Kebutuhan bantuan sosial di era pandemi sangat jelas. Dana yang digelontorkan pun deras. Namun, tidak semua bisa merasakannya gara-gara data belum berkualitas.
Oleh
Editor
·2 menit baca
Kebutuhan bantuan sosial di era pandemi sangat jelas. Dana yang digelontorkan pun deras. Namun, tidak semua bisa merasakannya gara-gara data belum berkualitas.
Itulah gambaran pendistribusian bantuan sosial pada dua bulan pertama, April hingga Mei, yang ditelusuri harian Kompas dan laporannya disajikan Kamis-Sabtu (6/6/2020).
Mereka yang seharusnya sudah menerima dua kali bantuan, ada yang baru satu kali menerima, bahkan ada yang belum sama sekali menerimanya. Sebaliknya, mereka yang seharusnya tak berhak menerima bantuan justru mendapatkannya, bahkan berkali-kali. Jumlah bantuan sosial (bansos) salah sasaran boleh jadi tidak mendominasi, tetapi betapa sayangnya bantuan yang sangat berarti itu jika tidak bisa dinikmati oleh mereka yang benar-benar membutuhkannya.
Hingga kini ada tujuh macam bansos untuk membantu warga dalam menghadapi pandemi Covid-19. Kementerian Sosial menyediakan empat macam, yaitu dua bansos reguler (Program Keluarga Harapan Rp 8,3 triliun dan kartu sembako bantuan pangan nontunai Rp 15,2 triliun) serta dua nonreguler (bansos sembako Rp 3,4 triliun dan bansos tunai Rp 16,2 triliun). Bantuan kelima adalah bantuan langsung tunai (BLT) dana desa dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Rp 21,57 triliun. Keenam, bansos yang disediakan pemerintah provinsi. Ketujuh, bansos yang disediakan pemerintah kabupaten/kota.
Total anggarannya tak sedikit. Lima bansos pertama mencapai Rp 64,67 triliun. Apabila didistribusikan tepat sasaran, bisa menjangkau 52,8 juta keluarga atau hampir 69 persen dari total keluarga nasional, sekitar 75,7 juta. Ini belum termasuk dari provinsi, kabupaten, dan kota yang jumlahnya pun sangat besar. Bansos dari Provinsi Jawa Barat, misalnya, mencapai Rp 8,2 triliun.
Sumber masalah dari salah sasaran ini adalah tidak akuratnya data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) sebagai basis data pendistribusian. Data yang diterbitkan pemerintah pusat pada 2016 ini ternyata belum diperbarui banyak daerah.
Pada era negara-negara di dunia terus gencar mengembangkan data raksasa, baik dari sisi volume maupun variasi, dengan sistem pemrosesan data menggunakan komputasi supercepat, kita masih saja tertatih-tatih merapikan data kependudukan dengan sistem kerja tradisional.
Hal ini adalah pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan untuk mengatasi ketertinggalan. Tanpa data berkualitas, bangsa ini tak akan mampu membuat kebijakan yang juga berkualitas dan mengimplementasikannya secara cepat dan tepat. Data sesungguhnya emas.
Kesadaran tentang pentingnya pembenahan data sudah lama muncul. Berita Kompas pada 30 Juni 1967, misalnya, memberitakan kelemahan dan pelaporan data yang dihadapi Biro Pusat Statistik. Saat pembahasan KTP elektronik tahun 2013, kesadaran itu pun mengemuka. Namun, semangat ini kerap terkalahkan berbagai kepentingan. Kini, Program Satu Data Indonesia ditargetkan kembali. Tahun 2020 pun sebagai tahun sensus. Jangan lagi kita kehilangan momentum.