Tapera Menyasar 13 Juta Pekerja
Program Tapera bertujuan untuk mengurangi angka kekurangan rumah. Di sisi lain, pemerintah dinilai lepas tangan, karena dana pembiayaan dibebankan kepada pekerja.
JAKARTA, KOMPAS - Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat menargetkan sebanyak 13 juta pekerja bisa menjadi peserta Tabungan Perumahan Rakyat. Program ini ini diharapkan mengurangi angka kekurangan atau backlog rumah di Indonesia.
Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) Adi Setianto, mengatakan, program Tapera menjadi solusi penyediaan pembiayaan perumahan jangka panjang dengan sumber dana murah.
Pada tahap awal, BPT Tapera akan fokus melayani aparatur sipil negara (ASN) eks peserta program Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Taperum-PNS) melalui model pengelolaan dan perbaikan tata kelola. Target awal ASN yang bergabung sebagai pesertanya sebanyak 4,2 juta orang.
“Dengan bisnis model dana tata kelola yang baru, peserta eks Taperum-PNS kami prioritaskan mendapat rumah pertama, bisa merenovasi ataupun membangun sendiri di tanah sendiri,” kata Adi dalam telekonferensi pers di Jakarta, Jumat (5/6/2020).
Kemudian, lanjut Adi, dalam 7 tahun ke depan, kepesertaan akan diperluas dari ASN ke karyawan badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa, TNI, Polri, dan karyawan swasta. Pada 2024, peserta Tapera ditargetkan mencapai 13 juta pekerja.
Program Tapera akan dimulai pada Januari 2021 dengan wajibkan ASN eks peserta Taperum-PNS dan ASN baru untuk mulai mengiur.
Menurut Adi, tidak seluruh dana Tapera dipakai untuk pembiayaan perumahan. Ada sebagian dana yang dikelola untuk dikembalikan ke peserta, dan dana cadangan pensiun. BP Tapera juga akan menggandeng manajemen investasi untuk mengelola dana dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan imbal hasil investasi dengan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan.
Saat ini, terdapat lima manajemen investasi yang telah ditunjuk yang berasal dari swasta dan afiliasi dengan BUMN. Manajer investasi akan bekerja sesuai mandat dan arahan investasi. Instrumen investasi bisa berupa deposito, surat berharga negara (SBN), obligasi, dan saham perusahaan pengembang berkategori blue chip atau berpendapatan stabil dan beraset besar.
"Kami juga telah memilih PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk sebagai bank kustodian," kata dia.
Baca juga: Tapera, antara Mengisi “Backlog” dan Membiayai Negara
Adi menambahkan, BP Tapera akan mengelola dana itu secara transparan. Sebagai investor, peserta Tapera bisa memonitor dana setiap saat. BP Tapera juga menjnanjikan, bunga yang didapat peserta akan lebih bagus daripada bunga bank. Selain itu, bagi peserta berkategori masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), bisa mendapat pembiayaan dengan suku bunga kredit rendah.
BP Tapera akan mengelola dana itu secara transparan. Sebagai investor, peserta Tapera bisa memonitor dana setiap saat.
Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur, Pekerjaan Umum, dan Perumahan Rakyat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Heri Eko Purwanto, mengemukakan, Tapera berfungsi menjembatani pembiayaan dengan prinsip gotong royong, yakni karyawan yang mampu membantu karyawan yang kurang mampu.
Saat ini, jumlah rumah tangga yang belum memiliki rumah di Indonesia sebanyak 11 juta rumah tangga. Adapun laju kebutuhan rumah baru setiap tahun mencapai 800.000 unit yang bersumber dari keluarga baru.
"Berdasarkan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan Rencana Strategis 2020-2024, jumlah rumah tangga yang menghuni rumah layak ditargetkan meningkat dari 56,75 persen menjadi 70 persen," kata dia.
Heri mengakui, alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara terbatas untuk pembiayaan perumahan. Realisasi bantuan pembiayaan perumahan pada 2015-2019 baru sebanyak 950.000 unit.
Lepas tangan
Kalangan pekerja menilai program Tapera tidak tepat untuk menjawab kebutuhan perumahan rakyat. Pemerintah seharusnya tidak membebankan kewajiban pemenuhan perumahan rakyat itu ke pundak kelas pekerja.
Ketua Umum Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Ilhamsyah, Jumat, berpendapat, program Tapera yang mengatasnamakan kegotongroyongan itu merupakan bentuk lepas tangan pemerintah atas pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Dalam Tapera, peran negara seolah menjadi ‘tukang pungut’ dana dari rakyat dan menjadikan dana publik itu untuk tujuan berorientasi profit.
“Kewajiban negara akan pemenuhan perumahan rakyat justru dibebankan ke pundak kelas pekerja. Tapera bukan solusi yang meningkatkan kualitas hidup masyarakat, apalagi di saat seperti sekarang,” katanya.
Kewajiban negara akan pemenuhan perumahan rakyat justru dibebankan ke pundak kelas pekerja. Tapera bukan solusi yang meningkatkan kualitas hidup masyarakat, apalagi di saat seperti sekarang.
Baca juga: Pertimbangkan Kondisi Keuangan Pekerja
Menurut Ilhamsyah, tidak ada yang salah dengan tujuan yang mendasari program ini. Perumahan adalah kebutuhan dasar pekerja yang harus dipenuhi.
Namun, Tapera dinilai bukan solusi yang tepat untuk memenuhi perumahan untuk rakyat. Alih-alih ‘memaksa’ masyarakat untuk menabung tanpa jaminan pemenuhan rumah, pemerintah seharusnya turun tangan mengontrol harga properti yang melejit.
Pemerintah, lanjut Ilhamsyah, seharusnya memaksimalkan pula dana di BP Jamsostek yang per 2019 mencapai Rp 431,9 triliun dengan nilai investasi mencapai Rp 29,2 triliun. Dana investasi di BP Jamsostek itu seharusnya dapat dialihkan kepada pemenuhan kebutuhan pekerja, seperti membangun perumahan gratis atau rumah sangat murah untuk pekerja.
Bentuk lainnya, membangun kawasan industri yang terintegrasi dengan kebutuhan dasar buruh. Selama ini, kawasan industri tidak dibangun untuk sekaligus memenuhi kebutuhan hunian pekerja. Jarak yang jauh antara tempat tinggal buruh dengan kawasan industri membuat ongkos transportasi tinggi bagi buruh.
“Selama ini, biaya sewa tempat tinggal dan transportasi rata-rata memakan alokasi sekitar 30-35 persen dari total upah buruh tiap bulan,” ujarnya.
Di sisi lain, kata Ilhamsyah, ada preseden buruknya tata kelola dana publik oleh badan pemerintah. Mahkamah Agung (MA) pada Mei 2020 membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang ditetapkan pemerintah. MA menyatakan, pemerintah seharusnya tidak membebankan masyarakat atas defisit BPJS Kesehatan, yang terjadi karena kesalahan dalam pengelolaan.
“Kenyataan ini menunjukkan, pemerintah belum bisa membenahi kinerja buruk dari badan-badan yang mengelola dana publik. Penarikan dan pengelolaan dana publik baru seperti Tapera ini patut diwaspadai karena hanya akan mendorong praktik buruk yang sama terulang lagi,” katanya.