Pengalaman Dikejar Awan Panas Gunung Merapi
Awalnya, fotografer Kompas Lucky Pransiska menjalani penugasan ke Yogyakarta dengan rasa enggan. Hingga akhirnya ia mengalami peristiwa luar biasa yang membuka mata dan pikirannya tentang arti kemanusiaan dan kesabaran.
Pada 12 Juni 2006 saya berangkat ke Yogyakarta dengan penerbangan pagi. Editor foto Johnny TG menugaskan saya meliput kondisi terakhir pascagempa Yogyakarta. Sebelum menyanggupi, saya sempat bertanya-tanya dalam hati, masih perlukah saya berangkat?
Gempa berkekuatan magnitudo 5,9 itu sudah berlalu 17 hari. Gunung Merapi yang saat itu juga tengah bergejolak sudah diturunkan statusnya dari Awas ke Siaga.
”Apa istimewanya lagi?” kata saya dalam hati. Sudah habis bahan yang bisa saya potret. Namun, sebagai jurnalis ”kemarin sore” karena baru 1,5 tahun diangkat bekerja tidak ada istilah menolak selama masih bisa melakukannya.
Baca juga: Menjadi Saksi Tangisan Fan Brasil Saat Takluk 1-7 dari Jerman
Johnny TG yang melihat raut keraguan saya kemudian berkata pendek, ”Anggap saja kamu liburan, Ki.” Kebetulan saat itu, baru satu bulan saya menikah yang untuk itu saya hanya minta cuti satu minggu.
Keesokan harinya saya mulai liputan. Tidak ada agenda khusus, selain menjalankan tour of duty, menyusuri lokasi gempa dan pengungsian yang masih tersisa.
Saya memilih pergi ke Kabupaten Bantul, lokasi paling terdampak gempa dengan jumlah korban lebih dari 16.000 jiwa dan 4.121 orang di antaranya meninggal. Saya pun tiba di depan sebuah rumah yang setengah bangunannya ambruk.
Seseorang tengah mengais barang-barang yang tersisa di balik puing-puing atap rumah tersebut. Saya memutuskan singgah dengan harapan dapat menggali informasi lebih banyak.
Namun, kenyataan tak seindah ending film action Hollywood. Saya masih ingat betul, pemilik rumah dengan ketus bergumam dalam bahasa Jawa saat melihat saya mengeluarkan kamera dari dalam tas. Arti gumamannya lebih kurang: untuk apa lagi difoto, datang bukannya kasih bantuan, malah cuma motret-motret.
Meski lahir dan besar di tanah Sunda, saya cukup paham bahasa Jawa sepanjang bukan kromo inggil. Maklum, bahasa Jawa sudah seperti bahasa percakapan sehari-hari di kantor sehingga lama-kelamaan akrab di telinga saya.
Baca juga: Menembus Hutan, Mengendus Jejak Konflik Satwa
Penolakan di hari pertama bekerja sungguh bukan awal yang baik, tetapi bukan juga masalah besar. Saya belajar arti kata empati. Saya bergeser ke lokasi lain dan melakukan pendekatan berbeda hingga akhirnya tiba di tenda pengungsian yang mulai sepi ditinggalkan penghuninya. Saya melihat deretan gambar anak-anak yang ditempelkan di dinding tenda, lengkap dengan daftar nama dan cita-cita mereka.
Secara umum, perjalanan hari itu tidak membuahkan hasil memuaskan. Saya belum berhasil mendapat foto yang layak untuk halaman muka harian Kompas. Saya menganggapnya sebagai proses adaptasi dan pengenalan medan liputan.
Rencana berubah
Hari ketiga liputan, saya putuskan pergi ke sentra perak Kotagede untuk melihat apakah kegiatan ekonomi di sana sudah dimulai kembali. Saya menyusuri Jalan Kemasan. Banyak sekali bangunan toko yang hancur dan hanya menyisakan plang nama di depannya.
Jalan itu sulit dilalui karena menyempit oleh tumpukan puing yang menggunung di sisi kiri dan kanan jalan. Lalu lalang kendaraan menyebabkan debu beterbangan.
Muncul ide di kepala. Saya berimajinasi bisa mendapatkan foto yang dramatis. Hanya saja, saya perlu sabar menunggu ada orang muncul dari balik debu pekat.
Baca juga: Ketika Gas Air Mata Mengganas
Tidak butuh waktu lama, beberapa frame foto sudah saya peroleh. Hari masih pagi sehingga banyak warga melintas untuk menjalankan aktivitasnya. Saya kemudian mencari toko perak yang sudah buka.
Saya membuka obrolan dengan menyapa dan menanyakan kondisi pemilik toko. Kedatangan saya disambut terbuka sehingga dengan lancar saya diberi izin memotret. Alhamdulillah, pagi-pagi sudah ada foto yang bisa saya kirim.
Tour of duty di Kotagede pun tuntas. Namun, hari itu masih menyisakan satu misi, yakni pergi ke Pusat Rehabilitasi Yakkum di Kaliurang. Saya sebenarnya tidak tahu persis, apakah ada korban gempa yang tengah menjalani rehabilitasi di sana.
Saya memutuskan tetap ke sana. Setidaknya, saya bisa membuat photostory tentang kegiatan rehabilitasi yang saya bayangkan akan menarik dari sisi cerita dan visualnya.
Setelah satu jam perjalanan, saya tiba di lokasi dan dengan mudah mendapatkan izin untuk mendokumentasikan kegiatan rehabilitasi. Saya berjumpa dengan Sawiyatin (55), warga Desa Munggur, Kecamatan Srimartani, Piyungan, Kabupaten Bantul. Sawiyatin mengalami patah tulang kaki akibat tertimpa reruntuhan bangunan saat gempa 27 Mei 2006 terjadi.
Baca juga: Menembus Jantung Pertempuran Paramedis Versus Covid-19
Setelah bahan photostory lengkap, saya memutuskan kembali ke Kantor Biro Yogyakarta. Sebelumnya, saya membeli air minum di warung seberang jalan. Belum selesai minum, telepon berdering. Panggilan dari Wawan H Prabowo, jurnalis foto yang bertugas di Yogyakarta. Rupanya ia melihat saya menyeberang jalan saat hendak membeli minum.
Wawan sedang bersama wartawan Kompas, Budi Suwarna. Keduanya dalam perjalanan menuju Gunung Merapi setelah mendapat kabar terjadi peningkatan aktivitas vulkanik gunung tersebut. Setelah menitipkan sepeda motor di Yakkum, saya berangkat bersama keduanya.
Serba cepat
Sekitar pukul 15.00, kami tiba di lereng Gunung Merapi. Petugas vulkanologi yang tengah mengambil sampel material vulkanik menjadi obyek jepretan saya. Namun, belum juga 20 menit, saya diminta segera meninggalkan lokasi dan kembali ke mobil.
Suara alat komunikasi radio milik Bambang Sugeng, anggota komunitas lereng Merapi yang berada di situ, berbunyi kian kencang. Tanda erupsi kian meningkat dan semakin dekat.
Lima menit kemudian saya melihat gumpalan awan panas muncul dari celah tebing. Dalam hitungan detik, gumpalan itu kian membesar dan meninggi. Saya terkejut bukan main. Tanpa pikir panjang saya berlari menuju mobil bersama Wawan Prabowo dan Budi Suwarna. Mobil kami pun melaju kencang bersama kendaraan sukarelawan.
Baca juga: Rahasia Menemukan Orang-orang Istimewa
Saya menengok ke kaca belakang. Terlihat gulungan awan panas bergerak sangat cepat. Spontan saya melompat ke kursi belakang dan membuka jendela. Di tengah guncangan akibat mobil melaju cepat di jalan berkelok, saya berusaha mengabadikan peristiwa yang baru pertama kali itu saya lihat.
Awan panas terlihat menyapu semua yang dilewati, termasuk lokasi wisata Kaliadem yang barusan kami datangi. Pohon, gapura, dan semua bangunan lenyap dari pandangan, tersapu luncuran awan panas.
Beberapa kilometer kemudian, terlihat sukarelawan menyiapkan truk dan mobil untuk mengevakuasi warga. Saya memutuskan turun dari mobil dan beralih menaiki truk berisi warga untuk menuju lokasi aman. Sebagian besar mereka adalah para lanjut usia, perempuan, dan anak-anak dengan raut wajah yang tegang. Salah seorang anak tampak menangis ketakutan.
Tiba di lokasi evakuasi, saya turun lalu pelan-pelan mulai merekam ekspresi warga yang masih terlihat shock. Saya cukup lama di sana. Budi Suwarna dan Wawan Prabowo kemudian kembali ke kantor untuk menyusun laporan. Saya diminta tetap di lokasi untuk berjaga.
Sambil menunggu kabar, saya terpikir untuk mengirimkan foto-foto yang sudah berhasil saya peroleh hari itu. Namun, sinyal modem yang jelek menyulitkan proses pengiriman gambar.
Tak lama, Bambang Sugeng menghampiri, mengabarkan kondisi lokasi wisata Kaliadem yang telah kondusif. Ia menawari saya untuk kembali ke sana. Kami kemudian berangkat naik sepeda motor.
Baca juga: Dokter Cantik Obatnya
Setiba di lokasi, saya terkejut melihat tempat saya berdiri belum lama tadi sudah berubah total. Lokasi wisata Kaliadem menjadi lautan abu. Jalanan tak tampak lagi karena tertutup material vulkanik. Pohon-pohon tumbang dan batu berserakan.
Sepatu saya amblas saat berusaha berjalan mendekati kandang ayam yang tersapu awan panas. Terlihat bara yang masih menyala di salah satu atap rumah warga.
Dari jauh terdengar teriakan-teriakan yang menanyakan apakah ada orang di sekitar situ atau tidak. Apa yang saya lihat saya abadikan dengan kamera hingga gelap menjelang. Kami kemudian kembali ke tempat evakuasi.
Saya lanjut ke Kantor Kompas Biro Yogyakarta untuk mengirim foto-foto yang saya dapat. Setiba di kantor, Budi Suwarna mengabarkan, ada halaman khusus peristiwa Merapi dalam edisi koran besok yang membuat saya bersemangat.
Seusai mengirim foto-foto dan tulisan, kami keluar makan malam sambil membahas peristiwa yang terjadi hari itu serta rencana liputan berikutnya. Obrolan belum selesai hingga kami selesai makan dan kembali ke kantor.
Di tengah perjalanan, telepon Budi Suwarna berdering yang mengabarkan dua sukarelawan tertimbun di bunker. Kami segera putar haluan, tidak jadi kembali ke kantor, tetapi langsung menuju Kaliurang.
Setibanya di sana, kami menanti perkembangan sambil berbincang dengan Bambang Sugeng di sebuah warung. Kabarnya, akan dilakukan proses evakuasi malam itu juga, tetapi kemudian batal. Kami memutuskan kembali ke kantor.
Pukul 01.00, Budi Suwarna kembali mendapat kabar. Sukarelawan sudah berkumpul untuk mengevakuasi kedua korban di bunker. Kami pun tergopoh-gopoh kembali ke lokasi.
Di sana kami mendapat pengarahan singkat. Kami diarahkan ikut naik mobil pick up bersama tujuh sukarelawan. Sebelum mobil bergerak, seorang sukarelawan mengecek kesiapan, termasuk memeriksa alas kaki. Sayangnya, Budi Suwarna dan Wawan Prabowo mengenakan sendal sehingga tidak diperkenankan ikut. Akhirnya, saya sendiri berangkat bersama tujuh sukarelawan.
Turun dari mobil, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju lokasi bunker. Seorang sukarelawan menaruh lampu minyak di setiap beberapa meter yang kami lalui. Selain sebagai penerang jalan juga untuk penunjuk arah.
Tiba di bunker, sukarelawan langsung menggali material yang menutupi pintu bunker dengan cangkul dan sarung. Langit dini hari itu terlihat sangat cerah. Puncak Merapi terlihat jelas dengan latar belakang langit berbintang. Saya berpindah-pindah tempat untuk mengambil gambar dari berbagai sudut.
Selain untuk mencari variasi gambar, saya tidak tahan berdiri terlalu lama di satu titik karena kaki terasa panas saat menginjak material abu vulkanik. Terkadang saya berdiri di atas batu untuk menghindari rasa panas yang menyengat.
Saya memasang setelan ISO 1250 agar hasil foto tidak grainy. Itu adalah setelan maksimal kamera Canon EOS 1D Mark II N yang saya gunakan saat itu. Dengan lensa 16-35 mm, diafragma saya setel di angka 2,8. Kecepatan kamera saya atur tiga detik, sesekali enam detik.
Selama mengambil gambar, saya berusaha menahan napas agar hasil foto tidak goyang. Saya memutuskan tidak membawa tripod agar bawaan seringan mungkin. Saya khawatir beban yang terlalu berat akan menyulitkan pergerakan di tengah kondisi yang sulit diprediksi.
Apa yang saya khawatirkan kemudian terjadi. Kira-kira 1,5 jam kemudian, terdengar teriakan seorang sukarelawan,”Wedhus gembel, wedhus gembel!”
Wedhus gembel adalah sebutan orang setempat untuk awan panas karena bentuknya yang seperti bulu domba (wedhus gembel).
Sontak semua berlari meninggalkan lokasi mengikuti petunjuk arah lampu minyak. Posisi saya paling jauh sehingga saya paling akhir berlari. Kondisi diperparah dengan debu yang beterbangan sehingga menyebabkan saya kesulitan melihat. Semakin parah karena sebagian lampu minyak ternyata mati.
Namun, akhirnya berhasil juga saya sampai ke mobil. Kami lalu kembali ke posko. Saya menceritakan semua pengalaman kepada Budi Suwarna dan Wawan Prabowo. Evakuasi tidak mungkin dilanjutkan saat itu. Mustahil mengeruk material vulkanik yang masih panas dengan modal cangkul dan sarung.
Saya melihat sarung yang digunakan untuk mewadahi batu bolong seketika terbakar. Akhirnya, kami memutuskan beristirahat dan kembali ke lokasi siang hari. Karena keesokan harinya tanggal merah dan Kompas tidak terbit, saya tidak terlalu tergesa untuk mengirim foto.
Saya beristirahat tiga jam sebelum balik ke lokasi untuk melihat proses evakuasi. Saya berangkat bersama Budi Suwarna. Wawan Prabowo sudah lebih dulu di lokasi. Saya tiba pukul 08.30.
Saat itu, lokasi sudah ramai oleh petugas kepolisian, tim SAR, dan sukarelawan. Akses menuju bunker ditutup. Saya tidak diizinkan mendekat. Meski demikian, hingga petang belum ada tanda-tanda tim SAR berhasil mengevakuasi korban.
Keesokan harinya, saya mendapat kabar tim SAR sudah berhasil mengeluarkan jenazah korban dari bungker. Saya lalu menuju Rumah Sakit Sardjito tempat jenazah akan diotopsi.
Di sana, keluarga korban Sudarwanto dan Warjono telah menunggu. Tangis pecah saat jenazah tiba. Melihat perkembangan suasana, saya hanya mengambil beberapa foto.
Saat erupsi Merapi 2006 terjadi, tidak banyak media yang meliput. Tensi Merapi yang sempat menurun membuatnya ”kurang menarik” di mata para pewarta foto. Apalagi saat itu, tersiar kabar akan ada penangkapan Abu Bakar Ba’asyir di Solo, Jawa Tengah, sehingga banyak media bergeser ke sana.
Jika saya renungkan kembali peristiwa itu, saya menyadari bahwa tidak ada yang serba kebetulan, tetapi sudah direncanakan Tuhan. Menjalankan tugas yang awalnya kurang diinginkan, tetapi ternyata menghasilkan pengalaman luar biasa, mengajarkan saya arti kesabaran.