Sistem Pemilu di Indonesia Perlu Dikaji Komprehensif
›
Sistem Pemilu di Indonesia...
Iklan
Sistem Pemilu di Indonesia Perlu Dikaji Komprehensif
Meskipun berkali-kali digelar, pemilu belum mencapai tujuannya menjaga kedaulatan. Pasalnya, sistem pemilu rentan disisipi oligarki hingga kartel politik. Karena itu, selain menata sistem, parpolnya juga direformasi.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sistem pemilu Indonesia belum mencapai tujuannya, yaitu menjaga kedaulatan rakyat. Pasalnya, dalam prosesnya, sistem pemilu rentan disisipi oligarki hingga kartel politik. Karena itu, pembenahan sistemik dibutuhkan tak hanya penataan sistem pemilu, tetapi juga reformasi partai politik.
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia Valina Singka Subekti dalam diskusi virtual ”Tata Kelola Negara: Menghadirkan Pemilu yang Berkualitas”, Jumat (19/6/2020), di Jakarta, mengatakan, sistem pemilu di Indonesia perlu dievaluasi secara menyeluruh karena pelaksanaannya selama ini belum berdampak pada penyederhanaan kepartaian. Sistem pemilu yang dijalani malah berdampak pada politik berbiaya tinggi dan memperkuat dominasi oligarki, dinasti politik, dan politik kartel sehingga melemahkan demokrasi partisipatif.
”Saya mengusulkan meredesain sistem pemilu yang lebih kompatibel dengan sistem presidensial dan juga dapat menghasilkan wakil rakyat yang representatif dan akuntabel, serta memperkuat kembali pelembagaan parpol kita,” ujar Valina.
Saya mengusulkan meredesain sistem pemilu yang lebih kompatibel dengan sistem presidensial dan juga dapat menghasilkan wakil rakyat yang representatif dan akuntabel, serta memperkuat kembali pelembagaan parpol kita.
Dalam diskusi yang digelar Aliansi Kebangsaan dan Forum Rektor Indonesia itu, hadir juga sebagai pemateri, di antaranya, peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Moch Nurhasim, Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Retno Saraswati, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) Kuskridho Ambardi, serta pakar Aliansi Kebangsaan Yudi Latif.
Menurut Valina, sistem pemilu menjadi bagian penting dalam penyelenggaraan pemilu. Sebab, sistem pemilu ini menenentukan sistem kepartaian yang akan terbentuk.
Oleh karena itu, pembahasan sistem pemilu dibutuhkan juga stimulasi lanjutan. Dia mengusulkan sistem pemilu proporsional tertutup dengan alokasi kursi tiga hingga delapan kursi dan ambang batas parlemen sekitar 5 persen. Namun, perubahan menuju ke sistem pemilu tersebut harus diiringi dengan reformasi partai politik melalui revisi Undang-Undang Partai Politik.
”Tata kelola manajemen internal harus demokratis, tak lagi oligarki, sentralistis, dan personalistis. Sistem perekrutan dan kaderisasi harus lebih terbuka dan terukur,” ujarnya.
Sementara untuk mengatasi persoalan politik transaksional, kata Valina, perlu ada pengaturan dana parpol oleh negara. Saat ini, konsep tersebut sedang dirancang oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Condong kepentingan elite
Moch Nurhasim sependapat bahwa sistem pemilu dan sistem kepartaian saling memengaruhi. Sistem kepartaian akan berhubungan dengan corak sistem pemilu yang digunakan dan tentu akan berkaitan dengan corak sistem pemerintahan yang akan dibangun.
Selama ini, menurut dia, perubahan sistem pemilihan di Indonesia lebih condong pada kepentingan elite dan partai ketimbang upaya mendorong perbaikan demokrasi. ”Ini yang menjadi persoalan dan harus diselesaikan,” ujar Nurhasim.
Dalam penataan sistem pemilu ke depan, menurut Nurhasim, harus dipikirkan pula untuk menata sistem kepartaian dan bikameral. Reformasi di bidang-bidang tersebut perlu dilakukan dengan semangat memperkuat sistem presidensial.
”Memperkuat sistem presidensial tidak semata-mata dipengaruhi sistem pemilihan, tetapi yang perlu dilihat adalah implementasi praktik sistem presidensiil akan dilakukan. Yang penting adalah perlu menata mekanisme check and balances agar tak dimaknai secara sempit. Padahal, kita menganut sistem bikameral, tetapi check and balances terasa unikameral. Dampaknya, presiden bisa terperangkap politik di DPR. Oleh karna itu, model check and balances ini perlu juga dikoreksi,” kata Nurhasim.
Nurhasim kemudian mengusulkan satu opsi agar tetap menjaga representasi dari sistem proporsional, yaitu prinsip penggabungan suara (stembus accord). Prinsip ini pernah dipraktikkan pada Pemilu 1955 dengan tujuan menjaga representasi agar partai-partai yang tak berhasil memperoleh kursi bisa bergabung dengan partai-partai lain.
Alasan Nurhasim mengusulkan metode ini adalah mengingat tujuh parpol mendapat suara di bawah 4 persen atau tak lolos ambang batas parlemen pada Pemilu 2019. Dampaknya, setidaknya 13,5 juta suara tak bisa dikonversi menjadi kursi.
”Banyak suara yang hilang. Prinsip ini tak pernah dibicarakan. Padahal, metode ini bisa mengurangi perdebatan mengenai persoalan representasi dari sistem proporsional,” kata Nurhasim.
Oligarki dan kartel politik
Kuskridho Ambardi atau biasa disapa Dodi melihat, oligarki dan kartel politik juga bisa terjadi pada sistem politik yang demokrasi. Oligarki di sini berarti ada sekelompok orang dengan kekuatan ekonomi luar biasa mampu mengontrol sistem politik di suatu negara. Sementara, kartel politik merujuk pada kerja sama partai sebagai sebuah kelompok tersendiri yang memiliki kepentingan berbeda dengan publik.
Oligarki dan kartel politik, menurut Dodi, bisa masuk di dua arena, yakni pemilu dan kebijakan. ”Jadi, kita perlu untuk melihat efek dua itu lebih dari sekadar pemilu, tetapi juga waktu jeda antara dua pemilu ketika kebijakan-kebijakan atau regulasi itu dibikin,” ujarnya.
Di arena pemilu, misalnya, terjadi di pemilihan kandidat atau partai lewat kebijakan tertentu. Pemain akan memberikan sumbangan secara langsung atau tidak langsung untuk kampanye. Setelah itu, mereka akan ikut memilih kebijakan dan merumuskan visi-misi dari partai dan kandidat tersebut.
Sementara di arena kebijakan, biasanya terjadi saat proses lobi kebijakan. Ketika kebijakan dibuat, lobi dilakukan, baik di eksekutif dan legislatif nasional, maupun di tingkat lokal.
Kasus kartel politik paling terasa di dalam proses pendirian partai baru dan persyaratan bagi calon independen.
Dodi menyebutkan, kasus kartel politik paling terasa di dalam proses pendirian partai baru dan persyaratan bagi calon independen. ”Makin lama kok makin susah syarat-syarat itu sehingga di sana kartel bisa terpelihara,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Dodi, pembuatan aturan main bukanlah satu-satunya jalan untuk memperbaiki demokrasi dan kualitas pemilu di Indonesia. Alih-alih sekadar memperhatikan aturan main tersebut, justru yang perlu diperhatikan sekarang adalah kekuatan ekonomi politik yang memiliki sumber daya lebih dan berpotensi mendistorsi demokrasi dan pemilu.
”Perlu juga memeriksa lebih jauh arena-arena politik selain pemilu, yaitu periode antarpemilu. Dan perlu mengatur keseimbangan politik agar masyarakat sipil dan media mampu melakukan kontrol terhadap kelompok oligarki dan kartel politik tersebut,” kata Dodi.
Dengan kondisi itu, Retno Saraswati juga mengingatkan bahwa penguatan nilai-nilai integritas harus mewujud dalam aturan pemilu dan partai politik. Jangan sampai aturan yang muncul malah mencederai kedaulatan rakyat.
”Manakala ini dilanggar, maka ada judicial review (uji materi) undang-undang,” kata Retno.
Adapun Yudi Latif menambahkan, ada tiga dimensi yang perlu diperhatikan dalam penataan sistem pemilu di Indonesia, yaitu aspek nilai, sosio-kultural masyarakat, dan kondisi kesejahteraan masyarakat.
Jadi kita hanya trial and error dari mencoba-coba satu sistem pemilu tetapi tidak melihat sistem representasi yang ingin dikembangkan.
Dia menyayangkan, desain prosedural pemilu yang tak pernah melihat persoalan itu secara makro. Akibatnya, yang terjadi hanya sebatas utak-atik prosedur.
”Ketiga itu tak dibaca secara komprehensif. Jadi kita hanya trial and error dari mencoba-coba satu sistem pemilu tetapi tidak melihat sistem representasi yang ingin dikembangkan. Yang langsung dilihat tiba-tiba yang akan mewakili rakyat itu seolah-olah utamanya harus lewat individual rakyat lewat parpol. Padahal, pengalaman komparatif lintas negara tidak begitu,” ujar Yudi.
Setidaknya, ada tiga hak yang bisa mewakili rakyat, yakni hak individual lewat parpol, hak teritorial, dan hak komunitarian. ”Kita sebenarnya boleh bersimulasi ulang. Barangkali dengan tiga perwakilan itu bisa mengompensasikan kelemahan-kelemahan daripada hanya satu pilihan saja lewat parpol,” tutur Yudi.