DPR mulai mengkompilasi masukan fraksi-fraksi dan publik untuk menyusun RUU Pemilu. Pandangan sembilan fraksi akan dielaborasi dengan masukan publik. Karena RUU Pemilu salah satu RUU stategis dalam sistem politik.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dewan Perwakilan Rakyat mulai mengkompilasi masukan fraksi-fraksi dan publik dalam penyusunan draf resmi Rancangan Undang-undang Pemilu. Pandangan dari sembilan fraksi akan dielaborasi dengan masukan dari publik dalam pembahasan yang dilakukan oleh panitia kerja penyusunan draf di Komisi II DPR.
Untuk memperkaya perspektif di dalam penyusunan draf RUU Pemilu, pakar dan publik akan dimintai pendapatnya di DPR. Dari informasi yang dihimpun Kompas, menurut rencana, ada empat pakar dan pegiat pemilu yang dijadwalkan untuk menyampaikan pendapatnya pertama kali di depan panja penyusunan draf RUU Pemilu, Selasa (30/6/2020) depan, di Jakarta.
Mereka adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Topo Santoso, peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Kacung Marijan, dan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia, yang dihubungi Sabtu (27/6/2020) , mengatakan, dalam penyusunan RUU Pemilu, Komisi II DPR membentuk Panja Penyusunan Draf RUU. Panja itu sifatnya internal di Komisi II, dan bertugas untuk mengkompilasi dan menyerap aspirasi dari fraksi-fraksi dan publik. Awal Juni lalu, pimpinan Komisi II DPR telah menerima pendapat fraksi-fraksi melalui pandangan minifraksi yang disampaikan secara tertulis. Selanjutnya, panja mengompilasikan pandangan dari fraksi-fraksi, dan mengelaborasikannya dengan masukan yang berkembang dari publik.
“Kami juga menyepakati panja agar menyerap aspirasi dari masyarakat. Oleh karena itu, kami akan membuat semacam public hearing atau rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan mengundang pakar-pakar dan kelompok masyarakat sipil, sehingga mereka dapat memberikan masukan terhadap draf RUU. Walau ini inisiatif dari Komisi II DPR, kami berharap hal ini bisa mendorong pembahasan RUU yang lebih ideal”
“Kami juga menyepakati panja agar menyerap aspirasi dari masyarakat. Oleh karena itu, kami akan membuat semacam public hearing atau rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan mengundang pakar-pakar dan kelompok masyarakat sipil, sehingga mereka dapat memberikan masukan terhadap draf RUU. Walau ini inisiatif dari Komisi II DPR, kami berharap hal ini bisa mendorong pembahasan RUU yang lebih ideal,” katanya.
Komisi II menargetkan draf RUU Pemilu itu dapat selesai pada masa sidang ini. Di akhir masa sidang, draf diharapkan sudah bisa dibawa ke Badan Legislasi untuk diharmonisasi dan disinkronisasi. Setelah dari Baleg, draf dikembalikan ke Komisi II DPR untuk diajukan kepada pimpinan DPR agar dapat diagendakan pembahasannya dalam rapat badan musyawarah (Bamus). Rapat Bamus kemudian mengagendakan draf RUU tersebut untuk disetujui sebagai draf RUU Pemilu sebagai RUU inisiatif DPR di dalam rapat paripurna.
Titi mengatakan, masukan banyak pihak dalam penyusunan RUU Pemilu itu merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan, karena RUU Pemilu merupakan salah satu RUU strategis dan berkaitan dengan keseluruhan elemen dalam sistem politik nasional, mulai dari sistem pemilu, sistem kepartaian, sistem perwakilan, dan sistem pemerintahan. Upaya untuk mendengarkan pendapat para ahli dan pakar, serta elemen masyarakat sipil yang dilakukan DPR pun dipandang sebagai langkah tepat.
“RUU Pemilu ini terkait dengan proses demokratisasi di Indonesia. Yang menanggung akibatnya nanti bukan hanya publik, tetapi juga peserta pemilu, yang tidak lain adalah partai politik. Kalau RUU Pemilu ini dipaksakan tertutup dan hanya dibahas eliteis, serta minim simulasi, dan tidak melibatkan pemangku kepentingan, bisa dipastikan implementasinya di lapangan pada saat penyelenggaraan pemilu juga pasti banyak masalah,” ujar Titi menambahkan.
Kalangan masyarakat sipil berharap agar draf RUU Pemilu tersebut merujuk pada hasil evaluasi Pemilu 2019, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 55/PUU-XVII/2019, dan dinamika ketatanegaraan Indonesia.
“Draf juga diharapkan mengatur secara tegas tentang pilihan-pilihan kita pada variable sistem atau manajemen teknsi kepemiluan, sehingga pilihan-pilihan itu berkontribusi pada efektivitas sistem presidensial. Selain itu, proprosionalitas pemilu, inklusivitas pemilu terutam abagi kelompok marjinal, kemudahan sistem, serta desain kelembagaan penyelenggara pemilu yang lebih harmonis, adalah juga titik perhatian masyarakat sipil,” kata Titi.
Selama ini, lanjut Titi, RUU Pemilu kerap diasosiasikan dengan kepentingan parpol saja. Akibatnya orientasi penyusunan RUU Pemilu itu hanya untuk kepentingan partisan partai-partai. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan kepastian kompetisi yang jujur dan adil, demokratis, dan proteksi pada inklusivitas pemilu, utamanya bagi kelompok marjinal, sulit untuk diwujudkan.
Isu krusial
Sementara Wakil Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay berharap pandangan dari fraksi betul-betul diperhatikan dalam penyusunan draf. PAN, misalnya, keberatan dengan usulan kenaikan ambang batas parlemen menjadi 7 persen. PAN menginginkan angka ambang batas parlemen dipertahankan, yakni 4 persen. “Kalau ditetapkan 7 persen, ada sekitar 15,4 juta suara rakyat yang hilang,” ujarnya.
“Berdasarkan hasil kesepakatan rapat perdana panja, 24 Juni 2020, masa sidang keempat ini akan lebih difokuskan pada penyerapan aspirasi publik, karena banyak masyarakat yang ingin menyampaikan masukan”
PAN juga mendorong agar sistem pemilu proporsional terbuka dipertahankan. Sistem itu memberi kesempatan kepada publik untuk memilih langsung wakil-wakilnya yang akan duduk di parlemen. Demikian halnya untuk besaran kursi per dapil, PAN mendorong agar dipertahakan jumlahnya, yakni 3-10 orang per dapil.
Terkait pembahasan RUU Pemilu, Wakil Ketua Komisi II DPR Arwani Thomafi mengatakan, pendapat fraksi-fraksi yang dituangkan di dalam pendapat minifraksi pasti menjadi perhatian panja. Perbedaan pendapat terkait dengan isu-isu krusial, seperti ambang batas parlemen (parliamentary threshold), ambang batas dukungan pencalonan presiden (presidential threshold), besaran kursi setiap daerah pemilihan (dapil), maupun sistem pemilu, akan dirumuskan dalam draf. Selain itu, masukan dari publik juga akan diserap.
“Berdasarkan hasil kesepakatan rapat perdana panja, 24 Juni 2020, masa sidang keempat ini akan lebih difokuskan pada penyerapan aspirasi publik, karena banyak masyarakat yang ingin menyampaikan masukan,” kata Saleh menjelaskan.