Masyarakat sangat berharap pilkada segera kembali ke ”khitahnya” sebagai kontestasi yang menghasilkan tokoh-tokoh yang memuliakan kepentingan rakyat. Bukan berhala yang memproduksi petaka.
Oleh
J Kristiadi
·4 menit baca
Hampir dapat dipastikan pilkada serentak 2020 diselenggarakan bulan Desember, di tengah amukan pandemi Covid-19 yang belum dapat dipastikan kapan bisa dijinakkan. Bahkan, saat ini penularan Covid-19 meluas dan kasus membesar (Kompas, 22/6/2020). Tugas Komisi Pemilihan Umum di daerah akan bertambah banyak dan rumit karena harus menyesuaikan tahapan dengan protokol kesehatan Covid-19 agar tidak menambah jumlah orang yang terpapar penyakit yang disebabkan virus korona jenis baru ini.
Kerja berat penyelenggara pilkada pantas diapresiasi. Namun, sayangnya, menjelang Pilkada 2020, wacana publik lebih didominasi diskursus tentang perangkat upacara penyelenggaraan, aturan main, dan teknis-prosedural. Isu-isu krusial, seperti merajalelanya politik uang, menguatnya politik dinasti, dan politisasi birokrasi, cenderung tersisih. Isu politisasi bantuan sosial, reformasi parpol, desentralisasi dan pilkada asimetrik, pemilu konkuren, subsidi dana parpol, dan sejenisnya selalu terpinggirkan menjelang pemilu atau pilkada.
Maka, meskipun telah dilakukan ribuan kali, karena tidak disertai roh dan gagasan besar sebagai acuan penyempurnaan regulasi, pilkada sulit menghasilkan kepemimpinan lokal yang ideal. Bahkan, ratusan kepala daerah dan wakil kepala daerah harus menghuni penjara. Tampaknya terdapat tanda-tanda jumlah yang bernasib sama semakin berganda. Membiarkan pilkada menjadi sekadar upacara ritual tuna-nilai-nilai mulia akan memproduksi perilaku durjana dan malapetaka; lama-kelamaan bencana itu dianggap normal.
Pilkada dapat menjelma menjadi berhala.
Akibatnya, proses pembusukan politik nyaris melumpuhkan sendi-sendi pemerintahan. Situasi semakin memprihatinkan karena merebaknya ideologi konservatisme eksklusif yang menggerus kemampuan institusi-institusi pelayan publik melaksanakan fungsinya. Pilkada dapat menjelma menjadi berhala.
Padahal, tujuan utama mengubah sistem pilkada oleh DPRD menjadi pilkada langsung adalah, pertama, menghasilkan pemimpin daerah yang kompeten, baik dari segi kepemimpinan, pengetahuan, maupun integritas dalam melayani rakyat. Kedua, mempertajam kepekaan empati kepala daerah terhadap kehendak, harapan, serta keprihatinan rakyat. Ketiga, aktualisasi representasi kepentingan lokal sehingga kebijakan di daerah lebih berpihak pada interes spesifik rakyat. Keempat, meningkatkan daya saing kemandirian daerah sesuai keunggulan dan kearifan wilayah.
Namun, masa depan pilkada bukan tanpa harapan. Pembenahan pilkada dengan menyempurnakan regulasi mendapatkan momentum dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUUXVII/2019. Dalam pertimbangan hukum, paragraf [3.16], halaman 323-324, MK menetapkan enam opsi pemilu. Banyak kalangan berpendapat, alternatif keempat pantas dielaborasi lebih lanjut karena sejalan dengan diskursus publik yang pernah dikumandangkan beberapa tahun sebelumnya tentang penguatan sistem presidensial dengan skema pemilu konkuren. Opsi tersebut berbunyi: ”Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden-wakil presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, pemilihan gubernur, dan bupati/wali kota”.
Apabila penjabaran regulasi Pemilu 2024 taat asas dengan keputusan MK, Pemilu 2024 dapat membentuk pemerintahan presidensial yang efektif karena didukung partai pendukung di lembaga perwakilan.
Salah satu agenda penting adalah mengatur lebih detail penyelenggaraan pemilu. Salah satu alternatifnya, misalnya, terlebih dahulu diselenggarakan pemilu nasional. Tahun kedua, pilkada lokal memilih wakil rakyat di lembaga perwakilan daerah dan kepala daerah diselenggarakan berdasarkan pengelompokan wilayah kepulauan tertentu. Misalnya, tahun kedua khusus Pulau Sumatera. Tahun ketiga, Pulau Jawa; tahun keempat Bali dan Kalimantan. Sementara tahun kelima wilayah lainnya. Dengan skema ini diharapkan setiap tahun parpol akan selalu bekerja agar mendapatkan dukungan pemilih; selain itu pemerintah dan parpol dapat dievaluasi secara teratur setiap tahun oleh pemilih.
Dalam perbincangan di Webinar CSIS, Senin (8/6/2020), tampil tokoh-tokoh muda lintas parpol yang menyuarakan berbagai ide tentang penyempurnaan regulasi kontestasi politik agar sesuai dengan cita-cita konstitusi. Antara lain, mengemuka gagasan melakukan harmonisasi dan kohesi berbagai regulasi yang mengatur kekuasaan negara dan pemerintahan dalam satu kluster sehingga lebih komprehensif, sekaligus menghindari tumpang tindih. Berbagai regulasi itu, misalnya, Undang-Undang (UU) Pemilu dan Pilkada; UU Parpol; serta UU MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3); dan UU yang berkaitan dengan produk politik, yaitu UU Pemerintah Daerah, UU Pemerintah Desa, UU DPRD, serta UU Hubungan Pusat dan Daerah.
Berbagai percikan pemikiran kontemplatif itu perlu diperluas jangkauannya. Dengan demikian, bisa jadi debat publik yang bermutu, dan kemudian disusun menjadi naskah akademik sebagai pedoman memformulasikan regulasi tentang Pemilu 2024 yang sekarang sudah mulai dibahas di DPR.
Oleh karena itu, diperlukan tim yang terdiri atas berbagai kalangan, seperti akademisi, peneliti, pemerhati, birokrasi, serta tokoh-tokoh masyarakat, untuk merajut pemikiran yang tersebar dalam masyarakat. Pada titik ini Menteri Dalam Negeri harus menjadi penjuru dan penggerak yang memobilisasi kementerian lain dan melibatkan publik agar terlibat aktif dalam menggalang ide, gagasan, dan pemikiran itu.
Masyarakat sangat berharap pilkada segera kembali ke ”khitahnya” sebagai kontestasi yang menghasilkan tokoh-tokoh yang memuliakan kepentingan rakyat. Bukan berhala yang memproduksi petaka.