Perbaiki Kualitas Data Penerima Bansos
Persoalan teknis dan koordinasi antar pihak menjadi kendala dalam penyempurnaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Kenyataan ini menambah kompleks masalah pengelolaan bantuan sosial untuk warga.
JAKARTA, KOMPAS—Pendistribusian bansos bagi warga terdampak Covid-19 tak hanya dihadapkan pada lambatnya pemuktahiran Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Pengelolaan bantuan ini terkendala masalah teknis dan koordinasi untuk menyempurnakan DTKS. Permasalahan klasik bansos yang mandeg di pihak ketiga juga membayangi kelancaran penyaluran bantuan ini.
Berdasarkan data Kementerian Sosial, pemuktahiran DTKS berjalan lambat karena belum semua pemerintah daerah melaksanakannya. Hingga saat ini ada 46 pemerintah kabupaten/kota dari 514 pemerintah daerah di Indonesia yang belum memutakhirkan data tersebut.
Adapun jumlah keluarga yang terdaftar di DTKS sebanyak 29.085.939 keluarga. Selain itu, individu yang terdaftar di DTKS sebanyak 97.388.064 jiwa, yang menjadi dasar untuk pemberian beasiswa sekolah, Peserta Bayar Iuran BPJS-Kesehatan.
Tak heran jika di masyarakat ditemukan warga dengan kondisi sosial-ekonomi cukup baik masih memperoleh bantuan dari Program Keluarga Harapan, salah satu program bansos reguler dari Kementerian Sosial. Selama pandemi Covid-19, PKH juga diandalkan untuk melindungi warga miskin. Atih (43), warga Desa Candali, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat ini selama hampir 10 tahun memperoleh bansos secara rutin dari PKH. Padahal rumahnya berdiri kokoh, dan Atih pun memiliki toko kelontong yang cukup lengkap.
Baca juga: DTKS, Bank Data untuk Jaring Pengaman Sosial
Diakui Atih, sepuluh tahun lalu kondisi rumahnya reyot dengan atap nyaris roboh. Sejak itu ia didata sebagai keluarga miskin dan rutin memperoleh bansos setiap bulan dari Kementerian Sosial, meskipun pemberian bansos itu dirapel setiap tiga atau empat bulan. Bansos itu pun masih terus ia terima hingga saat ini. “Bansos yang saya terima itu ada uang. Sekarang ada beras, telur, dan buah-buahan,” jelasnya.
Kesulitan
Kepala Seksi Kesejahteraan Rakyat Desa Candali, Firdaus mengaku, tidak mengetahui persis apa penyebab Atih masih terdaftar dalam PKH, karena DTKS dikelola oleh Kemensos. Menurut Firdaus, Kabupaten Bogor baru akan memutakhirkan data DTKS pada 2020 ini, tetapi belum terlaksana karena terjadi wabah Covid-19.
Untuk memutakhirkan DTKS, menurut Firdaus, harus dilakukan verifikasi dan validasi data di lapangan yang dilakukan oleh petugas di desa seperti dirinya. Secara teknis, lanjutnya, setidaknya ada 43 kolom yang harus diisi untuk memutakhirkan data DTKS di aplikasi Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial-New Generation (SIKS-NG). Namun untuk mengisinya, diakui Firdaus, cukup rumit. “Wah, lumayan sulit. Saya saja kayaknya masih butuh pendampingan dari kecamatan. Soalnya kalau bimtek, materi yang diberikan cuma yang penting-penting saja,” tuturnya.
Sementara sejumlah Dinas Sosial pemerintah kabupaten/kota pun mengaku baru memperoleh DTKS pada 2017 dari Kementerian Sosial. Akibatnya, pemerintah setempat baru memutakhirkan data setelah 2018. Kabupaten Bogor, contohnya, baru akan memutakhirkan DTKS pada 2020 ini. Sementara Pemerintah Kota Depok telah melaksanakan pemuktahiran data pada 2019.
Baca juga : ”Sampai Sekarang Saya Belum Terima Bantuan Sosial Apa Pun”
Dinas Sosial Kota Depok baru dapat lakukan pemutakhiran pada 2019 karena pada 2018 baru dilakukan validasi data nomor induk kependudukan (NIK) dan kelengkapan data kartu keluarga (KK) terhadap data DTKS yang diperoleh dari Kemensos. “Pada 2019 mulai home visit pakai format SIKS-NG (berupa formulir isian) 43 kolom. Dimulai pada Juli 2019, kemudian update lagi pada Oktober 2019, dan terakhir Januari 2020. Untuk 2020 ini, anggaran pemuktahirannya Rp 200 juta,” kata Kepala Bidang Jaminan Sosial Dinas Sosial Depok, Tri Rezeki.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengharapkan agar data DTKS tak hanya dilengkapi NIK, melainkan harus dilengkapi dengan penghasilan. Dengan demikian, jika terjadi kedaruratan seperti wabah Covid-19 saat ini, pemerintah daerah tidak perlu survei lagi.
Sementara, penerima bansos baru yang diusulkan saat ini jumlahnya jutaan sehingga membutuhkan waktu untuk mengolah datanya. “Data baru yang jumlahnya juta-juta ini menjadi sumber kenapa bantuan lama (didistribusikan) karena mendefiniskan siapa yang dibantu juga diserahkan RT/RW. Belum lagi data yang tidak lengkap. Ada 1,7 juta data, seperti NIK tidak lengkap. Ini yang menyebabkan verifikasi data itu lama,” jelasnya.
Untuk memenuhi NIK pada setiap data keluarga di DTKS juga bukan perkara mudah. Seperti diungkapkan Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, DTKS sebenarnya merupakan program utilisasi NIK yang pertama. Bahkan menurutnya, beruntung ada wabah Covid-19 sehingga data keluarga di DTKS dapat dilengkapi NIK, karena sebelumnya data tersebut tak dilengkapi NIK.
Baca juga : Ruwet Bansos Karena Data
Pahala mengungkapkan, pada mulanya tidak mudah memperoleh data NIK dari Direktorat Kependudukan Catatan Sipil, Kementerian Dalam Negeri. Setelah didesak, lanjutnya, data NIK itu baru dibuka Ditjen Dukcapil. “Aslinya DTKS enggak ada NIK. Mana NIK-nya. Kemudian kami minta dipadankan (data DTKS) dengan Dukcapil. Itu susahnya setengah mati,” jelasnya.
Pahala menyampaikan, data DTKS perlu dilengkapi NIK untuk menghindari adanya pencatatan satu identitas di dua program bansos berbeda. Ia memberikan contoh, pada data Penerima Bayar Iuran (PBI) untuk BPJS Kesehatan ditemukan 1 juta nama yang ganda. “Pernah ada 5 juta orang dihapus dari kepesertaan PBI (karena masalah data),” jelasnya.
Sekretaris Jenderal Kemensos, Hartono Laras pun mengonfirmasi ada sejumlah data di DTKS yang belum dilengkapi NIK. Masih ada kepala keluarga yang terdata di DTKS itu menggunakan KTP lama dengan NIK lama.
“Makanya kita sedang cleansing (data DTKS) bersama Kemendagri. Kita sedang melakukan pemadanan. Mudah-mudahan dalam waktu tidak lama, tinggal beberapa persen lagi untuk kita bisa padankan dengan data Ditjen Dukcapil,” jelasnya.
Baca juga : Siasat Sembako, Penepis Resah Warga
Kementerian Sosial juga berupaya menyederhanakan kolom-kolom yang harus diisi perangkat desa maupun kelurahan selaku operator saat memutakhirkan data DTKS. “Dalam kondisi normal, memang dapat dilakukan pengisian kolom itu. Makanya, sekarang kami sedang mencari lagi suatu penyederhanaan, supaya lebih ringkas lagi. Intinya kita akan menyederhanakan, simplifikasi, memudahkan akses,” terangnya.
Dengan DTKS yang valid, maka setiap program bantuan sosial memiliki basis data yang lengkap dan mutakhir. Sebab, DTKS tak hanya menjangkau warga sangat miskin lewat PKH, bantuan pangan non tunai/sembako, dan subsidi listrik. Namun data ini juga digunakan untuk menjangkau dan mengelola peserta PBI untuk BPJS Kesehatan.
“DTKS ini bisa menjangkau warga yang sangat miskin hingga rentan miskin. Jangan sampai kita hanya menangani orang miskin saja. Karena yang rentan miskin pun harus ditangani. Supaya nanti kalau ada kontraksi masalah, dia tidak mudah jatuh miskin lagi,” terang Hartono.
Di kesempatan terpisah, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy menyampaikan, pandemi Covid-19 menjadi momentum bagi pemerintah untuk melakukan konsolidasi data. Oleh karena itu himpunan RT/RW akan diperhatikan betul untuk menyempurnakan data yang ada di DTKS. “Mudah-mudahan ini bisa menjadi kemsempatan kita untuk perbaiki data kemiskinan di Indonesia,” jelasnya.
Baca juga : Meredam Konflik dengan Transparansi
Rawan Mengendap
Selain permasalahan data, ada pula kerawanan dana bansos mengendap di lembaga yang dilibatkan sebagai penyalur bantuan. Berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan, ditemukan dana bansos per 31 Desember 2014 sebesar Rp 2,8 triliun yang dianggarkan oleh 4 kementerian mengendap di 6 lembaga penyalur, yakni 5 bank dan PT Pos Indonesia. Jumlah dana bansos yang mengendap di PT Pos Indonesia, contohnya, sebesar Rp 95,5 miliar.
Untuk penyaluran bansos bagi warga terdampak Covid-19 saat ini pun, PT Pos Indonesia kembali dilibatkan. Saat dihubungi, Direktur Jaringan dan Layanan Keuangan PT Pos Indonesia, Ihwan Sutardiyanta menyampaikan, dana bansos bagi warga terdampak wabah Covid-19 yang tak tersalurkan diperkirakan tidak terlampau banyak. .
Menurut Ihwan, dana bansos yang tak tersalurkan itu disebabkan karena data penerima bantuan yang diberikan oleh kementerian selaku penyedia bantuan, itu tidak lengkap. Ada pula karena penerima bantuan itu telah berpindah tempat tinggal atau sedang tidak berada di rumah, sehingga tidak bisa ditemui. “Jika tak menemukan orang yang bersangkutan, maka bisa diberikan kepada anggota keluarga penerima bantuan,” jelasnya.
Sementara Guru Besar Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia Bambang Shergi Laksmono memandang pemberian bansos masih berkutat dengan cerita lama seperti data yang tidak termutakhirkan sehingga salah sasaran. Ia menilai pangkal persoalannya adalah ketidakhandalan basis data yang digunakan untuk menjadi acuan peserta penerima bantuan sosial.
Baca juga : Menko PMK: Bansos Ganda, BLT Dana Desa Bisa Dihapus
Penggunaan basis data masih sangat sentralistik dari pemerintah pusat. Hal ini memiliki banyak kelemahan, karena untuk verifikasi data butuh waktu, tenaga, dan biaya. Data pun tidak termutahirkan dengan cepat.
Bambang berpendapat, sebaiknya proses penyaluran bansos bisa terdesentralisasi. Pendataan dan penyaluran bantuan sosial dimulai dan dilakukan dari tingkat paling dekat dengan masyarakat yakni RT/RW hingga kelurahan/desa. Menurutnya, perspektif pembagian bansos sudah saatnya lebih memercayakan keandalan pemerintah daerah. “Karena pemda yang paling tahu kondisi warganya. Jadi pemutakhiran data bisa dilakukan cepat, tepat, dan akurat,” ujar Bambang.
Selain itu, materi bantuan harus disesuaikan dengan sumber daya pangan lokal. Sehingga bantuan sosial tidak melulu beras, telur, dan minyak goreng, tapi menyesuaikan dengan materi konsumsi pangan di daerah masing-masing. “Misalkan bansos di Indonesia Timur isinya bisa sagu, ubi, jagung, kelapa. Menyesuaikan konsumsi dan sumber daya warga sekitar,” ujar Bambang.
Tidak hanya itu, Bambang juga mempertanyakan seberapa besar efektivitas bansos pemerintah ke depan. Sebab, kita tidak tahu seberapa lama pandemi korona akan terus menjangkit di Indonesia. Seberapa lama juga pemerintah punya anggaran yang cukup untuk terus menerus memberikan bantuan sosial. “Sepertinya kita akan cukup lama mengalami tekanan ekonomi ini. Jadi sumber daya bantuan dari pemerintah dan sumber daya komunitas ini harus dikeluarkan. Namun, juga harus ada insentif dari negara,” ujar Bambang.