Publik Ikut Belajar dari Putusan Pemblokiran Internet
›
Publik Ikut Belajar dari...
Iklan
Publik Ikut Belajar dari Putusan Pemblokiran Internet
Publik bisa belajar dari pasca-putusan PTUN Jakarta yang menyatakan tindakan pemerintah memutus akses internet di Papua dan Papua Barat pada 2019 melanggar hukum. Publik bisa ikut mengawal uji pasal 40 UU ITE ke MK.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta menyatakan tindakan pemerintah memutus akses internet di Papua dan Papua Barat pada 2019 melanggar hukum. Meski masih bersifat deklaratif, keputusan itu berdampak kepada masyarakat luas. Publik menjadi sadar dan paham buruknya realitas pertimbangan hukum yang diambil pemerintah saat itu untuk memutus akses internet.
Pada Rabu (3/6/2020), majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang dipimpin Nelvy Christin mengabulkan gugatan dari Aliansi Jurnalis Independen dan Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) atas tindakan pemerintah melakukan pembatasan, pemblokiran, dan perpanjangan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat dalam rentang waktu 19 Agustus-4 September 2019.
Bagi publik, pertimbangan hukum putusan itu bisa menjadi acuan.
Majelis hakim dalam putusannya menyatakan tindakan pemerintah itu sebagai perbuatan melanggar hukum. Sebab, kebijakan diambil tanpa terlebih dahulu menyatakan status kedaruratan seperti disebutkan pada Pasal 40 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
”Bagi publik, pertimbangan hukum putusan itu bisa menjadi acuan. Siapa pun bisa ikut mengawal dan melanjutkan ke proses pengujian Pasal 40 UU ITE ke Mahkamah Konstitusi sehingga tafsir pasal itu lebih jelas, termasuk peluang untuk memastikan larangan praktik pemutusan akses internet,” ujar peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar, saat dihubungi Kamis (18/6/2020), di Jakarta.
Dia menjelaskan, putusan PTUN hanya bersifat deklaratif sehingga tidak membuat norma baru dari Pasal 40 UU ITE. Menurut dia, akan lebih kuat tafsir Pasal 40 UU ITE jika melalui pengujian UU di Mahkamah Konstitusi.
”Siapa pun bisa ikut terlibat. Organisasi jurnalis, pegiat hak asasi manusia, bahkan korporasi yang berkepentingan,” katanya.
Dampak putusan PTUN ke regional tidak langsung. Wahyudi menerangkan, masyarakat di satu kawasan dengan Indonesia, yakni ASEAN, bisa belajar penggunaan judicial oversight pada setiap keputusan pemerintah yang berkaitan dengan pembatasan akses internet.
Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto saat menghadiri diskusi daring ”Pasca-putusan Sidang Internet Shutdown: Apa yang Selanjutnya Perlu Warga Lakukan”, Rabu (17/6/2020), memandang keputusan PTUN Jakarta itu mempunyai dampak di kawasan regional. Di Asia Tenggara, Myanmar pernah juga melakukan pemblokiran internet.
Warga di Myanmar bisa belajar dari Indonesia bahwa keputusan pemerintah memblokir internet tidak dibenarkan. Uji hukum pemblokiran pun tidak ada. Mereka bisa terus berjuang.
Damar menyebutkan, di dunia, setidaknya ada sekitar 33 negara pernah melakukan pemblokiran internet beberapa kali. Praktik pemblokiran internet secara global cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Sebagai gambaran, pada tahun 2016 terdapat 75 kali praktik pemblokiran, lalu naik menjadi 108 kali pada 2017, dan kembali naik menjadi 188 kali pada 2018. Adapun pada 2019 praktik pemblokiran meningkat menjadi 213 kali.
Setiap pemerintah negara yang pernah melakukan pemblokiran internet berpotensi mengulang. Di Indonesia, di luar pemblokiran internet Papua dan Papua Barat, pemerintah juga sempat memperlambat pengiriman gambar melalui aplikasi media sosial dan pesan instan di Jakarta pada kisruh pemilu 22-25 Mei 2019. Selain Indonesia, Damar menyebutkan Pemerintah India bahkan pernah berulang kali melakukan pemblokiran internet.
Menurut dia, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan, pemblokiran internet adalah bentuk represi muthakir pemerintah di abad ke-21. Bagi pejuang hak digital, pemblokiran internet sama dengan perpanjangan bentuk sensor yang melukai demokrasi dan ekonomi yang sehat.
Data Netblocks yang dikumpulkan oleh Damar menemukan bahwa pemblokiran internet menggunakan sistem teknologi digital yang canggih sehingga mampu memblokir pada lokasi dan waktu tertentu. Korporasi tentu tidak mungkin melakukan karena ada kepentingan ekonomi.
Hak publik
Berangkat dari hasil putusan PTUN Jakarta itu, publik semestinya punya suara besar. Kesadaran mereka terhadap hak-hak mereka meningkat. Mereka bisa berkaca pada dampak ekonomi sosial yang dialami oleh penduduk Papua dan Papua Barat selama mengalami pembatasan, pemblokiran, dan perpanjangan pemblokiran internet dalam rentang waktu 19 Agustus-4 September 2019.
Ekonomi yang berputar dan digerakkan oleh aplikasi, seperti pesan antar makanan berbasis ojek daring, lumpuh. Penarikan uang tidak bisa. Kerja-kerja jurnalistik dan cek fakta pun mandek. Penyebaran hoaks dan disinformasi tetap terus berjalan melalui pesan pendek (SMS). Kegiatan belajar-mengajar juga terputus.
Dosen Universitas Cendrawasih, Elvira Rumkabu, menceritakan, pada saat kejadian, aktivitas belajar harus dilakukan diam-diam. Narasi-narasi keamanan yang muncul mencekam.
Warga pendatang ataupun bukan dihadapkan pada konflik horizontal. Akademisi seperti dirinya tidak dapat membangun narasi perdamaian untuk melawan narasi konflik.
”Ketika internet sama sekali tidak bisa diakses, akan selalu banyak bidang ekonomi sosial terdampak. Pada saat kejadian, saya untuk pertama kalinya merasa ’terjajah’ sebagai warga negara,” katanya.
Pakar teknologi informasi Onno W Purbo menyampaikan, saat infrastruktur jaringan mati, misalnya karena bencana, menjadi masalah operator telekomunikasi komersial. Apalagi ketika mereka harus memblokir internet.
Agar komunikasi antarwarga tetap berjalan, Onno mengatakan, komunitas sebenarnya bisa membangun infrastruktur telekomunikasi sendiri sebagai alternatif. Perangkat teknologi pendukungnya marak dijual, bahkan di laman pemasaran.
Dia mencontohkan, RT RW Net, Wajan Bolic, dan Open BTS. Warga juga sebenarnya sudah mengenal infrastruktur komunikasi, seperti Orari dan Radio Antar Penduduk.
”Hal yang menjadi masalah adalah keberadaan infrastruktur jaringan telekomunikasi komunitas pernah berusaha ditekan (negara),” kata Onno.