Defisit Anggaran Melebar, Pembiayaan Utang Naik Jadi Rp 1.220,3 Triliun
›
Defisit Anggaran Melebar,...
Iklan
Defisit Anggaran Melebar, Pembiayaan Utang Naik Jadi Rp 1.220,3 Triliun
Kebutuhan utang untuk membiayai pelebaran defisit APBN 2020 mencapai Rp 1.220,3 triliun. Kebijakan pembiayaan non-konvensional berupa pencetakan uang dapat ditempuh untuk memenuhi kebutuhan anggaran yang tinggi.
Oleh
Karina Isna Irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebutuhan utang pemerintah untuk menutup defisit APBN 2020 bertambah lagi menjadi Rp 1.220,3 triliun. Peningkatan utang menjadi masalah serius di tengah kecenderungan turunnya pendapatan dan naiknya belanja negara di tengah pandemi Covid-19 serta kebutuhan anggaran untuk pemulihan ekonomi.
Pemerintah kembali mengoreksi defisit APBN 2020 seiring dengan meningkatnya kebutuhan pembiayaan. Dalam Undang-Undang APBN, defisit ditetapkan Rp 307,2 triliun, lalu dikoreksi menjadi Rp 852,9 triliun melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020. Defisit diperlebar lagi menjadi Rp 1.039,2 triliun melalui revisi Perpres No 54/2020.
Pelebaran defisit berkonsekuensi pada peningkatan pembiayaan utang. Kebutuhan utang untuk membiayai defisit meningkat Rp 213,9 triliun menjadi Rp 1.220,3 triliun. Utang akan dipenuhi dengan menarik pinjaman luar negeri dan penerbitan surat berharga negara (SBN) konvensional dan non-konvensional.
Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Deni Ridwan, yang dihubungi Jumat (5/6/2020), mengatakan, kebutuhan penerbitan SBN akan meningkat seiring dengan defisit APBN 2020 yang melebar. Namun, besaran tambahan SBN masih dalam tahap finalisasi.
Tambahan penerbitan SBN akan meningkatkan rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB). Total utang pemerintah per April 2020 mencapai Rp 5.172,48 triliun dengan rasio utang terhadap PDB 31,78 persen. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur batasan maksimal utang pemerintah adalah 60 persen dari PDB.
Bank Dunia memproyeksikan rasio utang Indonesia akan meningkat menjadi 37 persen PDB. Peningkatan rasio utang dipengaruhi oleh pelebaran defisit APBN, perlambatan pertumbuhan ekonomi, dan perlemahan nilai tukar rupiah. Indonesia juga membutuhkan biaya besar untuk pemulihan ekonomi dan sosial serta penanganan kesehatan.
Dalam laporan terbaru bertajuk Prospek Ekonomi Global edisi Juni 2020, Bank Dunia mengingatkan, peningkatan utang menjadi masalah serius bagi negara berkembang dalam beberapa tahun ke depan. Kebutuhan belanja akan naik signifikan, tetapi pendapatan negara turun seiring perlambatan ekonomi.
Sejauh ini, ketertarikan investor terhadap surat utang pemerintah Indonesia dinilai cukup baik. Oleh karena itu, pemerintah berencana menerbitkan dua jenis surat utang valuta asing atau global bond pada paruh kedua tahun 2020. Surat utang tersebut dalam denominasi yen (samurai bond) dan euro (euro bond).
Menurut Deni, strategi kreatif juga ditempuh untuk memenuhi besarnya kebutuhan penerbitan SBN tahun ini. Kemenkeu dan Kementerian Luar Negeri tengah menyiapkan penerbitan instrumen surat utang baru yang menyasar diaspora Indonesia di luar negeri. Diaspora bond itu menurut rencana ditawarkan pada November 2020.
”Keuntungan diaspora bond, negara bisa mendapatkan pembiayaan utang lebih murah dibandingkan dengan mekanisme pasar karena daya jual surat utang adalah patriotisme,” kata Deni.
Non-konvensional
Direktur Riset Center of Reform and Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah berpendapat, pemerintah perlu menempuh pembiayaan non-konvensional untuk memenuhi besarnya kebutuhan anggaran. Sumber pembiayaan dari SBN tidak akan mencukupi karena daya serap pasar terbatas. Dalam lima tahun terakhir, daya serap pasar untuk SBN pemerintah maksimal hanya sekitar Rp 900 triliun.
Di sisi lain, posisi jumlah uang yang beredar di Indonesia saat ini relatif rendah. Rasio uang primer terhadap PDB (M0/PDB) hanya pada kisaran 6 persen. Dalam lima tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan uang beredar dalam arti sempit (M1) juga sangat rendah sekitar 11 persen secara tahunan.
”Likuiditas perekonomian kita saat ini kering. Diperlukan stimulus yang jauh lebih besar sehingga butuh pembiayaan non-konvensional,” kata Piter.
Menurut Piter, Indonesia masih memiliki ruang untuk pencetakan uang (money creation). Kebijakan pencetakan uang dalam kondisi perekonomian saat ini tidak serta-merta mengakibatkan hiperinflasi seperti tahun 1960-1966. Hiperinflasi terjadi apabila kenaikan jumlah uang beredar tidak diimbagi dengan sisi suplai yang kuat akibat kelangkaan bahan baku, ketegangan politik, dan kebijakan makro yang kurang tepat.
”Inflasi bukan masalah karena diperkirakan stabil pada kisaran 3 persen. Lebih baik inflasi ditingkatkan menjadi 5 persen asalkan perekonomian selamat dari resesi apalagi depresi,” ujar Piter.
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah menambahkan, pemerintah harus menyusun strategi agar bunga dari penerbitan SBN tidak terlalu tinggi. Tujuannya agar tambahan penerbitan SBN tidak membebani APBN masa depan. Dalam kondisi serba sulit seperti saat ini, beban pembiayaan utang perlu dibagi antara pemerintah dan Bank Indonesia.
Dalam rapat konsultasi bersama DPR, pemerintah berkomitmen mengurangi pembiayaan utang secara bertahap dalam tiga tahun mendatang. Proyeksi defisit APBN akan menurun dari 6,34 persen PDB tahun 2020 menjadi 4,7 persen tahun 2021, 3,4 persen pada 2022, dan di bawah 3 persen pada 2023.