Tak Ada yang Baru dari “Normal Baru”
Setelah tiga bulan berada dalam belenggu Covid-19, pemerintah akhirnya memutuskan untuk menerapkan normal baru sebagai jalan tengah untuk berdamai dengan masa wabah.
Setelah tiga bulan berada dalam belenggu Covid-19, pemerintah akhirnya memutuskan untuk menerapkan normal baru sebagai jalan tengah untuk berdamai dengan masa wabah. Meskipun demikian, langkah tersebut cukup berisiko jika tak direalisasikan dengan disiplin tingkat tinggi.
Instruksi untuk menerapkan normal baru secara langsung disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam rapat dengan sejumlah kementerian tanggal 20 Mei 2020 lalu. Pemerintah beralasan, penerapan tatanan baru tersebut perlu dilakukan agar masyarakat tetap produktif, merasa aman, dan nyaman beraktifitas di tengah masa wabah.
Konsep normal baru atau new normal secara resmi memang telah dicanangkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk dapat diterapkan oleh negara yang telah berhasil mengatasi laju penularan virus. Hal ini juga sebagai langkah strategis untuk menghadapi ketidakpastian masa wabah dan ditemukannya vaksin Covid-19.
Wabah Covid-19 yang telah berlangsung berbulan-bulan memang secara telak telah memukul banyak sektor kehidupan sosial dan ekonomi. Kondisi ini membuat pemerintah dihadapkan pada pilihan serba terjepit dalam pertimbangan kesehatan atau berputarnya roda perekonomian. Idealnya hal tersebut memang harus berjalan selaras, sehingga misi utama normal baru untuk mengembalikan produktifitas warga dan terhindar dari penularan virus dapat terwujud.
Sejak awal digaungkan, rencana penerapan normal baru memang dibanjiri berbagai kritik dari para peneliti epidimiologi hingga elit politik. Penerapan kebijakan untuk kembali beraktifitas di tengah pandemi Covid-19 dianggap terlalu terburu-buru dan mempertimbangkan kondisi penyebaran kasus positif yang masih terus meningkat setiap harinya.
Data harian dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 memang belum menunjukkan penurunan kasus yang signifikan. Hingga 4 Juni 2020, penambahan kasus positif nasional mencapai 585 orang.
Normal baru hanya akan dilakukan di daerah yang masuk dalam kategori zona hijau
Mulainya penerapan tatanan baru dalam beraktifitas tersebut dibarengi pula dengan temuan kasus penularan Covid-19 di 64 pasar tradisional di seluruh Indonesia. Jawa Timur menjadi wilayah dengan jumlah temuan kasus positif tertinggi di 23 pasar tradisional.
Terlepas dari kondisi secara agregat tersebut, sejak awal direncanakan pemerintah memang tak akan menerapkan normal baru secara serentak di seluruh wilayah. Realisasinya hanya akan dilakukan di daerah yang masuk dalam kategori zona hijau.
Daerah dengan status zona hijau memiliki tren penyebaran Covid-19 yang terus menurun secara signifikan. Minggu akhir Mei lalu, pemerintah menyatakan terdapat 25 kabupaten/kota dan empat provinsi yang direncanakan akan melakukan persiapan pemberlakuan normal baru.
Keempat provinsi tersebut yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Gorontalo. Sebagai tahap awal persiapan, pemerintah melakukan gelar pasukan TNI/POLRI yang akan diturunkan untuk memantau dan membantu masyarakat dalam realisasi normal baru di wilayah-wilayah tersebut.
Dalam hal ini, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 telah menetapkan kriteria bagi daerah yang dinilai layak untuk menerapkan normal baru. Syarat utama yang paling penting harus terpenuhi adalah tren penurunan kasus positif secara signifikan, minimal 50 persen dari kondisi penambahan tertinggi dalam jangka waktu dua minggu. Begitu pula dengan jumlah kematian akibat Covid-19 yang juga harus menurun.
Syarat utama normal baru, tren penurunan kasus positif signifikan, minimal 50 persen dari kondisi penambahan tertinggi dalam jangka waktu dua minggu.
Selain itu, penangananan pada Pasien Dalam Pengawasan (PDP) dan Orang Dalam Pemantauan (ODP) harus tuntas dan jumlahnya pun menurun. Jumlah tes Covid-19 yang dilakukan pun harus menunjukkan tren yang meningkat.
Penerapan
Ketatnya persyaratan tersebut sebetulnya membuat tak mudah bagi daerah untuk memberlakukan tatanan baru apalagi dalam waktu dekat. Meskipun persyaratan telah dibuat, namun Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 juga menyampaikan bahwa kondisi di setiap wilayah berbeda-beda, sehingga pendekatan dalam rangka penerapan normal baru pun dapat berbeda pula.
Di wilayah DKI Jakarta, misalnya, sebagai pusat perekonomian terbesar penerapan normal baru ditargetkan secepatnya dapat diberlakukan. Namun, kondisi penyebaran Covid-19 masih cukup berisiko jika pelonggaran PSBB dan penerapan tatanan baru secara masif.
Alhasil, pada 4 Juni 2020 lalu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta resmi memperpanjang masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga akhir bulan. Hal ini menyusul sejumlah kelurahan di Jakarta yang masih berstatus zona merah. Tidak kurang 66 RW di Jakarta masih menjadi perhatian karena angka penyebaran Covid-19 yang masih tinggi.
Berdasarkan kondisi itu, Pemprov DKI Jakarta memberlakukan pembatasan sosial dalam skala yang lebih kecil, hingga tingkat RW atau Pembatasan Sosial Berskala Lokal (PSBL). Rencana tersebut memang terkesan begitu dipaksakan dengan konsep penerapan yang dinilai sangat tak efektif karena karantina hanya dilakukan pada lingkup wilayah yang begitu kecil.
Perpanjangan masa PSBB di ibu kota juga ditegaskan sebagai masa transisi, sehingga dengan berbagai pertimbangan ibu kota akan melonggarkan aktifitas dan membuka berbagai kegiatan publik secara berta
Pada 5 Juni 2020, misalnya, beberapa tempat ibadah yang berada di zona hijau diizinkan untuk dibuka kembali. Setelah itu, di minggu awal masa transisi ini pula berbagai kegiatan seperti perkantoran, perdagangan, perindustrian akan dibuka. Tahap selanjutnya, pusat perbelanjaan hingga taman, museum dan sarana publik lainnya pun direncanakan akan dibuka kembali.
Terpenting dari kembali bergulirnya aktifitas dengan normal baru tersebut harus dilakukan dengan protokol kesehatan dan pencegahan Covid-19 yang begitu ketat. Penggunaan masker, mencuci tangan, menjaga jarak, dan protokol lainnya menjadi hal wajib yang tidak boleh dilanggar dalam penerapan normal baru.
Disiplin
Tiga bulan berhadapan dengan Covid-19 membuat setiap orang seharusnya telah terbiasa dan disiplin dengan protokol kesehatan pencegahan penularan virus. Namun, waktu yang cukup lama tersebut tidak bisa dijadikan tolak ukur dalam membangun kedisiplinan warga, bahkan tak sedikit terjadinya penularan baru karena masyarakat yang masih mengabaikan imbauan pencegahan.
Sebetulnya tidak ada hal yang baru dalam pelaksanaan normal baru yang mengacu pada protokol kesehatan dan pencegahan Covid-19. Jauh sebelum penerapan tatanan baru, sejumlah tempat ibadah telah membuka aktifitas jamaahnya, banyak orang telah berpergian dengan transportasi umum, sejumlah karyawan perkantoran pun telah bekerja, hingga denyut jual beli di pasar-pasar tradisional yang tak pernah sepi.
Menggunakan masker, menjaga jarak aman, cuci tangan, dan lainnya barangkali menjadi kebiasaan baru yang sebetulnya sudah melalui tahap adaptasi yang cukup lama. Jika sudah begitu, semua orang semestinya dapat sadar dan menjalankan disiplin untuk saling melindungi dan menciptakan rasa aman terhadap penyebaran virus.
Normal baru merupakan cara untuk dapat hidup berdamai dengan Covid-19. Langkah ini tentulah lebih berisiko karena orang-orang akan berhadapan dengan pandemi tak lagi hanya dengan diam di rumah. Namun, bukan berarti risiko gelombang penularan karena kembalinya denyut aktifitas seperti sediakala tak bisa diatasi.
Tak ada hal yang baru terhadap apa yang harus dilakukan pada “New Normal”, setiap orang telah belajar dan beradaptasi menggunakan protokol kesehatan untuk berdampingan dengan Covid-19 dalam waktu yang tidak singkat.
Keberhasilan membangun tatanan baru atau justru hal tersebut meruntuhkan apa yang telah diupayakan selama masa karantina, tergantung pada tanggung jawab bersama dalam berdisiplin pada protokol kesehatan. Semoga kita semua benar-benar dapat berhasil berdamai dengan Covid-19. (LITBANG KOMPAS)