Langkah pemerintah mengambil kebijakan membuka tatanan normal baru sebagai jalan tengah untuk mengatasi dua masalah yang berbenturan, yaitu pandemi Covid-19 dan kondisi ekonomi yang memburuk, tampaknya harus dikaji ulang dengan cermat. Hasil survei pendahuluan Litbang Kompas tentang respons terhadap tatanan normal baru mengindikasikan ketidaksiapan yang cukup tinggi dari kelompok yang seharusnya menjadi garda terdepan perubahan.
Pandemi Covid-19, yang meluas ke seluruh provinsi di Indonesia, memberikan tekanan yang cukup berat pada kehidupan masyarakat, baik kelompok sosial bawah maupun menengah dan atas. Pandemi tak saja mengancam dalam bentuk ketakutan akan kematian, tetapi juga keberlangsungan ekonomi keluarga. Kualitas kehidupan ekonomi masyarakat yang merosot selama pandemi membuat pilihan kebijakan mengendurkan pembatasan sosial menjadi tampak cukup rasional.
Meski dengan protokol yang ketat, pusat perbelanjaan, restoran, tempat wisata, dan sarana transportasi mulai beroperasi. Ruang gerak yang terbatas selama masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pun mulai diperlebar. Indonesia memasuki tahapan normal baru. Namun, berbarengan dengan hal itu, penyebaran virus korona yang tetap masif membuat penerimaan terhadap kehidupan normal baru disikapi mendua, penuh kegamangan. Masyarakat seolah terbelah dalam dua kelompok besar, mereka yang optimistis dengan tata kehidupan baru dan mereka yang pesimistis menjalaninya.
Kelas menengah adalah kelompok sosial yang paling merasa rapuh dalam menghadapi situasi pandemi dan lesu menjalani kehidupan normal baru berdasarkan hasil survei Litbang Kompas, 9-12 Juni 2020. Kelompok yang biasanya menjadi ujung tombak perubahan ini justru masih menahan diri untuk menerima sejumlah tantangan yang ditawarkan tata ekonomi, relasi sosial, dan model baru dalam pemenuhan kebutuhan. Meskipun kelas menengah mengalami penurunan kualitas ekonomi paling sedikit dibandingkan kelas bawah dan kelas atas, mereka justru menjadi kelas yang merasa paling tidak antusias sekaligus tak siap dengan perubahan yang harus dijalani. Gaya hidup normal baru masih tetap menjadi pilihan hidup yang kurang menggairahkan bagi mereka.
Kelas yang dalam setiap gerakan prodemokrasi menjadi garda terdepan itu sekarang menjadi kelompok pesimistis yang mengurung diri di rumah, alih-alih tergiur turut menikmati kebebasan setelah masa pembatasan sosial dikurangi. Mereka bahkan turut terbantu dengan kebijakan-kebijakan pembatasan sosial yang ditetapkan pemerintah. Walaupun di banyak daerah ada kecenderungan bepergian semakin longgar, kelompok ini merupakan kelas sosial yang paling menganggap tidak penting melakukannya sekarang.
Berbeda dengan kelas atas yang sudah lebih siap menerapkan gaya hidup baru, kelas menengah masih menganggapnya bukan hal menarik dilakukan. Padahal, pasar terbesar konsumsi gaya hidup adalah kelas menengah.
Kalangan pesimistis, yang terutama dicirikan oleh kelompok sosial kelas menengah berusia 41 tahun ke atas, berpendidikan tinggi, dengan posisi pekerjaan sebagai karyawan atau pensiunan, merupakan kelompok terbesar (43,9 persen) yang bimbang. Mereka, yang tak antusias terhadap perubahan menuju normal baru dan tetap cemas dengan sejumlah protokol baru, menjadi kelompok yang menganggap proteksi diri dan keluarganya dari virus korona sebagai hal terpenting. Karena itu, semua langkah dan kebijakan yang mendukung proteksi dari penularan wabah mendapatkan apresiasi dari mereka. Wajar kiranya mereka kini memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pemerintah.
Mereka pun lebih memilih bersikap puas terhadap upaya pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 (63,8 persen). Mereka juga menganggap pemerintah cukup konsisten atas kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya terkait penanganan pandemi (63,1 persen) dan merasa yakin pemerintah dapat mengatasi problem ekonomi pascapandemi (79,4 persen).
Pada sisi sebaliknya, terdapat kelompok optimistis dalam jumlah yang hampir berimbang dengan kalangan pesimistis. Mereka, dengan jumlah sekitar 41,3 persen, adalah kelompok yang dengan segera menyambut apa saja yang ditawarkan kehidupan normal baru. Orang-orang ini selama masa PSBB merasa sangat terkungkung dan mengalami kehidupan ekonomi dasar mereka terancam.
Kelompok tersebut dicirikan oleh karakteristik yang pada umumnya kaum muda (40 tahun ke bawah), berpendidikan rendah hingga menengah, merupakan pemilik usaha ataupun pekerja semimandiri (misalnya ojek daring), dan kelas sosial ekonomi bawah. Bagi mereka, normal baru merupakan masa kebebasan dari impitan ekonomi selama pembatasan sosial.
Berbeda dengan kelompok pesimistis yang melihat upaya proteksi diri dari pandemi lebih penting dilakukan, kelompok optimistis melihat urusan ekonomi lebih utama. Demi kelangsungan hidup dan keluarga, mereka tak keberatan dengan tantangan protokol normal baru, siap menjalaninya, dan menjadikannya salah satu pilihan untuk bertahan.
Artinya, bisa saja sebagian dari mereka tetap menjalankan kehidupan di masa normal baru dengan cara-cara lama. Mereka, yang umumnya hidup dalam tatanan sosial yang saling bergantung satu dan lainnya, juga lebih permisif dalam pengabaian distansi sosial. Kelompok ini cenderung memiliki orientasi keluar yang lebih tinggi dibandingkan kelompok pesimistis. Mereka lebih ingin segera bertemu dengan keluarga dan teman-teman dibandingkan kelompok yang pesimistis.
Berbeda dengan kelompok pesimistis, kelompok optimistis yang merasa antusias memasuki situasi normal baru adalah mereka yang lebih mandiri, tak tergantung pada langkah pemerintah, serta memiliki lebih sedikit
rasa puas (41,5 persen) terhadap upaya-upaya pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19. Hal ini sesungguhnya cukup wajar mengingat kebijakan pembatasan sosial berdampak langsung pada kehidupan ekonomi keluarga dari kalangan ini sehingga mereka cukup resisten.
Di luar dua segmen dominan tersebut, terdapat kelompok yang memiliki pola penerimaan sedikit berbeda, tetapi dalam jumlah yang kecil, yaitu kelompok reaktif dan kelompok apatis. Kelompok reaktif merupakan orang-orang yang antusias memasuki tata cara normal baru, tetapi sesungguhnya tidak siap menjalaninya. Mereka digambarkan sebagai kalangan berusia 53-70 tahun, berpendidikan tinggi, tetapi saat ini tak bekerja, serta termasuk dalam kelas sosial menengah dan atas. Kelompok ini bisa dikatakan tidak berkepentingan langsung dengan kebijakan pemerintah sehingga apresiasi ataupun resistensi terhadap langkah-langkah pemerintah tak terlalu menonjol.
Sementara itu, kelompok apatis dicirikan dengan antusiasme yang rendah menyikapi tatanan normal baru meskipun siap menjalaninya. Mereka merupakan kalangan muda berusia 22-30 tahun, kebanyakan tidak bekerja dan karyawan, serta berasal dari kelas menengah dan bawah. Seperti halnya kelompok reaktif, kelompok apatis memiliki pandangan serupa terhadap langkah-langkah pemerintah menangani pandemi, tak terlalu apresiatif ataupun resisten.
Melihat pola yang terjadi pada akseptasi tatanan normal baru, keberlangsungan dan wajah Indonesia ke depan akan sangat ditentukan oleh dua kekuatan: kalangan optimistis yang sudah mulai bergerak dan kebijakan yang jitu dari pemerintah untuk mendorong kalangan pesimistis.
(Litbang Kompas)