan peningkatan yang eksponensial dalam produksi plastik, industri telah menggembar-gemborkan daur ulang bahan kimia sebagai solusi terhadap krisis plastik. Namun, analisis teknis baru mengungkapkan bahwa daur ulang bahan kimia mencemari, boros energi, dan memiliki rekam jejak kegagalan teknis.
Laporan tersebut menyimpulkan bahwa daur ulang bahan kimia tidak mungkin menjadi solusi dalam waktu singkat yang tersisa untuk menyelesaikan masalah plastik. Pemerintah diminta mengalihkan pendekatan pengelolaan limbah yang berbahaya seperti daur ulang kimia karena membuang waktu dan biaya, kepada inisiatif-inisiatif yang telah terbukti berhasil dalam pengurangan produksi jumlah plastik.
Kajian teknis akan daur ulang kimia plastik tersebut dilakukan Andrew Neil Rollinson yang bekerjasama dengan Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA), jaringan global lebih dari 800 organisasi akar rumput, nirlaba dan individu di lebih dari 90 negara dengan pengalaman 20 tahun di bidang pengelolaan sampah dan keadilan lingkungan.
Dalam siaran pers GAIA, Kamis (4/6/2020), kajian teknis berjudul Chemical Recycling: Status, Sustainability, and Environmental Impacts tersebut memiliki sejumlah temuan kunci yang menunjukkan “solusi palsu” dari daur ulang kimia. Pertama, daur ulang kimia berisiko tinggi pada kesehatan lingkungan. Sampah plastik mengandung berbagai racun, dan dengan proses pemanasan plastik, lebih banyak lagi racun yang dihasilkan. Pada akhirnya, semua zat beracun itu harus bergerak ke suatu tempat — ke udara, air, dan produk yang dihasilkan teknologi ini.
Kedua, industri telah terlalu melebih-lebihkan kelayakan dari daur ulang kimia, dan terlampau mengecilkan emisi yang dihasilkannya. Kurangnya pelaporan independen yang komperhensif maupun pemantauan aktivitas fasilitas daur ulang kimia telah menyebabkannya gambaran yang dijanjikan menjadi jauh di luar batas kemampuan teknologi ini yang sesungguhnya.
Ketiga, daur ulang kimia memiliki jejak karbon yang besar, dan memiliki resiko dampak iklim yang besar. Dari segi proses, teknologi ini seringkali membutuhkan jumlah energi yang lebih besar untuk berfungsi daripada jumlah energi yang dihasilkannya. Bahkan pada prosesnya, teknologi ini mengeluarkan jumlah CO2 yang signifikan. Fakta ini akan sangat sulit untuk berubah di masa mendatang, dan kita harus segera men-dekarbonisasi seluruh aktivitas kita sekarang.
Keempat, daur ulang kimia tidak akan menyelesaikan permasalahan krisis plastik. Bahkan dengan teknologi plastic-to-plastic paling canggih yang tersedia saat ini, sangat sedikit sampah plastik yang dapat benar-benar dikonversi menjadi plastik baru. Kami menemukan bahwa sebagian besar plastik hilang dalam proses, sehingga tidak dapat memenuhi syarat untuk menjadi bagian dari circular economy.
Andrew Neil Rollinson, insinyur reaktor kimia dan pakar teknologi termal, mengatakan solusi daur ulang kimia plastik memang tampak ideal. “Namun praktik dan akal sehat menunjukkan daur ulang bahan kimia bukanlah jawaban untuk masalah sampah plastik masyarakat,” kata dia.
Hal tersebut justru bisa kontradiktif dengan upaya pengurangan sampah plastik melalui pembatasan/pelarangan penggunaan plastik sekali pakai. Selain itu, keluaran daur ulang kimia berupa minyak dan gas seolah mengamini ketergantungan pada energi fosil.
Ada banyak pembicaraan tentang daur ulang bahan kimia sebagai gelombang daur ulang berikutnya, tetapi sebagian besar perusahaan ini hanya mengubah plastik menjadi bahan bakar untuk membakarnya. Itu bukan daur ulang, itu hanya cara yang mahal dan berbelit-belit untuk membakar bahan bakar fosil. Bahkan ketika mereka mencoba mengubahnya kembali menjadi plastik, sebagian besar bahan hilang dalam proses. Ini adalah teknologi buntu.
”Ada banyak pembicaraan tentang daur ulang bahan kimia sebagai gelombang daur ulang berikutnya, tetapi sebagian besar perusahaan ini hanya mengubah plastik menjadi bahan bakar untuk membakarnya. Itu bukan daur ulang, itu hanya cara yang mahal dan berbelit-belit untuk membakar bahan bakar fosil. Bahkan ketika mereka mencoba mengubahnya kembali menjadi plastik, sebagian besar bahan hilang dalam proses. Ini adalah teknologi buntu,” kata Neil Tangri, Direktur Kebijakan dan Ilmu Pengetahuan GAIA.
Yobel Novian Putra, Mitra Iklim dan Energi Bersih GAIA Asia-Pasifik mengatakan penerapan teknologi yang mahal dan berisiko seperti daur ulang bahan kimia tidak masuk akal bagi negara-negara berkembang, terutama di kota-kota tanpa sistem pengelolaan limbah dasar seperti pengumpulan limbah terpisah,” kata Yobel Novian Putra, Mitra Iklim dan Energi Bersih, GAIA Asia Pasifik.
Ia pun mengkritik kerjasama nota kesepahaman Pemprov Jawa Barat bersama Plastic Energy dalam pembangunan fasilitas pengolahan plastik menjadi bahan bakar. Selain disebut sebagai teknologi plastic-to-fuel, dipromosikan juga sebagai teknologi daur ulang kimia/chemical recycling di lima lokasi. Dua diantaranya di TPA Sarimukti, Bandung Barat dan TPA Galuga, Bogor - sisanya di Bekasi, Tasikmalaya juga Cirebon.
Selain skala besar tersebut, terdapat sejumlah inisiatif serupa berupa penerapan teknologi pirolisis berkala kecil yang mengkonversi plastik menjadi bahan bakar di beberapa tempat. “Sayangnya, tidak ada paparan yang jelas tentang dampak dari investasi pada teknologi ini, terutama di aspek lingkungan,” kata dia.
Plastik yang menjadi bahan baku pada fasilitas tersebut juga merupakan jenis plastik yang selama ini bisa didaur ulang secara mekanis oleh bank sampah maupun industri daur ulang plastik.