Prakerja untuk Kelas Menengah yang Terdampak Covid-19
Program Kartu Prakerja tidak bisa semata bentuknya hanya bantuan. Sebab, berdasarkan Peraturan Presiden tentang Kartu Prakerja, program ini harus ada unsur pelatihannya.
Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja Denni Puspa Purbasari terlihat penuh semangat bercampur gelisah saat menjelaskan Program Kartu Prakerja di kantornya di Jakarta, Selasa (9/6/2020). Selama 5,5 jam, ia meluangkan waktu untuk wawancara khusus mengenai program yang turut ia rancang sejak pertengahan 2019. Berikut wawancara dengan Denni.
Menurut rencana awal, kapan sebenarnya program ini dijalankan?
Ini masuk APBN 2020. Ini diketahuinya sejak penyusunan APBN 2020 yang diketok palunya Oktober 2019. Tapi lama sebelum Oktober tahun lalu, bulan Agustus dalam nota keuangan pemerintah, Bapak Presiden sudah menyebutkan.
Perancangannya mulai pertengahan 2019?
Iya, merancangnya itu sudah lama. Pascapilpres kemudian janji (kampanye) kan harus di-deliver. Intinya, Kartu Prakerja tidak bisa menggantikan pendidikan formal, baik itu pendidikan vokasi maupun pendidikan nonvokasi.
Metode online itu dilakukan karena pertimbangan apa?
Ya kedaruratan karena Covid-19. Hingga Februari, sebagian besar pelatihan masih dirancang offline. Banyak lembaga pelatihan, SMK, perusahaan yang punya reputasi pelatihan sangat bagus sudah dikontak. Ada rencana memakai dana desa untuk menggerakkan anak-anak desa ke kota tempat pelatihan dilakukan. Kami selalu berpikir pelatihan offline bahkan hingga akhir Februari 2020 itu.
Tapi ada beberapa platform sudah diundang untuk ikut Prakerja sejak Januari?
Dengan kapasitasnya sebagai marketplace, sementara saat itu konsep pelatihannya tetap offline, hanya penjualannya lewat marketplace. Jadi bukan pelatihan online, tapi pelatihan offline yang dijual di situ. Pelatihan bahasa Inggris dengan tatap muka, misalnya, tapi pelatihan itu dijual lewat marketplace. Tujuannya supaya peserta gampang mencarinya.
Mengapa insentif Prakerja tidak diberikan dalam bentuk bantuan tanpa melalui platform pelatihan?
Ketika ada Covid-19, untuk membantu mereka yang miskin cukup dengan tambah bantuan di Kartu Bantuan Pangan Non-Tunai. Tapi itu hanya untuk 40 persen (penduduk Indonesia) ke bawah, yang pengeluaran rumah tangganya per bulan Rp 3,7 juta.
Tapi apakah dampak Covid-19 hanya mengenai yang pengeluarannya Rp 3,7 juta per bulan? Enggak kan. Semua kalangan kena. Nah, yang 40 persen kelompok warga yang ekonominya di tengah, terutama yang dekat dengan yang kelompok di bawah, mereka itu sempoyongan terkena dampak Covid. Dan itu nyata.
Dalam kondisi pandemi, jika tujuannya bantuan, mengapa Prakerja tidak disalurkan saja tanpa harus ada pelatihan?
Ya tidak bisa. Kalau kamu hilangkan (pelatihan) dan cuma kasih duit doang, maka kamu melanggar perpres. Kamu masuk bui. Sementara kami tidak memiliki mekanisme untuk yang kasih duit saja ke 40 persen (penduduk) di tengah ini. Jadi, Kartu Prakerja itu harus ada pelatihannya. Mau pelatihan seupil saja, pokoknya harus ada pelatihan karena aturannya begitu.
Yang 40 persen di tengah ini tidak ada datanya?
Tak hanya tak ada datanya. Tapi juga tidak ada instrumennya untuk penyaluran bantuan. Pemerintah kan tidak bisa menjatuhkan uang dari helikopter. Harus ada payung hukumnya.
Pak Jokowi melihat itu. Jadi bagaimana menolong orang yang ada di 40 persen tengah itu. Nah, Kartu Prakerja ini sudah ada insentif pasca-pelatihan dan pascasurvei. Dan saat itu sudah ada payung hukumnya berupa peraturan presiden (perpres) yang terbit Februari.
Baca juga: Bermanfaat buat Peserta, Belum untuk Dunia Usaha
Artinya, kalau saat itu belum ada perpres Prakerja, tidak ada mekanisme untuk mendata serta menyalurkan bantuan untuk kelompok menengah?
Persis! Padahal, pemerintah ada uangnya. Kalau kelompok warga di 40 persen terbawah, ada kartu sembako yang menumpang pada kartu BPNT, Kartu Keluarga Sejahtera, lalu di atasnya lagi, masuk PKH yang namanya bantuan pangan nontunai. Jadi, kelompok ekonomi 25 persen ke bawah ini banyak sekali program perlindungan sosial yang mereka nikmati, termasuk KIS, KIP, itu mereka dapat. Pendidikan dan kesehatan, dan bantuan pangan sudah terjamin.
Yang ini kan kelas menengah, pemerintah belum ada dukungan untuk semua orang di masa normal. Tapi begitu ini Covid, kelas menengah terpukul, dia tidak ada bantalannya. Enggak ada programnya dan tidak ada datanya.
Karena itu, kalau sampai akhir tahun kita pakai Rp 20 triliun, itu bisa melayani 5,6 juta orang dengan membuka pelatihan per batch itu dimaksudkan memberikan orang untuk menyerap informasi, merespons, mencari, dan kemudian memilih yang paling cocok.
Dan jangan lupa, Covid menyebarnya pelan. Karena itu, kita pakai pembobotan per provinsi berdasarkan prevalensi Covid-19, daerah tempat pendaftar tinggal, jumlah pengangguran, dan hanya sedikit lowongan kerja
Pembobotan seleksi ini sudah dipakai untuk batch 1?
Sudah.
Kembali lagi, dalam kondisi pandemi ini, kenapa Prakerja tidak disalurkan saja tanpa lewat platform pelatihan kalau memang tujuannya bantuan?
Ya tidak bisa. Kalau kamu hilangkan (pelatihan) dan cuma kasih duit doang, maka kamu melanggar perpres. Kamu masuk bui. Sementara kita tidak memiliki mekanisme untuk yang kasih duit saja ke kelas 40 persen di tengah ini.
Jadi, Kartu Prakerja itu harus ada pelatihannya. Mau pelatihan sedikit saja, pokoknya harus ada pelatihan karena aturannya begitu.
Selain dari offline ke online, perubahan apa lagi dari konsep awal yang dilakukan untuk Covid?
Waktu itu biaya pelatihan offline direncanakan kisarannya Rp 3 juta-Rp 7 juta. Sementara insentif direncanakan hanya Rp 100.000-Rp 300.000 saja, yang penting membuat orang menuntaskan pelatihan. Namun, besaran itu berubah seperti sekarang untuk menyesuaikan (Rp 2,4 juta per orang untuk insentif dan Rp 1 juta untuk biaya pelatihan).
Untuk menolong 40 persen yang di tengah ini, memang saat itu tidak ada alternatif lain?
Mari kita bicara. Untuk kelompok 40 persen di tengah mungkin punya BPJS Ketenagakerjaan, mungkin punya BPJS Kesehatan. Tapi itu diklaim ketika sakit atau mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Berapa lama cairnya? Berapa lama bisa menopang? Bagaimana untuk pekerja informal?
Pekerja kita itu 131 juta orang, sedangkan yang menganggur 6,88 juta orang. Jadi, yang nganggur itu tidak ada data by name by address-nya. Karena data angka ini hanya hasil survei, bukan sensus. Jadi, mereka ini siapa, ada di mana, kita tidak tahu. Kemudian dari 131 juta yang bekerja, 74 juta orang di sektor informal.
Kemudian yang formal sisanya. Nah, yang sisanya menarik juga. Data di BPJS Ketenagakerjaan itu. Ternyata yang menjadi peserta yang tercatat sekitar 44 juta orang. Dari 44 juta peserta yang register, yang membayar iuran secara aktif hanya 22 juta orang.
Jadi, kalau kamu rely on (mengandalkan) data BPJS only. Itu exclusion error (kesalahan pengecualian) akan banyak.
Dari jumlah itu, tidak ada manusia yang tahu, siapa yang sekarang nganggur beneran atau ngaku-ngaku nganggur. Nah, karena itu, kita sebenarnya saat menyusun itu kita sudah ngerti. Supaya tidak banyak beban verifikasi, maka semua orang berhak menjadi peserta dengan ketentuan WNI dan berusia 18 tahun. Pendaftaran dibuat dengan mudah hanya lewat internet. Artinya apa, kalau dalam bahasa saya, itu memotong birokrasi, biaya, dan waktu.
Soal digital platform yang merangkap juga menjadi penyedia lembaga pelatihan, bagaimana?
Jadi, itu salah satu yang pernah saya bicarakan bersama para ekonom. Kalau satu digital platform punya pelatihan sama di ekosistem dia, boleh atau tidak? Perlukah diatur?
Hasil pembahasannya, boleh dengan aturan produk mereka sendiri tidak lebih banyak dari lembaga pelatihan lainnya yang dijual di platform mereka. Ini sama seperti Indomaret atau Hypermart yang menjual produk mereka sendiri.
Baca juga: Prakerja Terkatung-katung
Apakah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) enggak tahu? Ya tahu. KPPU tahu dong. Kalau bisnis offline yang supermarket aja boleh menjual private label mereka, ya kenapa kemudian ini enggak boleh?
Ada yang mengatakan hal itu berpotensi melanggar aturan persaingan usaha?
Kami dua kali diskusi dengan KPPU. Pertanyaannya, apakah benar ini konflik kepentingan? Apakah itu dampaknya buruk buat masyarakat, jawabannya tidak. Saya sudah tanya kepada kompetitornya dia, anak tirinya, yaitu lembaga pelatihan yang juga berjualan di platform yang menjual lembaga pelatihannya sendiri.
Ternyata mereka (si kompetitor) tak ada masalah dengan itu, bahkan mengatakan keuntungan lebih besar dengan berjualan di platform yang juga berjualan kelas pelatihannya sendiri. (Seperti di RuangGuru yang menawarkan kelas pelatihan dari Skill Academy dan di Pintaria yang juga menawarkan kelas pelatihan dari HarukaEdu).
Bagaimana dengan platform marketplace pelatihan yang belum masuk yang lain? Seperti Zenius, misalnya?
Nah, Zenius itu baru mau masuk. Jadi sekarang ini, yang mau mendaftar itu 14 perusahaan untuk jadi digital platform. Tapi selama ini masih ribut, saya hentikan dulu (seluruh proses di Prakerja tengah ditunda sembari menunggu review selesai menyusul polemik yang terjadi).
Saya tidak mau kemudian diomongin bahwa ini harusnya pengadaan atau tidak, kerja sama atau tidak atau harusnya lelang. Ya lelang atau kerja sama, saya minta itu diputuskan. Putuskan, hitam di atas putih. Kalau ada hitam di atas putih, itu baru saya akan lanjut lagi program ini.
Yang diminta memutuskan soal hitam di atas putih siapa?
Komite, penegak hukum dan sembilan lembaga pengawas negara yang saat ini sedang review.
Jadi sekarang dana masih ditahan? Belum ada yang dibayarkan ke platform?
Belum ada. Lho, kalau kemudian dibayarkan, kemudian itu dibilang pelatihannya kenapa ecek-ecek (tak bermutu), harganya ketinggian, kemudian soal Skill Academy jualan skill Academy. Lho, kemudian itu tidak boleh dan segala macam, itu uang telah telanjur dibayarin. Lalu dibilang merugikan keuangan negara? Saya tidak mau begitu.
Baca juga: Platform Untung Ganda
Kenapa meminta pendapat dari pengawas dan penegak hukum tak dari awal?
Jadi begini, pada saat kita mau ngeluarin permenko, waktu itu sudah ada rapat dengan KPK dan BPKP, lalu kalau tidak salah juga dengan kejaksaan. Kami sudah undang untuk minta pendapat dan apakah ada keberatan untuk draf permenko itu? Tidak ada yang keberatan.
Semua bilang tidak ada masalah?
Intinya, saat itu tidak ada yang bilang tidak boleh. Staf LKPP yang terlibat dalam menyusun draf perpres juga mengatakan, awalnya dia berpikir ini pengadaan barang dan jasa. Begitu sudah jelas, bahwa ini bukan ranah pengadaan barang dan jasa, itu sudah kita tegaskan, untuk pembahasan permenko itu, LKPP sudah tidak ikut.
Karena apa? Karena saya sudah yakin ini bukan ranah pengadaan. Tiba-tiba seseorang mengatakan harusnya pakai lelang. Padahal, ini konsepnya bantuan sehingga tidak menggunakan pengadaan. Seperti konsep Bantuan Pangan Non-tunai yang menggunakan e-warung, tidak menggunakan pengadaan juga.
Kenapa hanya delapan platform itu? Platform lain tidak ikut?
Karena ini dituntut harus melahirkannya cepat. Sementara pasar pelatihan online ini tuh terlalu kecil. Kami baru tahu platform-platform lain belakangan, saat itu, tidak ada yang tahu.
Bagaimana awalnya delapan platform itu diajak?
Sekitar Maret 2019, waktu itu kami mau belajar marketplace. Waktu itu kan kami tidak mikir pelatihan digital. Jadi pelatihan offline, tapi pemasarannya secara online. Kami undang empat martketplace unicorn Indonesia untuk mempelajari sistem itu, yaitu Bukalapak, Traveloka, Gojek, dan Tokopedia. Platform lain, seperti RuangGuru, Pintaria, dan PijarMahir, itu baru muncul belakangan.
Jadi awalnya, Ruangguru dipanggil sebagai marketplace pelatihan?
Awalnya empat (Bukalapak, Traveloka, Gojek, dan Tokopedia) pada Mei 2019. Jadi, awalnya Presiden Jokowi terpilih lagi, itu langsung kami siapkan. Lalu Gojek ingin fokus di core business dia, yaitu sepeda motor. Jadi dia belum interest. Traveloka ada pelatihan tapi kecil saja, baru hobi seperti menjahit. Tapi secara marketplace dia oke, tapi untuk tiket. Traveloka tidak tertarik.
Tapi ini jauh sebelum 2020. RuangGuru termasuk yang belakangan yang ikut. Ini gara-gara aku fokus ke offline. Hanya marketplace saja. Hanya lima lagi yang terakhir diundang, seperti juga Mau Belajar Apa. Pijar Mahir termasuk terakhir banget.
Kenapa saat itu tak diumumkan terbuka agar lebih banyak platform bisa ikut?
Lha wong saat itu baru merencanakan, kok mengumumkan. Kami saat itu baru belajar dari beberapa orang yang dianggap ahli di sana. Ya kenapa kok tidak dibuka karena waktu itu kami masih menggarap, masih menggagas. Tapi oke, begitu model itu dilaksanakan, sekarang terbuka untuk semua orang.
Jadi delapan platform ini hanya awal dulu?
Iya, kenapa sih, selalu ada konklusi seakan cuma ada delapan. Aku sudah bilang berkali-kali, ini tuh terbuka, lembaga pelatihan juga terbuka.
Jadi pertimbangan delapan platform itu, perkara mereka yang siap aja?
Iya, yang kita tahu dan yang siap.
Keputusan dikoordinasi oleh Kemenko Perekonomian dan bukan Kementerian Ketenagakerjaan, bagaimana prosesnya?
Itu di rapat terbatas, semua menteri ada. Sekitar bulan November 2019, Presiden mengatakan, ”Jadi yang mengerjakan program Prakerja ini, saya minta Pak Menko Perekonomian.” Ibarat prajurit, tentu Pak Airlangga mengatakan, siap saat Jenderal memberi perintah.
Siapa aja sih yang dulu juga ikut membantu membidani?
Jadi begini, kalau Kartu Prakerja sendiri itu Pak Jokowi. Karena itu waktu kampanye di Sentul, aku aja enggak tahu, itu beliau sendiri.
Ada wacana untuk menghentikan program ini?
Enggak, enggak.