Dinamika daya beli masyarakat di tengah pandemi Covid-19 turut dibayangi ancaman gelombang PHK. Sayangnya, ancaman PHK itu dapat terjadi di industri-industri yang tak lagi berdaya akibat penurunan permintaan.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
Perindustrian sebagai salah satu motor aktivitas perekonomian diharapkan berangsung-angsur pulih pada fase normal baru. Padahal, pulihnya industri juga bergantung dari pertumbuhan permintaan yang berkaitan erat dengan daya beli masyarakat.
Salah satu parameter keseimbangan permintaan dan penawaran ialah pergerakan indeks harga konsumen atau inflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi pada April dan Mei 2020 secara bulanan masing-masing sebesar 0,08 persen dan 0,07 persen.
Inflasi itu lebih rendah dibandingkan periode Ramadhan-Lebaran sebelumnya. Inflasi pada periode Ramadhan-Lebaran pada Mei dan Juni masing-masing 0,68 persen dan 0,55 persen.
Sementara itu, Bank Indonesia pada Mei lalu merilis, indeks keyakinan konsumen pada April 2020 merosot menjadi 84,8 dari 113,8 pada Maret 2020. Jika berada di bawah 100, indeks tersebut berada di zona pesimistis.
Indeks keyakinan masyarakat itu dipengaruhi oleh turunnya indeks kondisi ekonomi saat ini dan indeks ekspektasi konsumen pada April 2020 secara bulanan. Indeks kondisi ekonomi saat ini anjlok dari 103,3 ke 62,8 sedangkan indeks ekspektasi konsumen turun dari 124,3 ke 106,8.
Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional Kementerian Perindustrian Dody Widodo menilai, industri makanan dan minuman dapat pulih lebih cepat dibandingkan sektor lainnya.
"Pemulihan perindustrian di semua sektor bergantung dari seberapa cepat pemerintah memulihkan daya beli masyarakat," katanya dalam seminar daring bertajuk "Menjaga Kinerja Sektor Industri Selama Pandemi Covid-19" yang diselenggarakan Center for Indonesian Policy Studies, Jumat (5/6/2020).
Dinamika daya beli masyarakat di tengah pandemi Covid-19 turut dibayangi ancaman gelombang PHK. Sayangnya, ancaman PHK itu dapat terjadi di industri-industri yang tak lagi berdaya akibat penurunan permintaan.
Menurut Ekonom Indonesia Project Australian National University Arianto Patunru, pandemi Covid-19 telah memukul sisi suplai dan permintaan perindustrian. Dari sisi permintaan, pukulan itu berasal dari daya beli masyarakat yang menurun.
Dinamika daya beli masyarakat di tengah pandemi Covid-19 turut dibayangi ancaman gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Sayangnya, ancaman PHK itu dapat terjadi di industri-industri yang tak lagi berdaya akibat penurunan permintaan.
"Data The Economist menunjukkan, semakin besar penurunan penjualan industri, semakin tinggi juga tingkat PHK. Sebagai contoh, industri pakaian yang mengalami penurunan penjualan lebih dari 80 persen memengaruhi terjadinya PHK berkisar 60 persen," kata dia.
Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, per 27 Mei 2020, pekerja sektor formal yang di-PHK di seluruh Indonesia sebanyak 380.221 orang, dan pekerja formal yang dirumahkan sebanyak 1.058.284 orang. Di luar itu, ada juga 318.959 orang pekerja di sektor informal yang terdampak Covid-19 sehingga kehilangan sumber nafkah
Stimulus Rp 625,107 triliun
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menyebutkan, tenaga kerja di sektor formal saat ini berjumlah sekitar 50 juta orang. Pukulan pandemi di perindustrian dapat memunculkan gelombang PHK hingga 30 persen dari jumlah tersebut.
Pelemahan daya beli masyarakat yang berimbas pada penjualan produk industri menjadi pemicu ancaman PHK tersebut. Industri tekstil, misalnya, para pelaku usahanya telah merumahkan 70 persen tenaga kerja lantaran utilisasinya berkisar 14 persen.
Hariyadi berharap, pemerintah menyuntikkan tambahan modal kerja selama setahun sebagai stimulus bagi perindustrian agar dapat berdaya tahan. Total kebutuhan modal kerja yang diajukan berkisar Rp 625,107 triliun.
Pemerintah diharapkan menyuntikkan tambahan modal kerja selama setahun sebagai stimulus bagi perindustrian agar dapat berdaya tahan. Total kebutuhan modal kerja yang diajukan berkisar Rp 625,107 triliun.
Di sisi lain, Kepala Urusan Eksternal PT Unilever Indonesia Tbk, Ribut Tri Purwanti, mengaku, Unilever tetap menggaji tenaga kerjanya secara normal. Strateginya adalah dengan menangkap tren kebutuhan masyarakat.
"Kami meningkatkan kapasitas produksi hand sanitizer (cairan pembersih tangan) menjadi 100 kali lipat," ujarnya.