Petani dengan Cangkul Tua yang Rapuh
Hari-hari telah mereka lalui untuk mempersiapkan diri, menyambut kedatangan sang pemberi napas kehidupan di desa itu. Semua ladang-ladang sudah siap memberikan tenaga kepada tumbuhan-tumbuhan yang akan ditanam petani.
Titik itu tidak pernah berubah. Titik yang sangat kuat dan kekal. Ya, titik itu tetap seperti itu. Tidak terhendus dan tidak tergerus, asap zaman teknologi. Titik itu berada di sebuah lereng bukit, di wilayah bebatuan yang menjulang tinggi. Gersang dan tandus. Rasanya untuk bertempat tinggal di sana, tidak akan mungkin. Miring dan miris. Apakah ada sumber kehidupan di sana? Apa ada makanan? Apa ada sumber air?
Tempat ini adalah tempat yang lebih disayang oleh musim panas, ketimbang musim hujan. Tempat yang benar-benar ditakuti oleh hujan. Benar sekali. Tempat itu hanya terlihat beberapa bulan menghijau, dan akan kembali lebih lama terlihat memerah, layaknya batu bata yang habis terbakar.
Pagi itu matahari akan mulai aktivitasnya, menghunjamkan sinarnya ke bumi. Namun, agak berbeda dari hari kemarin. Dia terasa tersipu malu. Tidak seperti biasanya, bila burung sudah bersiul, maka sorot matanya akan tajam sekali pada dunia. Terutama pada daerah miring, perbukitan terjal itu.
“Luh, nampaknya sinar matahari sudah mulai redup pagi ini. Itu artinya, awan sudah mulai bersapa ria dengan ladang kita. Nampaknya, hari yang kita tunggu akan segera tiba.”
“Ya, Bli. Sorot mata sang surya yang tajam dari beberapa bulan, sudah mulai lemah. Rasa haus dan dahaga pepohonan yang masih bertahan hidup, nampaknya akan terobati. Begitu pula, serangga-serangga yang telah pergi ke tempat lain, nampaknya juga akan segera kembali, untuk menghibur kegelapan malam di tempat ini.”
Begitulah sebuah percakapan kecil, di sebuah gubuk tua di sudut desa itu. Sepasang percakapan kakek dan nenek yang tidak mengenal kota. Kakek dan nenek yang hanya mengenal ladang. Kakek dan nenek yang hidup, dan menghidupi diri dari bertani. Ya, mereka adalah petani. Petani yang tidak pernah mengenal lelah, walaupun di masa senjanya.
Gubuk tempat tinggalnya itu memang sepi. Hanya mereka berdua yang setia sebagai penghuninya. Kalau dibilang sepi, tempat itu tidak sepi sekali. Masih ada beberapa tetangga yang menghuni tempat miring dan bebukitan itu. Mereka punya generasi penerus. Yang akan menjadi tulang punggung mereka, di masanya jika sudah tidak bekerja lagi. Ya, dia punya seorang putra. Namun, saat ini dia tidak tinggal bersama mereka. Penerusnya itu, masih mencari jati diri di tempat yang tentu keduanya, tidak mereka kenal. Dia tinggal jauh di balik bukit itu. Di balik bukit, yang jaraknya sampai puluhan kilo. Di tempat yang ramai, namun agak bising dan kotor. Ya, tempatnya adalah di perkotaan. Dia kuliah di pertanian, di sebuah universitas swasta.
Pagi itu memang tampak berbeda, sangat berbeda. Awan-awan di langit, telah mencari tempat hinggap, dan menghalangi sorot matahari di atas desa berbukit itu. Nampaknya musim hujan memang akan segera tiba. Itu artinya, para petani di desa itu akan segera mengayuh tenaganya siang malam, dengan tidak mengenal lelah. Mengucurkan keringatnya untuk sebuah harapan. Harapan agar musim yang datang itu, tidak terlewati begitu saja. Tentu dengan manfaat dan hasil yang maksimal.
Hidup dan bertani dengan hanya mengandalkan musim hujan, di mana musim hujan datangnya lebih singkat daripada musim panas, tentu sangatlah singkat bagi mereka untuk mengumpulkan sumber kehidupan. Salah sedikit, kelaparan akan menjadi akibat bagi mereka.
“Bli, mari kita sarapan. Ubi dan keladinya sudah matang,” ajakan Nenek Suti, kepada sang suami, yang mereka selalu lakukan.
Ubi dan keladi, adalah makanan pokok bagi mereka. Makanan yang menjadi penyambung di kehidupannya yang sudah semakin berumur. Makanan yang datangnya dari jerih payah mereka sendiri. Makanan yang merupakan kucuran keringatnya sendiri, dan kotoran tangannya sendiri. Menjadikan makanan itu sangat mereka nikmati, meskipun hanya berupa ubi dan keladi. Kesederhanaan itu mereka nikmati dengan penuh syukur, dalam kehidupan mereka yang sederhana pula.
Pagi menjelang siang, yang masih redup itu. Cangkul tua yang nampak rapuh, terus diayun oleh tangan yang tua dan keriput pula. Keringat yang mengucur, dengan sahutan angin sepoi-sepoi mengantarkan mereka ke alam bebas, namun keras untuk dilalui. Alam yang penuh duri. Alam dengan penuh sandiwara. Alam yang penuh dengan ketidak pastian. Alam yang semu. Alam yang menghukum jiwa manusia. Itulah alam kehidupan. Namun, alam semu dan ketidak pastian itu, bukanlah pantangan bagi mereka. Itu merupakan sebuah tantangan yang harus dilalui.
Kucuran keringat itu, terus membasahi kulit tua yang kering itu. Berpuluh-puluh ayunan. Beratus-ratus ayunan. Bahkan, beribu-ribu ayunan, telah mengantarkan lokasi tanah-tanah di sana menjadi lokasi yang gembur, hancur seperti dihunjam rudal-rudal besar di masa perang. Tanah itu dihancurkan oleh manusia tua, dengan cangkul tua yang bertuah. Cangkul tua warisan para tetua. Hingga kini tetap tak terduakan. Dari sudut ke sudut. Dari titik ke titik, tanah itu telah hancur. Hancur dan hancur, namun akan menjadi subur.
Tanah itu pun basah. Basah bukan oleh air hujan. Tapi basah oleh kucuran-kucuran air dari rongga-rongga bulu tua yang sudah semakin menyempit. Namun masih mampu mengalirkan air begitu deras, oleh tenaga yang dikeluarkan begitu keras. Dan sesekali tangan tua itu, melempar dan mencabut rumput-rumput liar, yang tidak berguna. Sesekali pula melempar krikil-krikil kecil pengganggu tempat itu. Itulah yang dilakukan dari dulu hingga kini.
Dan pendamping setianya, bukan hanya bisa sibuk berdiam diri, dan juga tidak hanya bersorak memberi semangat, bak suporter bola yang riuh. Sang kakek yang menunjukkan jati dirinya, sebagai pencangkul handal dengan otot-otot yang kekar, yang mulai lembek. Nenek Suti pun menunjukkan dirinya sebagai orang yang mempunyai kekuatan di kepalanya. Kuat, seperti kawat. Namun dia bukanlah robot. Atau mempunyai kekuatan gaib. Dia adalah sesosok wanita kuat, yang selalu bekerja menyusun keranjang dari masa kecilnya hingga kini.
Keranjang yang disusunnya lengkap berisikan kotoran-kotoran sapi, dan sisa makanan sapi. Tidak pernah jijik dan risih. Meski semua itu terlihat kotor. Itu adalah pupuk.
Pupuk-pupuk itu, ditabur ke seluruh sudut ladang. Pupuk-pupuk yang alami. Sangat alami. Pupuk yang dari alam. Pupuk-pupuk itu hanyalah sebuah sisa. Dan sisa yang mempunyai sebuah kegunaan tinggi. Pupuk-pupuk itu, tidak hanya terbuat dari kotoran dan sisa makanan sapi saja. Tetapi juga dari hasil pengomposan. Ya, pengomposan daun-daun dan rumput-rumput yang dikeringkan, dan telah diuraikan oleh bakteri. Namun, mereka tidak pernah tau akan hal itu, sebuah pengomposan. Mereka hanya mengetahui fungsinya, bukan namanya.
Pupuk-pupuk itulah yang membuat tanah kering dan miring di tempat itu menjadi subur. Tanah yang setiap saat dikucur dan ditabur pupuk organik. Tanah yang dipelihara dan terpelihara. Niscaya bak tanah kapur, menjadi tanah yang subur dan makmur.
Semua yang mereka kerjakan adalah pemberian alam. Alat yang mereka gunakan adalah dari alam dan begitu sederhana. Penyubur tanah yang mereka gunakan, juga sangat sederhana pula. Tidak seperti perkembangan petani di daerah maju. Alat penggembur yang modern. Pupuk-pupuk dari hasil penelitian. Namun, itulah mereka. Mereka yang punya cerita itu semua. Mereka yang menjalani itu semua. Mereka nikmati. Mereka rasakan.
Apakah karena mereka tidak punya pengalaman akan hal itu? Apakah karena mereka menganggap jaman itu tidak berubah? Ataukah, karena mereka takut keluar biaya banyak untuk membeli semua itu? Tentu tidak.
Hari-hari telah mereka lalui untuk mempersiapkan diri, menyambut kedatangan sang pemberi napas kehidupan di desa itu. Semua ladang-ladang sudah siap untuk memberikan tenaga kepada tumbuhan-tumbuhan yang akan ditanam oleh para petani. Semua ladang sudah siap akan memberikan para petani itu sumber kehidupan. Ladang itu paham atas keikhlasan para petani. Atas perlakuan yang diperuntukkan untuknya. Tidak pernah mengeluh di tanah tandus. Meski terkadang mereka pernah mengelus dada. Bukan karena mereka tidak tulus. Hanya saja karena jalannya belum mulus. Itulah kehidupan.
Malam itu terdengar gemuruh bersahutan riuh di langit. Gemuruh itu seperti memberikan sebuah pesan, bahwa semuanya akan segera datang. Walaupun terkadang suaranya menggelegar seperti akan memecah dunia, namun para pemohon di desa itu, menganggap itu sebuah rezeki, yang tidak mesti ditakuti.
“Luh, kau dengar suara-suara itu? Begitu keras dan bergema. Seolah-olah suara itu akan memecah genderang telinga kita, dan membuat kita tuli. Namun aku bahagia.” Senyum lusuh itu begitu lebar. Bukanya rasa takut yang ada. Namun, sebuah nada-nada yang bermelodi kebahagiaan yang bertebaran di gubuk tua itu.
Tidak lama kata-kata itu berlalu, dan sepertinya telah ditelan gelapnya malam. Suara gemercik air pun telah tiba. Air itu sedikit deras. Semakin deras. Dan sangat deras. Hujan pun telah menghunjam gelapnya malam di desa itu secara bertubi-tubi. Sorak sorai kegelapan malam itu pun terpecah, seperti ada perayaan pesta besar. Para tetua keluar. Anak kecil yang masih telanjang tiba-tiba terbangun, dan ikut berlari ke teras rumah. Pohon-pohon riuh bercakap ria dengan tetangga sebelahnya. Kodong-kodok itu, seolah dengan tiba-tibanya kembali muncul. Padahal, beberapa bulan lalu sama sekali tidak pernah terdengar. Semuanya gembira menyambut datangnya berkah itu. Ya, sebuah berkah yang sangat dinanti. Selalu dinanti. Tetap seperti itu. Tidak pernah berubah. Itulah jalan yang akan menghantarkan mereka untuk bisa melanjutkan hidup. Hidup dari bertani dengan sebuah musim.
Cangkul tua di depan rumah itu tersenyum begitu bahagia. Sangat bahagia. Padahal dia dikucuri hujan deras. Tidak berteduh. Dan tidak diteduhi dauh sehelai pun. Dia tetap tersenyum. Senyum dan senyum. Bahkan, mungkin dia sedang tertawa terbahak-bahak. Dia bahagia. Dia gembira. Padahal, jika hari-hari itu telah tiba, tentu pekerjaan besar sudah siap menantinya. Berbasah-basahan. Berlumpur-lumpuran. Berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, hal itu harus dilalui. Namun dia tetap tulus. Di masa tuanya yang rapuh, akan tetap setia kepada tuannya yang telah rapuh pula. Mereka adalah sahabat hidup yang tak bisa terpisahkan.
***
Pagi buta itu, mereka berjalan menyusuri ladang-ladang yang sedang bercakap ria. Semua ladang di sepanjang jalan itu terdengar berkata “Aku gembira. Aku bahagia. Aku sudah siap memberikan kalian kehidupan. Ya, aku telah siap! Kau tidak usah ragu. Ayok! Segera timbun benih-benih itu.”
Seluruh penghuni desa berbukit itu bergembira ria. Hawa bahagia tercium dari pelosok-pelosok sudut di tempat itu. Riang tidak terhingga. Seluruh kehidupan. Pepohonan, serangga, burung, hewan-hewan, semuanya nampak bersiul, memelodikan nyanyian syukur dengan penuh rasa bakti. Seluruh tanaman bertumbuh subur dan makmur.
Kakek Darti, nampaknya sedang sibuk dengan cangkul tua itu. Teman seperjuanganya itu lagi dielus-elus, dimanjanya dan dibersihkan. Kotoran-kotoran yang setia selama beberapa bulan, hari itu tidak akan dibiarkan menempelinya. Harus bersih! Meskipun kondisinya yang telah tua dan rapuh. Dengan segala perjuangan yang telah dilewati, tidaklah mungkin rasa syukur dan kebanggaan itu, akan terganti. Rasa sayang, rasa cintanya kepada cangkul tua itu, melebihi segalanya. Dialah teman seperjuanganya dari kecil. Mengayuh hidup berpanas-panasan di ladang. Ber hujan-hujan, ber angin-angin tidak menjadi penghalang atas perjuangan mereka sebagai petani.
Kebahagiaanya hari itu nampak bertumbuh kembali. Segala tamannya bertumbuh sangat subur. Dan, sebuah salam pun terdengar dari gerbang tuanya itu.
“Bapak dan Ibu, saya pulang.” Sebuah salam, dengan sebuah nada khas terdengar dari balik gerbang bambu, yang rapuh itu.
“Benar itu Wayan Ardana, yang datang?” Rasa tidak percaya, dan bangga yang berlebihan seolah-olah membawa Nenek Suti, menjadi terlupa dengan anaknya sendiri.
“Benar, Bu. Ini saya Wayan, anak Ibu.”
Hari itu pun, gubuk tua itu menjadi sangat lengkap dengan kebahagiaan. Sebuah cerita-cerita unik didengar oleh Kakek Darti dan Nenek Suti, yang berkumandang di gubuk tua itu. Ya, cerita unik. Cerita sebuah kisah hidup yang tidak pernah mereka jalani. Cerita sebuah hidup di perkotaan. Dengan sepintas cerita petani di pinggir kota, yang terkesan berbeda dengan yang mereka alami di desa itu. Terkesan sangat unik bagi mereka. Namun, juga terkesan sangat manja. Karena sebuah cerita mempekerjakan alat, untuk melalui cerita hidup di sana. Dan sepintas, Wayan Ardana juga mengarahkan pembicaraannya, untuk mengubah cara hidup petani untuk bertani. Termasuk mengubah Bapak Ibunya, di desa itu.
“Tidak, Yan. Bapak sudah nyaman dengan cara kita bertani di sini. Keringat yang Bapak dan Ibumu keluarkan, semuanya menambah rasa hasil-hasil yang dipetik.” Sanggahan itu ditujukan atas ajakan Wayan Ardana, untuk mengubah cara mereka bertani.
“Alat-alat itu, hanya akan mempermanja kita. Kita perlu banyak gerak, di hari tua saat ini. Karena otot-otot kita tidak boleh dimanja. Semua akan kaku jika tidak digerakkan, Yan.” Terdengar sebuah pembelaan, oleh Kakek Darti.
“Pak, Bapak percaya sama saya. Semua yang saya rencanakan ini, adalah hasil yang saya dapatkan di tempat saya kuliah. Pupuk-pupuk harus segera diganti. Alat-alat harus juga diganti dengan yang lebih modern.”
“Tidak, Yan! Bapak sudah nyaman dengan semua ini. Bapak sudah nyaman dengan cangkul tua itu, untuk bekerja. Pupuk-pupuk dari kotoran sapi itu sangat bagus untuk menyuburkan tanah. Jauh lebih bagus ketimbang pupuk buatan manusia. Lihatlah hasil ladang kita saat ini. Hari-hari kemarin. Bulan-bulan kemarin. Tahun-tahun kemarin. Selalu subur, dengan hasil yang makmur. Kamu bisa kuliah, juga semua karena itu.”
Perdebatan pun sedikit terjadi di gubuk itu. Mereka sama-sama bersikeras untuk bertahan atas pendapat-pendapat mereka.
“Tidak baik berdebat,” sahut Nenek Suti, menengahi perdebatan itu. “Seharusnya kebahagiaan kita rayakan dengan cerita yang suka cita.”
“Tidak, Bu. Semua sistem dan cara harus berubah. Kita tidak boleh selalu tertinggal begini.” Wayan Ardana bertahan.
“Yan, Wayan tidak boleh memaksakan kehendak seperti itu. Apa yang ada. Apa yang kita lakukan, sepanjang ini tidak berkhianat, meskipun dengan kesederhanaan, namun hasilnya sempurna.” Kakek Darti pun bertahan.
Hari semakin sepi, oleh kegelapan malam. Perdebatan pun, terdengar semakin sepi pula. Mereka telah menuju keperaduanya masing-masing, dengan tanpa ujung hasil dari pangkal perdebatannya tadi.
***
Hari ini matahari telah menapak lebih ke atas. Kakek Darti pun telah datang dari ladang untuk menengok tanaman-tanamanya di sana.
“Loh…kok cangkulnya tidak ada? Rasanya kemarin saya taruh di sini.” Menunjuk kawat tempat menggantungkan, sang pendampingnya dari kecil.
“Ada apa, Pak? Saya lihat Bapak kebingungan?” tanya Wayan Ardana, yang tiba-tiba muncul di sampingnya.
“Wayan lihat cangkul, Bapak?”
“Oh, cangkul yang tua itu? Sudah saya sedekahkan kepada pemulung, Pak. Kasihan gerobaknya tadi masih kosong. Dia tidak dapat memungut apa-apa.”
Seribu diam dan linangan air mata, memecahkan situasi pagi menjelang siang itu.