Nasib Pekerja Korban Covid-19 Tak Menentu
Tidak ada jaminan bahwa semua pekerja yang menjadi korban PHK dan dirumahkan selama PSBB bisa kembali bekerja di fase normal baru. Ini yang akan menjadi tantangan ke depan.
JAKARTA, KOMPAS – Fase normal baru yang diharapkan bisa kembali menggerakkan roda ekonomi belum tentu mampu menjawab persoalan pengangguran di tengah pandemi. Pemulihan ekonomi yang memakan waktu, protokol baru di dunia usaha, dan potensi pergeseran tren baru di pasar tenaga kerja membuat nasib pekerja korban Covid-19 menjadi tak menentu.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Fadhil Hassan, di Jakarta, Jumat (6/5/62020), mengatakan, pemulihan ekonomi dalam fase normal baru tidak akan secepat membalikkan telapak tangan. Ada beberapa sektor yang dalam waktu dekat ini perlu direlakan karena membutuhkan waktu sangat lama untuk pulih.
Di sisi lain, ada sektor atau jenis usaha yang tidak akan kembali pulih selama Covid-19 masih ada. Misalnya, industri pariwisata dan penerbangan yang sulit kembali beroperasi sesuai kapasitas semula karena arus perjalanan orang tidak bisa kembali normal di tengah pandemi.
Sektor lain yang bisa langsung beroperasi pun tidak bisa langsung pulih. Protokol kesehatan baru di dunia usaha mengharuskan perusahaan untuk beroperasi dengan kapasitas setengah kekuatan. ”Dilema itu ditambah dengan kondisi arus kas sebagian besar perusahaan yang sudah seret dan roda bisnis yang tidak bisa langsung maksimal,” ujarnya.
Menurut Fadhil, beberapa sektor, seperti restoran dan pusat perbelanjaan, mungkin bisa kembali cepat beroperasi karena ada kebutuhan dan permintaan. Namun, itu pun tidak bisa kembali penuh beroperasi karena ada faktor pembatasan jarak fisik atau batasan kapasitas orang dalam satu gedung.
Dalam kondisi seperti itu, tidak ada jaminan bahwa semua pekerja yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan selama pembatasan sosial berskala besar bisa kembali bekerja di fase normal baru ini.
”Ini yang akan menjadi tantangan ke depan. Di satu sisi, pekerja harus bekerja lagi untuk bisa hidup. Di sisi lain, sektor formal tidak akan kembali sepenuhnya seperti semula,” kata Fadhil.
Dalam kondisi seperti itu, tidak ada jaminan bahwa semua pekerja yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan selama pembatasan sosial berskala besar bisa kembali bekerja di fase normal baru ini.
Menurut Fadhil, tren pasar tenaga kerja ke depan pun berpotensi berubah. Sebagian perusahaan diprediksi akan bergeser dari padat karya menjadi padat modal. Proses produksi akan lebih mengandalkan otomatisasi dan digitalisasi.
Untuk bertahan dalam belantara pasar tenaga kerja baru itu, pekerja yang terlanjur kehilangan pekerjaan selama pandemi pun harus bersiap meningkatkan kompetensinya agar relevan sesuai perkembangan zaman.
“Dalam konteks normal baru ini, tantangannya berlipat ganda. Akan mengkhawatirkan kalau tidak ada penyesuaian atau adaptasi dari tenaga kerja,” katanya.
Baca juga: ”Banting Setir” untuk Lanjutkan Usaha
Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, per 27 Mei 2020, pekerja sektor formal yang di-PHK di seluruh Indonesia 380.221 orang dan pekerja formal yang dirumahkan 1.058.284 orang. Di luar itu, ada 318.959 pekerja sektor informal yang terdampak Covid-19 sehingga kehilangan sumber nafkah.
Pekerja yang terdampak tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga para pekerja migran. Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencatat, selama Januari-Mei 2020, 161.042 orang pekerja migran pulang ke Indonesia karena kontrak kerjanya berakhir dan dipulangkan negara tempat bekerja karena pandemi.
Di luar itu, ada juga 34.179 calon pekerja migran yang gagal diberangkatkan ke negara tujuan bekerja serta 465 pemagang yang dipulangkan. Secara total, ada 1.953.105 orang pekerja yang tercatat kehilangan nafkah dan terancam menganggur selama pandemi ini.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah meminta pengusaha untuk memprioritaskan merekrut kembali pekerja dan buruh yang di-PHK dan dirumahkan. ”Ini diharapkan bisa mengurangi angka pengangguran dan sekaligus memperluas kesempatan kerja baru,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar mengatakan, tantangan ke depan memang tidak mudah. Perusahaan harus tetap memberi jaminan bahwa pekerja korban PHK dan dirumahkan akibat Covid-19 bisa kembali direkrut di fase normal baru.
Perusahaan harus tetap memberi jaminan bahwa pekerja korban PHK dan dirumahkan akibat Covid-19 bisa kembali direkrut di fase normal baru.
Namun, hal ini tetap harus disikapi secara realistis karena beberapa perusahaan tidak mampu untuk kembali pada kapasitas semula. Oleh karena itu, realisasi stimulus untuk dunia usaha dan pengawasan penerapannya penting agar perusahaan punya modal kerja lagi untuk beroperasi.
"Stimulus harus cepat direalisasikan sehingga produksi berjalan dan pekerja yang ter-PHK bisa dipanggil lagi. Kalau pekerja bisa bekerja, daya beli akan meningkat, demikian juga konsumsi agregat yang bisa mendukung pertumbuhan ekonomi," katanya.
Baca juga: Pengangguran Hadapi Ketidakpastian
Pengurangan gaji
Ketua Kamar Dagang dan Industri DKI Jakarta Diana Dewi mengemukakan, secara garis besar, kondisi keuangan banyak perusahaan saat ini terpuruk. Fase normal baru membuat pengusaha gamang, karena tidak ada kepastian ekonomi cepat pulih. Sebagian pengusaha, ujarnya, mengkhawatirkan biaya operasional akan lebih besar daripada omzet yang didapat selama normal baru.
Sebagian perusahaan tetap akan mempekerjakan kembali pekerjanya yang sempat di-PHK dan dirumahkan tanpa upah. Namun, kemungkinan besar penghasilan pekerja akan dikurangi sesuai kemampuan finansial perusahaan yang sempat terpuruk selama dua bulan terakhir.
“Ini kembali pada kebijakan tiap perusahaan. Sepertinya akan tetap menarik tenaga kerja yang ada, tapi yang saya tahu, akan ada kebijakan dari sejumlah perusahaan untuk mengoreksi pendapatan karyawan,” kata Diana.
Diana menambahkan, beberapa perusahaan saat ini tengah bersiap memasuki normal baru dan hendak kembali memulai produksi, tetapi tidak ada jaminan bahwa omzet akan kembali seperti semula. “Sejujurnya, banyak pelaku usaha yang meragukan apakah ke depan dengan normal baru ini, omzet dan produksi bisa kembali lagi seperti awal,” katanya.
Sejujurnya, banyak pelaku usaha yang meragukan apakah ke depan dengan normal baru ini, omzet dan produksi bisa kembali lagi seperti awal.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Johnny Darmawan berpendapat, pekerja yang sempat dipecat dan dirumahkan, seharusnya bisa kembali dipekerjakan oleh perusahaan. Namun, kebijakan itu kembali pada setiap perusahaan dan harus disesuaikan dengan kapasitas operasi. Ada perusahaan yang pada fase normal baru ini hanya akan beroperasi 30 persen atau 50 persen.
“Meskipun usaha tidak bisa kembali pada kapasitas penuh seperti sebelum Covid-19, dengan normal baru, perusahaan seharusnya ada pemasukan lagi, sehingga itu setidaknya bisa mencegah perusahaan mem-PHK orang lagi,” ujarnya.
Baca juga: Tiga Risiko Normal Baru
Bergantung daya beli
Dalam seminar daring yang diselenggarakan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) bertajuk ”Menjaga Kinerja Sektor Industri Selama Pandemi Covid-19” yang digelar Center for Indonesian Policy Studies, Jumat, perindustrian disebut sebagai salah satu motor aktivitas perekonomian yang diharapkan pulih pada fase normal baru. Padahal, pulihnya industri bergantung pada pertumbuhan permintaan yang berkaitan erat dengan daya beli masyarakat.
Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan, dan Akses Industri Internasional Kementerian Perindustrian Dody Widodo mengatakan, industri makanan dan minuman dapat pulih lebih cepat dibandingkan sektor lainnya. Pemulihan industri di semua sektor ini juga bergantung pada seberapa cepat pemerintah memulihkan daya beli masyarakat.
Sementara itu, Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani menyatakan, tenaga kerja di sektor formal saat ini sekitar 50 juta orang. Pukulan pandemi di perindustrian dapat memunculkan gelombang PHK hingga 30 persen dari jumlah itu.
”Pelemahan daya beli masyarakat yang berimbas pada turunnya penjualan produk industri juga berpotensi memicu PHK. Industri tekstil, misalnya, 70 persen tenaga kerjanya telah dirumahkan lantaran utilisasinya hanya sekitar 14 persen,” ujarnya.