Yang Sejuk-sejuk
Di lereng Gunung Dempo, pagi terasa lebih panjang. Udara sejuk pegunungan memanjakan kami. Tapi rayuan untuk berlama-lama tidur kalah oleh godaan menikmati keindahan alam.
Di lereng Gunung Dempo, pagi terasa lebih panjang. Udara sejuk pegunungan memanjakan kami. Tapi rayuan untuk berlama-lama tidur kalah oleh godaan menikmati keindahan alam.
Jam di telepon seluler menunjukkan pukul 06.00 WIB yang berarti waktunya untuk bangkit dari peraduan. Tempat tidur di dalam mes berdinding dan berlantai papan kayu ini memang membuai. Apalagi bagi kami yang butuh pemulihan energi setelah perjalanan dari Jakarta ditambah berkeliling pabrik teh Gunung Dempo milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII, Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan, kemarin, Minggu (21/7/2019). Tidur enam jam terasa masih kurang.
Tetapi pagi ini kami harus bangkit. ”Kalau matahari cerah, pemandangan lereng Gunung Dempo sangat indah dilihat dari atas,” begitu sugesti Arif Syaifudin Zuhri, Kepala Subbagian Protokoler, Humas, dan Biro Direksi PTPN VII.
Setelah mengemasi kamera dan bekal, kami naik mobil menyusuri jalanan kampung menuju perkebunan teh. Jalanan beliku dan menanjak membelah perkebunan teh nang menghijau dan rata seperti permadani. Setidaknya kami berhenti dua kali di tikungan untuk mengambil gambar karena pemandangan yang aduhai.
Salah satu pemandangan itu kira-kira seperti ini: Gunung Dempo menjulang gagah berwarna kehijauan dengan latar belakang langit biru digores awan putih tipis. Di bawahnya terhampar permadani hijau lalu dibingkai rindang pohon peneduh teh. Kabut tipis yang mengambang di atas pohon-pohon teh bergerak lamban seolah enggan meninggalkan lereng gunung.
Akan tetapi, pemandangan tersebut belum seberapa dibandingkan ketika kami berada di Tugu Rimau di kaki Gunung Dempo. Ini salah satu titik tertinggi yang menjadi tujuan mampir banyak pelancong. Dari sini, mata bebas menyapu hamparan kebun teh seluas 500 hektar yang menghambar di kaki Gunung Dempo.
Kami merasa kurang leluasa hanya melihat dari halaman tempat parkir mobil. Begitu menoleh ke selatan, menjulang pohon sekitar 15 meter dengan batang sebesar tangki truk minyak tanah. Pada salah satu batangnya, terdapat sejenis balkon berlantai kayu. Kami lalu memanjatnya lewat tangga kayu dan tali yang dirancang melingkar melilit batang pohon.
Dari balkon ini, mata lebih leluasa menikmati perkebunan teh. Jalan-jalan yang kami lalui tadi meliuk seperti ular raksasa membelah perkebunan. Sesekali terlihat benda mengilap warna kuning atau merah. Itu tak lain mobil-mobil pelancong atau truk pengangkut teh. Saking luasnya hamparan kebun ini, mobil-mobil tadi terlihat bergerak seperti kutu.
Berdiri pada balkon ini, sesaat saya merasa bak Carl Fredricksen, kakek tua yang berhasil menerbangkan rumahnya dalam film Up produksi Disney-Pixar Animation Studios. Berada di ketinggian dan bebas melihat ke bawah. Apalagi sesekali angin sejuk berembus memberi kesan terbang tidak berpijak di bumi.
Akan tetapi, setelah sekitar 20 menit di atas sana, saya tidak kuat menahan udara dingin meskipun sudah melapisi badan dengan jaket. Akhirnya saya turun melipir ke salah satu warung yang sudah buka. Rupanya Arif dan rekannya, Andi Firmansyah, sudah memesan kopi dan mi instan. Perpaduan sempurna mengusir dingin di gunung. Siapa pun yang kerap naik gunung, tentu familier dengan aroma kopi dan mi hangat sebagai teman saat pagi maupun malam.
Begitu pun dengan saya. Begitu aroma keduanya bersatu dengan gelombang udara dan masuk rongga penciuman, saya seperti berada di puncak gunung setelah seharian mendaki. Ada rasa menang, seperti habis mengalahkan sesuatu. Padahal tadi kami naik pakai mobil, lho. Enggak berkeringat sama sekali. Tapi begitulah, aroma kopi dan mi, membuka dan membentuk ekstase naik gunung.
Turun dari Rimau, kami mampir ke beberapa tempat para pemetik teh berkumpul. Kami berbagi dan menggali cerita tentang keelokan Gunung Dempo. Bagi mereka, meskipun sudah bertahun-tahun hidup di sana, Gunung Dempo tetap istimewa. ”Gunung ini sumber segalanya. Sumber air bersih juga sumber hidup. Gara-gara gunung, subur tanah di sini,” kata Sudarni (44), pemetik teh.
Dikepung kabut
Setelah seharian berkeliling kebun teh, malam hari ini kami berencana menghadiri pertemuan para pegawai perkebunan teh. Sebelum itu, kami ingin melihat kondisi permukiman di sekitar kebun teh. Maka, kami pun meluncur ke arah perkampungan, kali ini kami bertemu dengan warga yang rupanya tidak jauh dari Villa Gunung Dempo, tempat pertemuan.
Kami mengobrol tentang kearifan lokal dan pola interaksi antarsuku di lereng Gunung Dempo ini. Ditemani teh panas, obrolan mengalir sampai sekitar satu jam dan berakhir ketika Andi memberi tahu bahwa para pembesar perkebunan sudah hadir untuk memulai pertemuan.
Begitu keluar ruangan, kami kaget karena seluruh halaman putih pekat dikepung kabut. Jarak pandang hanya sekitar semeter saking pekatnya. Lampu-lampu halaman vila berpendar samar tak mampu menerobos pekat. Udara dingin sangat sampai belasan derajat celsius.
Pemandangan yang terkesan ganjil bagi saya ini menarik untuk diabadikan. Saya mencoba memotret beberapa sudut menggunakan telepon seluler. Hasilnya unik, hampir seluruh frame berwarna putih, hanya ada pendaran lampu taman.
”Setiap habis hujan, kabut sering datang tebal begini. Dingin, ya?” kata Anjar Rahmat, penjaga vila, ketika melihat kami merapatkan dekapan tangan dan bergidik.
Dikepung kabut tebal begini memberi kenangan tersendiri. Saya sering dikelilingi kabut saat berbulan-bulan berada di kaki Gunung Sinabung. Juga ketika berada di beberapa perkebunan teh di Jawa Barat. Akan tetapi, kabut kali ini terasa berbeda. Lebih dingin dan mencekam. Mungkin karena memang malam ini sepi sekali daerah di sekitar vila.
Tiba-tiba terlintas dalam benak, orang-orang di Sumatera Utara, Riau, atau di Kalimantan yang pernah selama berbulan-bulan dikepung kabut asap dampak dari hutan dibakar. Saya yang sesaat dikepung kabut saja merasa hilang arah karena tak bisa jauh melihat. Jadi wajar jika orang-orang yang terdampak asap itu marah karena selain hilang arah juga sesak napas.
Dinginnya udara dan gelapnya kabut tadi perlahan sirna berganti kehangatan para pegawai perkebunan yang malam itu berkumpul untuk dengar pendapat dan menyimak arahan atasan mereka. Kami berbaur ketika jadwal makan malam bersama. Nasi putih, tempe goreng, ayam goreng, dan sayur asam panas benar-benar luar biasa sensasinya di tengah malam dingin.
Menu ini dimasak orang Sunda yang sudah puluhan tahun tinggal di lereng Gunung Dempo. Mereka, bersama orang Jawa, didatangkan ke lereng Gunung Dempo menjadi buruh petik teh. Pertemuan mereka dengan suku lokal, Besemah, memunculkan harmoni sosial yang apik. Ini sebentuk kehangatan yang lain.