Penjaga Nyala Kesenian
Meskipun dikepung Covid-19, bara kesenian terus menyala. Setidaknya itu yang terjadi di kanal Youtube Budaya Saya.
Meskipun dikepung Covid-19, bara kesenian terus menyala. Setidaknya itu yang terjadi di kanal Youtube Budaya Saya. Adalah Hilmar Farid (52), Direktur Jenderal Kebudayaan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang menjaga nyala kesenian itu.
Covid-19 memenjara semua orang untuk bertahan di rumah. Sejak pemerintah mengumumkan pembatasan sosial berskala besar, Maret lalu, kegiatan kesenian yang mempertemukan banyak manusia secara fisik otomatis padam.
Hilmar, yang semula seorang aktivis kemasyarakatan ini, tidak ingin dunia seni ikut mati. Ia lalu menghidupkan program pertunjukan kesenian, disiarkan dalam jaringan (daring) lewat Youtube bertajuk Budaya Saya tadi.
Catatan Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Sri Hartini menunjukkan, jumlah pertunjukan di Budaya Saya pada masa pandemi Covid-19 hingga Jumat (29/5/2020) mencapai 154 tayangan. Tayangan pertama dimulai 30 Maret 2020 dengan pertunjukan daring koreografi Eko Supriyanto dari Solo, Jawa Tengah. Nyala kesenian itu terus berkobar sampai sekarang.
Hilmar menginsafi, Covid-19 dapat menyumbat sumber daya para seniman karena pemasukan mereka merosot bahkan terhenti sama sekali. Sebab, kegiatan yang mempertemukan banyak orang, sebagaimana dilakukan para seniman selama ini, tidak mungkin lagi selama masih era pandemi. Lewat pertunjukan daring tadi, pemerintah ikut membantu pemasukan meski tidak sesignifikan honor pertunjukan live. Yang penting, ia ingin menunjukkan perannya sebagai pelayan. Baginya, pejabat adalah pelayan masyarakat.
Lewat media yang dia fasilitasi itu, Hilmar ingin mengatakan kepada khalayak bahwa Covid-19 memang menyulitkan, ”tetapi jangan sampai menghentikan”. Kita perlu menjaga denyut kreativitas dan semangat hidup.
Bagi para seniman, kendala tak sedikit. Banyak yang tidak biasa tampil di depan kamera atau muncul di media sosial. Bagi Hilmar, justru di situ letak sisi terang pandemi ini. Mereka harus belajar dan segera beradaptasi. Sebab, dunia ini tidak akan pernah sama lagi. Meskipun kelak korona hilang, tatanan hidup manusia tidak akan kembali sama seperti sebelumnya. Pasti banyak perubahan. Nah, perubahan itulah yang harus disikapi sekarang.
”Generasi Tiktok sudah amat nyaman di depan kamera. Syarat utama, pembiasaan.” Kata Hilmar memberi kiasan. Ia membayangkan, dalam masyarakat pasca-Covid, keintiman tidak lagi karena sentuhan fisik. Keintimannya di ruang virtual.
Pada saat yang sama, Hilmar membaca sisi terang lain dari Covid-19 ini. Pandemi merobohkan arogansi. Banyak sekali seniman penampil di Budaya Saya adalah figur-figur yang mengglobal, biasa tampil di pentas dunia. Kini, mereka harus menghadapi audiens baru lewat pertunjukan daring. Mereka lalu menginsafi untuk kembali belajar. Ini yang dia sebut humbling effect. Orang jadi menurunkan egonya sembari menekuri kekurangan diri.
Arus balik
Hilmar hadir di panggung nasional setelah melewati berbagai proses. Ada kisah berliku, di masa-masa menjelang Hilmar menduduki jabatan sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan.
Sepanjang tahun 2015, Hilmar mengikuti proses lelang jabatan Dirjen Kebudayaan di bawah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan. Proses lelangnya diulang sampai tiga kali dan Hilmar berhasil memenangi hingga akhirnya dilantik persis di akhir 2015.
Sebelumnya, pada 10 November 2014, Hilmar pernah ditunjuk Dewan Kesenian Jakarta untuk menyampaikan Pidato Kebudayaan 2014. Hilmar mengemukakan pemikiran-pemikirannya yang dibingkai ke dalam judul Arus Balik Kebudayaan: Sejarah Sebagai Kritik.
Dalam naskah pidatonya itu, ia memaparkan betapa kesatuan kita sebagai bangsa sedang diuji dengan perpecahan dari masa ke masa. Keadaan ini terus berlangsung setelah kita runtuh sebagai bangsa maritim, bangsa yang dipersatukan oleh lautan, bukan dipisahkan.
Untuk kembali menjadi bangsa maritim, untuk kembali kepada kesatuan bangsa, Hilmar menyatakan, dibutuhkan kesadaran dan kemampuan imajinasi untuk bertindak. ”Tindakan yang tepat mengandaikan adanya pengetahuan cukup mengenai kenyataan yang hendak diubah. Dan di sini letak pentingnya kemampuan untuk mendengarkan,” demikian kutipan naskah pidato Hilmar di paragraf terakhir.
Kemampuan mendengarkan yang dimaksud Hilmar, untuk mendengarkan ritme kehidupan demi menemukan kembali ritme kita sebagai kesatuan, sebagai bangsa.
Ternyata kata mendengarkan itu menjadi kunci dalam kehidupan Hilmar yang diwariskan ayahnya, Agus Setiadi. Hilmar lahir di Bonn pada 1968, yang waktu itu masuk wilayah Jerman Barat. Sebagai kaum migran dan minoritas, dia kerap jadi sasaran perundungan. Apalagi kala itu terjadi krisis ekonomi sehingga orang sensitif, mudah terpancing emosinya.
Ayahnya, yang saat itu bekerja di radio, setia membantu memahami tentang segala yang terjadi dan dialami Hilmar. Ketika Hilmar bercerita tentang perkelahian di sekolah, misalnya, ayahnya membantu mencari solusi dengan mengatakan bahwa cara menghindari konflik adalah dengan banyak berteman. Ayahnya cenderung memilih jalan damai.
Pada saat berbeda, ketika Hilmar dan ibunya berada di tempat bermain publik, datang sekelompok anak remaja yang mengejek. Hilmar yang baru berusia tujuh tahun kala itu, ketakutan. Namun, tidak dengan ibunya. Dia tidak diterima. Anak-anak itu dia kejar. ”Saya bingung sekaligus kagum,” kata Hilmar merekam sikap ibunya.
Ibunya berpesan, kalau diperlakukan tidak adil, jangan terima. Lawan! Dari ajaran ayah dan ibunya itu, Hilmar lalu menarik sikap hidup. Pertama, pahamilah dulu. Jangan reaktif. Cari tahu satu per satu duduk perkaranya. Kalau tidak sesuai dengan prinsip, baru lawan.
Hilmar berusaha asertif dalam bersikap. Termasuk dalam merespons keinginan pejabat lain. Selama tidak sesuai prosedur, dia menolak. Meski demikian, dia juga menolak sikap atasan yang terlalu formal dan feodal terhadap dia.
Hilmar bersama orangtuanya kembali ke Tanah Air pada 1976. Mereka tinggal di dekat jembatan Prumpung, Jatinegara, Jakarta timur, dan mendapati perasaan yang sama seperti di Jerman. Meski bukan lagi kaum migran, Hilmar tetap merasa diperlakukan sebagai kaum minoritas. Fase hidup di daerah Prumpung ini menguatkan cara bersikap Hilmar yang asertif dan terbuka tadi.
Pria, yang akrab disapa Fay ini, menuntaskan studi ilmu sejarah untuk jenjang S-1 di Universitas Indonesia pada 1993. Jenjang studi doktoral dituntaskan Mei 2014 di National University of Singapore dengan judul disertasi, Rewriting The Nation: Pramoedya and Politics of Decolonization.
Menjahit aspirasi
Sebelumnya, Hilmar lebih dikenal sebagai seorang aktivis. Sejak kuliah aktif di berbagai kelompok diskusi dan pameran. Juga merambah daerah konflik seperti di Kalimantan Tengah.
Ini membuatnya paham, kebudayaan bisa menjadi jembatan komunitas. Ketika pendekatan politik gagal, kebudayaan menjadi pilihan tepat. Pada 2012, dia menjadi Ketua Perkumpulan Praxis, lembaga yang mengembangkan pengetahuan untuk perubahan sosial.
Sebagian orang menduga, Hilmar akan berubah karena kesulitan beradaptasi dari dunia aktivisme ke dunia birokrasi. Nyatanya tidak. Alasannya sederhana, banyak pegawai di direktorat yang dia pimpin adalah orang-orang dari ilmu budaya dan sastra, dunia yang tak asing bagi dia. Mereka juga cocok karena Hilmar mengutamakan komunikasi yang kasual antarpersonal. ”Formal bisa, kalau ada pengambilan keputusan formal.”
Selama memimpin Dirjen Kebudayaan, Hilmar menemukan kata kunci baru sebagai bagian dari penyelenggara negara untuk memiliki kemampuan menjahit aspirasi. Dia sadar tidak semua keputusan atau kebijakan bisa memuaskan semua pihak. Di situlah tugas Hilmar membuat pemahaman yang bisa dimengerti semua pihak. Hilmar tidak pernah meremehkan permintaan-permintaan yang dianggap aneh. Justru dari situ, Hilmar menganggap keanehan terjadi karena dirinya belum mampu memahami. ”Saya tetap berusaha melihat harapan-harapan di baliknya. Harapan-harapan itulah yang harus kita kelola,” ujar Hilmar.
Ketika tugas penyelenggara negara itu menjahit aspirasi, bukan berarti Hilmar meninggalkan kelompok sosial yang sama sekali tidak memiliki akses dalam menyampaikan aspirasi. Untuk itulah, tugas lain penyelenggara negara itu menciptakan wahana atau platform yang sesuai.
Menjaga nyala kesenian sudah menemukan platform berupa pertunjukan daring. Prinsipnya, mengedepankan aspek kesetaraan dan kesempatan yang sama.
Sayangnya, pelaku seni tradisi dan penyandang disabilitas, baik di bidang seni musik, tari, maupun rupa belum banyak muncul. Hilmar ingin merengkuh perbedaan sebagai kebhinekaan untuk ditampilkan di dalam kesenian untuk membangun kesetaraan. Bukan rasa iba.
Itulah nyala-nyala yang terus dijaga Hilmar.
Hilmar Farid Setiadi
Lahir: Bonn-Jerman, 8 Maret 1968
Pendidikan:
- S-1 Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1993)
- S-3: Cultural Studies, National University of Singapore (2014)
Organisasi:
- 1994: Jaringan Kerja Budaya
- 2003: Institut Sejarah Sosial Indonesia
- 2012:
- Ketua Perkumpulan Praxis
- Relawan Penggerak Jakarta Baru
Pekerjaan:
- 2014-sekarang: Dosen Tetap Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta.
- 2015 (awal)-2016 (awal): Komisaris PT Krakatau Steel
- 31 Desember 2015-sekarang: Direktur Jenderal Kebudayaan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan