Bukan berdamai, melainkan lebih keras mencegah penularan Covid-19. Bukan berdamai, melainkan bersiap menghadapi resesi ekonomi melalui mitigasi.
Oleh
Enny Sri Hartati, Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance
·5 menit baca
Bertarung melawan pandemi Covid-19 tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan logistik, tetapi juga strategi yang tepat. Hal yang tak kalah penting adalah konsolidasi dan keterpaduan seluruh kekuatan untuk fokus ”Bersama Melawan Korona” dan tidak sekadar menjadi slogan. Bak lari maraton, sumber daya tidak hanya dikerahkan pada awal start, tetapi harus memiliki strategi mengatur napas agar stamina mampu mencapai titik finis. Apalagi jika stamina dan amunisi yang dimiliki serba terbatas, dibutuhkan manajemen dan skala prioritas yang tepat agar mampu bertahan sekaligus menyiapkan langkah pemulihan. Pasalnya, sepanjang antivirus belum ditemukan, Covid-19 tetap menjadi ancaman dan sumber ketidakpastian.
Dampak ekonomi pandemi Covid-19 memang sangat berat dan dalam, melebihi krisis ekonomi 1997/1998. Pandemi menghantam semua sektor sisi produksi sekaligus menghilangkan sumber pendapatan sisi konsumsi. Berdasarkan data Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), rasio okupansi atau tingkat hunian sektor perhotelan anjlok, menjadi tinggal sekitar 10 persen, dan lebih dari 2.000 hotel terpaksa tutup.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mencatat produksi sektor manufaktur turun sekitar 50 persen. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) memprediksi penjualan mobil anjlok dari 1,1 juta unit pada 2019 menjadi sekitar 400.000 unit pada 2020. Gabungan Industri Elektronika dan Alat-alat Listrik Rumah Tangga (Gabel) melaporkan penurunan produksi 50-60 persen. Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) memperkirakan penurunan 40-50 persen. Adapun di sektor ritel, Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) menyatakan, hanya 50 persen penyewa mal yang bisa buka kembali setelah tutup lebih dari tiga bulan. Padahal, selama pembatasan sosial berskala besar (PSBB), 96 persen mal tutup. Apalagi sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta sektor informal yang pada masa krisis ekonomi 1998 menjadi penopang ekonomi justru kini menjadi segmen yang paling berat terkena dampak pandemi.
Kendati PSBB telah dilonggarkan, seluruh aktivitas tetap harus mematuhi protokol Covid-19. Artinya, seluruh kegiatan ekonomi belum dapat kembali seperti kondisi normal. Oleh karena itu, seluruh pengusaha harus bersiap memasuki normal baru. Bukan berdamai dengan Covid-19, melainkan justru harus semakin agresif melawan Covid-19. Hal yang utama, harus mampu melakukan berbagai perubahan dan adaptasi agar menang melawan Covid-19. Selama normal baru, pasti roda ekonomi belum sepenuhnya pulih. Seluruh kegiatan ekonomi, baik industri, perdagangan, transportasi, jasa-jasa, maupun yang lainnya, tetap harus melakukan pembatasan. Konsekuensinya, beban biaya operasional meningkat. Artinya, para pekerja yang dirumahkan, apalagi yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), tidak serta-merta segera kembali mendapatkan pekerjaan.
Dengan demikian, ledakan angka pengangguran dan kemiskinan tidak mungkin bisa dielakkan. Padahal, sebelum pandemi Covid-19, sudah ada pengangguran terbuka 6,88 juta orang per Februari 2020 dan jumlah penduduk miskin sekitar 24,79 juta orang per September 2019. Jika kapasitas usaha berbagai sektor tersebut rata-rata turun 50 persen, angka pengangguran dan kemiskinan juga berisiko melonjak dua kali lipat. Hasil simulasi berbagai lembaga juga menunjukkan hal serupa. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 2020 minus 0,4 persen, angka pengangguran dapat bertambah sekitar 6 juta orang. Jika pertumbuhan ekonomi minus lebih dari 1 persen, diperkirakan pengangguran bisa mencapai lebih dari 10 juta orang.
Data sampai dengan awal Juni 2020, beberapa asosiasi telah melaporkan jumlah pekerja yang terpaksa kena PHK. Pekerja yang kena PHK, antara lain, industri tekstil (2,1 juta orang), transportasi darat (1,4 juta orang), restoran (1 juta orang), sepatu dan alas kaki (500.000 orang), perhotelan (430.000 orang), ritel (400.000 orang), serta farmasi (200.000 orang). Sebagai catatan, tambahan angka pengangguran itu baru dari sektor formal. Sementara, risiko kehilangan pekerjaan pada sektor informal justru lebih besar. Apalagi, pada Februari 2020, penduduk yang bekerja pada sektor informal mencapai 74,04 juta orang (56,5 persen).
Kemampuan adaptasi
Dengan potensi kontraksi ekonomi yang besar dan ledakan angka pengangguran tersebut, harus ada kesiapan menghadapi badai resesi. Bukan berdamai dengan resesi, melainkan meningkatkan kemampuan mitigasinya. Ada sejumlah perilaku adaptif yang dibutuhkan.
Pertama, upaya memutus penyebaran Covid-19 semakin agresif, terutama memperluas tes massal, memastikan kurva penyebaran Covid-19 segera melandai di seluruh wilayah. Kedua, berbagi beban, memadukan kehadiran pemerintah dan peran pelaku usaha agar mampu berbagi dan saling mengurangi beban. Pemerintah tidak hanya mengimbau tidak boleh ada PHK, tetapi seluruh beban dilimpahkan kepada masyarakat. Setidaknya, peningkatan beban biaya dunia usaha mampu dikurangi dengan berbagai program relaksasi. Ketiga, efektivitas program perlindungan sosial memitigasi dampak Covid-19. Penyaluran bantuan sosial secara cepat dan tepat sasaran harus efektif sebagai jaring pengaman sosial.
Keempat, kreativitas memanfaatkan peluang. Covid-19 memberi momentum yang tepat untuk menata ulang perekonomian. Transformasi ekonomi akan efektif mendorong percepatan pemulihan ekonomi. Tentu bukan sekadar jargon industri 4.0, apalagi hanya mengandalkan Rancangan Undang-Undang omnibus law Cipta Kerja. Berbagai industri substitusi impor dapat mengurangi ketergantungan terhadap impor produk tekstil, farmasi, elektronika, termasuk impor berbagai komoditas pangan. Ada kesempatan menangkap perpindahan berbagai industri dari China, tetapi membutuhkan kecepatan perubahan yang konkret, antara lain dalam kepastian perizinan investasi. Perizinan investasi mesti benar-benar terintegrasi sehingga proses perizinan sederhana. Namun, bukan berarti mengabaikan standar baku persyaratan investasi yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Kelima, stimulus ekonomi yang efektif menopang selama Covid-19 dan memulihkan perekonomian pasca-Covid-19. Anggaran stimulus yang didesain melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) terus membengkak. Ironisnya, kurang dari dua bulan, setidaknya nilai anggaran berubah empat kali. Semula program PEN sebesar Rp 330,1 triliun, naik menjadi Rp 566,17 triliun, naik lagi menjadi Rp 589,65 triliun. Terakhir, program PEN meningkat Rp 18 triliun menjadi Rp 607,65 triliun. Sayangnya, hampir seluruh pelaku usaha masih menunggu realisasi konkret dari program tersebut. Setidaknya kehadirannya mampu mengurangi beban sektor riil sehingga mampu bertahan di tengah pandemi. Kenyataannya, data Kementerian Keuangan menunjukkan serapan anggaran stimulus UMKM baru 0,06 persen dari total Rp 123,4 triliun.