Meski tak memiliki kaki, Aang Santosa (27) pemuda dari Purbalingga tetap berkarya membuat pelindung wajah untuk menghidupi keluarga dan bertahan di kala pandemi. Peluang di masa wabah Covid-19, coba dimanfaatkan.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·4 menit baca
Pandemi telah memangkas nafkah banyak orang, tetapi sekaligus melahirkan peluang-peluang baru. Tak terkecuali bagi Aang Santosa (27), penyandang disabilitas di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Keterbatasan tak menghalanginya berkarya sekaligus membantu sesama.
Aang sigap memasang kaus kaki untuk membalut kedua ujung tulang keringnya yang masih tersisa. Dengan sabar, Retnowati (22) sang istri, membantu memakaikan kaki palsu bagi suaminya itu dan perlahan membantunya berdiri. Sambil sedikit tertatih, Aang berjalan menuju teras rumah untuk menyelesaikan ratusan pelindung wajah pesanan.
“Saya difabel dan tidak mungkin saya bergantung kepada orangtua, istri, apalagi orang lain,” kata Aang saat ditemui di rumahnya di Desa Cipaku, Kecamatan Mrebet, Purbalingga, Jawa Tengah, Sabtu (6/6/2020).
Aang kehilangan kedua kakinya pada November 2017, saat mengadu nasib ke Ibu Kota sebagai tukang listrik. Tatkala harus memasang instalasi listrik di atap gerbang tol Karawang Barat, ia tersetrum listrik tegangan tinggi yang berasal dari SUTET (saluran udara tegangan ekstra tinggi).
“Baru mau berdiri, tapi langsung tersetrum dan jatuh. Tubuh saya terbakar dan ketika bangun, saya sudah di rumah sakit,” kenang Aang sambil memperlihatkan kulit-kulitnya yang melepuh di sekujur tubuhnya akibat luka bakar hingga 80 persen.
Tiga minggu dirawat di rumah sakit di Bekasi, Aang yang saat itu baru saja menikah tiga bulan, pasrah menerima musibah yang dialaminya. Kekalutan menatap hari depan membayang. Kekhawatiran memuncak saat tim dokter menyampaikan bahwa kedua kakinya harus diamputasi karena rusak terbakar.
“Sepatu saya habis terbakar. Kaki saya juga. Dokter mengatakan, jika kaki tidak diamputasi bisa membahayakan keselamatan saya. Risikonya tinggi,” tuturnya.
Retnowati, sang istri yang kaget menerima kabar bahwa suaminya kecelakaan kerja, langsung berangkat dari Purbalingga ke Bekasi. Dengan sabar dan setia, ia menemani dan membimbing suaminya untuk sembuh dan menjalani hidup sebagai seorang difabel. “Saya kaget waktu dapat kabar itu, karena suami saya baru saja berangkat, tapi malah dapat kabar kecelakaan kerja,” tuturnya.
Pasang-surut emosi melanda benak Aang ketika harus kehilangan kedua kakinya. Pria lulusan Mts atau setara SMP ini tidak tahu harus bekerja apa. Namun, karena dorongan istri, keluarga, sahabat, dan dokter, ia pun bangkit mengatasi keterbatasannya. “Saya tidak punya kaki, tapi masih punya tangan untuk berkarya,” tutur ayah dari bocah laki-laki yang kini berusia 16 bulan.
Tanggung jawab sebagai suami membuat Aang mulai berkreasi membuat aneka kerajinan tangan dari stik es untuk dijadikan barang-barang minatur seperti rumah, kapal, dan lain sebagainya. Dia juga memanfaatkan kayu untuk diukir menjadi tulisan kaligrafi. Kerajinannya dibuat berdasarkan pesanan dengan harga Rp 50.000 hingga Rp 200.000.
“Tapi membuat kerajinan tidak mesti ada yang pesan. Ini tidak bisa untuk menyambung hidup sehari-hari. Saya kemudian berjualan spageti di sekolah-sekolah,” kata Aang.
Kondisi perekonomiannya mulai sedikit stabil. Hasil berjualan makanan ringan di sekolah-sekolah membuat Aang mampu mendapatkan pemasukan sekitar Rp 150.000 dari. Namun, seperti nasib banyak orang lain, nafkah Aang terempas badai pandemi Covid-19. Sekolah-sekolah tutup dan Aang tidak bisa menjajakan dagangannya lagi.
Seperti pepatah Jawa kontemporer, ora obah ora mamah (tidak bergerak, tidak makan). Tidak ingin berpangku tangan, Aang pun bergerak.
Peluang lonjakan permintaan menjelang penerapan normal baru di berbagai aktivitas publik coba dimanfaatkan.
Bersama Ragil (24), temannya sesama difabel karena kelemahan sisi motorik dan dibantu Tofik Sudarmono (44), relawan Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia Kabupaten Purbalingga, mereka membuat pelindung wajah atau face shield untuk mencegah penularan virus korona baru. Peluang lonjakan permintaan menjelang penerapan normal baru di berbagai aktivitas publik coba dimanfaatkan.
“Sudah dua minggu ini membuat pelindung wajah. Sudah ada pemesanan 150 buah dari Pemerintah Kabupaten Purbalingga. Per buah dijual Rp 15.000 sampai Rp 20.000,” tutur Aang.
Ragil yang merupakan lulusan SD dan sehari-hari bekerja serabutan pun bersemangat membuat pelindung wajah. Pasalnya, ia yang biasa membantu di proyek-proyek bangunan, kini kesulitan mendapat pekerjaan. Bersama Aang, Ragil bertugas merekatkan busa dengan mika. Adapun Aang bertugas menggunting mika, memasang karet, serta merekatkan stiker.
Tofik menyampaikan, meskipun Aang dan Ragil memiliki keterbatasan fisik, mereka tetap bersemangat untuk berkarya. “Mereka sangat bersemangat. Dengan aktivitas ini, mereka bisa bersyukur dan kemudian memotivasi teman-temannya yang lain,” ujar Tofik.
Bupati Purbalingga Dyah Hayuning Pratiwi mengapresiasi usaha Aang dan Ragil tersebut. Ia menyampaikan, seluruh pihak harus ikut serta dan bergerak bersama untuk melawan pandemi termasuk kebijakan normal baru yang akan diterapkan untuk memulihkan sendi-sendi kehidupan, salah satunya perekonomian.
“Menjelang penerapan normal baru, seluruh instansi pemerintah harus menyediakan perlengkapan, salah satunya pelindung wajah. Saya instruksikan untuk beli ke para difabel,” ujar Pratiwi.
Seluruh pihak harus bergerak bersama melawan pandemi termasuk kebijakan normal baru yang akan diterapkan untuk memulihkan sendi-sendi kehidupan, salah satunya perekonomian.
Melalui Dinas Koperasi dan UMKM Purbalingga, para pelaku UMKM seperti warung dan kafe pun diimbau menerapkan protokol kesehatan. Salah satunya, para penjual diminta mengenakan masker dan pelindung wajah.
Hal itu mendorong Aang dan Ragil terus berkarya mengatasi keterbatasan diri sekaligus menembus badai Covid-19. Mereka melihat peluang, bekerja sama, berkreasi, bertahan, dan bangkit di kala pandemi.