Perpaduan dari empat elemen klasik, yaitu tanah, air, api, dan udara, dalam pembuatan keramik berhasil menghadirkan keindahan yang tak lekang oleh waktu.
Oleh
Mawar Kusuma
·4 menit baca
Perpaduan dari empat elemen klasik, yaitu tanah, air, api, dan udara, dalam pembuatan keramik berhasil menghadirkan keindahan yang tak lekang oleh waktu. Kecantikan pola kuno dari abad lampau dalam keramik yang diproses dengan tangan pun terus dihidupi dan direplika ulang dalam desain yang modern menawan.
Berbekal kecintaan pada romantisisme sejarah, Martinus Mario Surjana membuat keramik berlabel Swarna Art. Bermula tanpa hitungan untung rugi, ia terus berkarya, hingga kini kecintaannya itu berkembang menjadi bisnis. Swarna Art bisa dijumpai antara lain di Alun-alun Indonesia, Mal Grand Indonesia Jakarta, dan gerai di Jalan KH Zainul Arifin, Jakarta Pusat.
Keramik Swarna Art tampak berbeda karena menghadirkan sentuhan alam Indonesia di antara keragaman produknya. Dalam deretan koleksi perlengkapan makannya bisa dijumpai pincuk keramik yang sekilas terlihat serupa dengan pincuk daun pisang berbentuk persegi. Lipatan di ujung pincuk dilengkapi dengan detail potongan lidi.
Pincuk keramik dengan warna hijau mengilat itu dilengkapi dengan siru atau sudu. Jika pincuk digunakan sebagai piring makan, siru atau sudu—yang aslinya juga berbahan baku potongan memanjang daun pisang—berfungsi serupa sendok. Rasa Indonesia pun hadir lewat besek keramik yang menonjolkan tekstur serupa anyaman bambu hingga spatula bertekstur kayu.
Pincuk dan besek sengaja dihadirkan dalam rupa keramik karena dianggap sebagai benda kuno yang sudah dipakai sejak dahulu kala, dibuat dari bahan alami, dan tepat guna. ”Orang-orang ingin menggunakan keramik karena kuat dan tahan lama, kami hanya mengingatkan kembali pada benda-benda aslinya,” kata Mario.
Ketika dihubungi lewat panggilan video pada Selasa (2/6/2020), Mario sedang sibuk bekerja di pabrik keramik miliknya di Jalan Cukang Galih, Curug, Banten. Melibatkan enam perajin keramik, mereka memproduksi aneka produk yang terbagi dalam dua kategori, yaitu peralatan makan dan keramik hias untuk dinding.
Produk peralatan makan seperti mangkok dan piring menjadi favorit konsumen yang kebanyakan adalah restoran Jepang. Beberapa peralatan makan juga sengaja diberi sentuhan rustic sehingga terlihat kuno. Motif, warna, dan bentuk produknya selalu mengacu pada keindahan alam seperti tumbuhan, binatang, hingga pola unik benda sejarah.
Pekerjaan tangan
Pola benda sejarah yang kebanyakan hanya bisa dinikmati melalui foto dan ilustrasi di buku dihadirkan kembali sebagai bentuk yang nyata dan bisa disentuh lewat produk keramik hias dinding. Keramik hias dinding dengan banyak motif berulang dan kaya warna ini banyak dipengaruhi oleh motif-motif Timur Tengah abad 11-13. ”Awal pembelajaran saya di dunia tembikar bermula dari membaca tentang keramik dinding dan pola-pola natural Turki,” tambah Mario yang berlatar belakang pendidikan ilmu komputer.
Setelah setahun bereksperimen dan mencoba berkreasi sendiri dengan keramik, Mario mendirikan Swarna Art pada 2017. Ia tertarik menjadikannya bisnis karena perusahaan sablon milik keluarganya sudah memiliki fasilitas kiln atau tungku besar pembakaran. Tungku besar ini lantas dimodifikasi agar bisa mencapai suhu tinggi 1.250 derajat celsius untuk membakar keramik.
Tanpa latar belakang keluarga ataupun pendidikan di bidang seni keramik, Mario mengaku banyak membuat kesalahan konyol dan harus belajar dari nol. ”Saya pikir tinggal dibentuk, dikeringin, dibakar, selesai. Ternyata enggak seperti itu. Dia akan menyusut, bisa meleyot, atau gosong di pembakaran. Sampai sekarang masih trial dan error,” ujarnya.
Untuk membuat tembikar yang berkualitas, seluruh tahapan produksi masih harus melibatkan pekerjaan tangan. Kerumitan dimulai dari pencampuran bahan baku tanah liat dengan air, kemudian pembentukan, dan pengeringan. Meskipun sudah menggunakan mesin cetakan semiotomatis, keahlian tangan perajin tetap diperlukan.
Setelah benar-benar kering, tanah liat kemudian dibakar pada suhu 900 derajat celsius selama 10 jam hingga mengeras, tetapi belum sepenuhnya ”matang”. Setelah itu diberi glasir, lalu dibakar lagi pada suhu 1.250 derajat celsius hingga matang selama 13 jam.
”Membuat tembikar adalah paduan antara seni dan ilmu pengetahuan. Tembikar adalah medium yang saya pilih untuk bercerita tentang keindahan dunia kita,” tambah Mario
Tanah Sukabumi
Untuk bahan baku keramik, pilihannya jatuh pada tanah liat dari Sukabumi. Sifat tanah Sukabumi ini sangat cocok dan siap pakai dalam pembuatan keramik. ”Dibentuk diputar pakai tangan enggak meleyot. Begitu selesai, enggak banyak menyerap air. Tapi, tetap harus dicampur sedikit mineral lain agar sifatnya pas seperti yang kita mau,” ujar Mario.
Tanah Sukabumi juga menjadi pilihan bahan baku bagi perajin keramik lainnya seperti Nabila Ardhani, pemilik Nabila Ardhani Studio. Tanah liat tersebut mudah dibentuk dan cocok untuk membuat produk peralatan makan karena terbuat dari batu yang tergerus dengan ciri khas hadirnya warna putih dalam pembakaran.
Belajar membuat keramik sejak 2017, lulusan Arsitektur Interior Universitas Indonesia ini lantas memilih menekuni produksi keramik sebagai profesi. Produk keramiknya bergaya modern kontemporer, berupa peralatan makan dengan ciri khas pewarnaan biru dan putih.
”Lebih suka eksplorasi ke bentuk dibandingkan warna dan pola,” kata Nabila ketika dihubungi Kamis (4/6/2020).
Selain memproduksi keramik yang antara lain dipasarkan di Sarinah, Jakarta, ia juga membuat banyak kelas pelatihan pembuatan keramik. ”Cara paling cepat berlatih adalah dengan mengajarkan ke orang lain,” tambahnya.
Ketika mengajar di kelas keramik, Nabila membawa seluruh bahan baku tanah liat untuk murid-muridnya. Nabila lantas membakar karya para muridnya di tungku sebesar kulkas dua pintu di studionya. Keramik hasil belajar itu kemudian dikirim lagi ke setiap murid.
Ibarat jodoh, keramik selalu menemukan penggemarnya.