Kasus pembunuhan warga kulit hitam, George Floyd, oleh polisi kulit putih di Amerika Serikat membangunkan kesadaran warga di seluruh dunia bahwa rasialisme masih mencengkeram peradaban manusia pada abad ini.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
Amerika Serikat pernah mempunyai presiden berkulit hitam. Banyak pula orang kulit hitam di negara adikuasa itu menjadi politisi, jutawan, hingga atlet besar. Walakin, menemukan bukti rasialisme di sana semudah menemukan kerupuk di pasar-pasar Indonesia.
Seperti Afrika Selatan, rasialisme di AS pernah didukung secara resmi oleh pemerintah lewat ratusan legislasi yang dikenal sebagai “Aturan Jim Crow”. Aturan-aturan yang dibuat pemerintah negara bagian dan pemerintah kota di AS pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 itu memerintahkan pemisahan warga kulit putih dan kulit berwarna lain.
Ketika aturan tersebut diberlakukan, perumahan, transportasi umum, tempat hiburan dan wisata, bahkan keran air minum umum pun harus dipisahkan antara bagi warga kulit putih dan warga kulit berwarna lainnya. Orang kulit putih dilarang menikah dengan orang kulit hitam. Atlet kulit hitam dilarang bertanding atau berkompetisi di arena atau daerah yang dikhususkan bagi warga kulit putih.
Di Afrika Selatan, kebijakan itu disebut apartheid dan berlaku sampai 1994. Sementara AS, melalui Undang-Undang (UU) Hak Sipil pada 1964 dan UU Perumahan Adil pada 1968, melarang diskriminasi berdasar warna kulit dan kepercayaan.
Namun, seperti diungkap penggiat hak sipil Michelle Alexander melalui bukunya, The New Jim Crow: Mass Incarceration in the Age of Colorblindness, diskriminasi rasial masih terus berlangsung di AS. Alexander terutama menyoroti diskriminasi rasial di kalangan aparat AS. Persatuan Kebebasan Warga Amerika (ACLU) menyebut, satu dari tiga anak kulit hitam berpeluang dipenjara. Sementara hanya satu dari 17 anak kulit putih berpeluang dipenjara sepanjang hidupnya.
Adapun Asosiasi Nasional untuk Peningkatan Hak Warga Kulit Berwarna (NAACP) mencatat, jumlah pria kulit hitam yang ditahan lima kali lebih banyak dibanding pria kulit putih. Meski populasi kulit hitam hanya 13 persen dari keseluruhan warga AS, sebanyak 38 persen tahanan dan narapidana di seluruh AS adalah orang kulit hitam.
Meski populasi kulit hitam hanya 13 persen dari keseluruhan warga AS, sebanyak 38 persen tahanan dan narapidana di seluruh AS adalah orang kulit hitam.
ACLU dan sejumlah pakar di AS juga menyoroti panduan pengenalan orang mencurigakan yang diterapkan aparat AS. Sampai sekarang, menurut ACLU dan sejumlah pakar di AS, aparat masih mendasarkan pengenalan berdasarkan warna kulit. Orang kulit hitam lebih berpeluang dicurigai dibandingkan orang kulit putih.
Hal itu, antara lain, terjadi kala dosen Harvard, Henry Louis Gates, ditangkap gara- gara ada yang melapor ke polisi bahwa seorang kulit hitam berusaha membobol rumah. Padahal, Gates saat itu tengah berusaha mendobrak pintu rumahnya yang macet. Polisi tetap menangkap Gates meski ia telah menunjukkan bukti sebagai pemilik rumah.
Kasus Gates kembali memantik perdebatan soal diskiriminasi rasial di kalangan aparat AS. Perdebatan berujung menjadi unjuk rasa dan kerusuhan rasial dalam kasus Eric Garner dan, sekarang mencuat lagi melalui kasus pembunuhan George Floyd.
Warga kulit hitam berusia 46 tahun itu tewas setelah—dalam posisi terkapar di jalan—lehernya ditekan dengan dengkul oleh polisi kulit putih di Minneapolis, Negara Bagian Minnesota, 25 Mei lalu. Floyd ditangkap polisi setelah ada laporan ia menggunakan uang palsu saat berbelanja di sebuah toko.
"Tidak bisa dibenarkan pada abad ke-21, AS yang dikenal sebagai pendekar demokrasi, terus bermasalah dengan rasialisme yang sistematis,” kata Presiden Ghana Nana Akufo-Addo seraya menekankan orang kulit hitam di dunia terkejut dengan kematian Floyd dan rasialisme di AS.
Kasus di negara Lain
Rasisme dan apartheid bukan hanya masalah di AS. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pernah menerbitkan laporan yang menyatakan Israel menerapkan apartheid. Kebijakan itu dilakukan dengan cara pemisahan politis dan geografis terhadap orang Palestina. Kebijakan itu melemahkan kemampuan orang Palestina untuk melawan dan mengubah keadaan. Israel juga membuat aneka kebijakan untuk memastikan dominasi rasial.
Sementara negara lain tidak mempunyai aturan yang secara jelas menunjukkan kebijakan apartheid. Akan tetapi, diskriminasi rasial tetap terjadi dalam berbagai bentuk. Anggota DPR Australia, Linda Burney, memakai kasus Floyd untuk mengingatkan Canberra atas fakta ratusan orang Aborigin yang tewas di tahanan polisi. Orang Aborigin adalah penduduk asli Australia dan sudah ada di negara itu jauh sebelum orang kulit putih mulai masuk ke sana beberapa abad lalu.
"Saya kira kita harus memanfaatkan kesempatan ini. Suka atau tidak, mudah menemukan rasisme di negara ini. Bagi saya, ada banyak hal bisa dilakukan pemerintah daerah dan pemerintah federal untuk mengurangi jumlah orang Aborigin yang meninggal di tahanan,” ujar Burney, perempuan politisi dari warga Aborigin itu.
Sejak 1991 sampai sekarang, sebanyak 430 orang Aborigin meninggal dalam tahanan. Meski hanya 2 persen dari keseluruhan warga Australia, sebanyak 27 persen tahanan di Australia merupakan Aborigin. “Terlalu banyak orang Aborigin di penjara. Ini tragedi dan harus dibahas sebagai prioritas nasional,” kata Anthony Albanese, pemimpin oposisi Australia.
Prasangka berdasarkan warna kulit, kepercayaan, atau suku telah mengakibatkan banyak kerugian. AS menyaksikan itu dalam dua pekan terakhir lewat kericuhan setelah kematian Floyd. AS juga telah berulang kali menyaksikan kerusuhan rasial. Kejadian di AS seharusnya dapat menjadi pelajaran bagi banyak negara dan masyarakat untuk mengakhiri diskiriminasi rasial. Floyd harus jadi korban terakhir.