Seratus Hari Kesunyian
Di tengah Pandemi Covid-19, seniman tradisi dituntut terus mencari jalan untuk tetap dapat bertahan. Mereka butuh dukungan untuk dapat mengadopsi teknologi. Juga agar bisa turut mendapat ruang di arus utama.
Kekayaan seni dan budaya Nusantara tersusun di tangan para penggiatnya, baik mereka yang berkiprah di arus utama ataupun yang jauh dari sorotan lampu kamera. Di tengah pandemi, ruang virtual menjadi harapan baru sekaligus tantangan bagi seniman.
Seniman-seniman akar rumput terenyak tatkala wabah Covid-19 ini menggulung. Pagebluk telah menggedor nalar mereka untuk menyadari pentingnya teknologi.
Hampir lima menit, Syamsul Bahri (37) menyetem senar oud atau gitar berbadan lebar tanpa fret. Musisi gambus itu tengah berlatih sambil digelayuti anaknya, M Hisyam Fathurrahman (3). Di ruang yang dialasi karpet tanpa furnitur itu, Syamsul bercengkerama pula dengan istrinya, Misdah (32).
Alunan merdu Syamsul terdengar sayup-sayup merambati gang sempit. Jemari vokalis Arrominia itu lincah menari di atas dawai. ”Latihan biar jarinya luwes dan enggak lupa lirik. Sambil bantu istri jualan online (daring). Sejak Maret lalu, order nihil,” kata Syamul, Kamis (18/6/2020).
Pandemi memorakporandakan rutinitas Arrominia dan menjungkirkan periuk Syamsul. Biasanya, ia rutin pentas setiap Sabtu dan Minggu. ”Kalau hari kerja, ada juga yang manggil, tetapi jarang. Kira-kira tiga kali setiap bulan,” ujarnya.
Rata-rata Syamsul mengantongi Rp 4 juta per bulan. Sejak Covid-19 merebak, ia menyambung hidup dengan bantuan sosial (bansos). Soal materi, Syamsul tidak tergolong berkelebihan. Ia tinggal di rumah petak seluas 27 meter persegi. Jalan menuju rumah di Ciganjur, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta, itu tak bisa dilewati mobil.
Ia tak melulu mengandalkan bansos. Setelah Lebaran, Misdah menawarkan masker, seprai, sepatu, dan roti, sementara Syamsul mengantarnya dengan sepeda motor. ”Dapatnya cukup untuk sehari-hari saja. Belum lama jualan,” ujarnya.
Beberapa teman Syamsul mulai bermusik dengan berusaha tetap memperhatikan kesehatan. Mereka, misalnya, tampil di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. ”Saya enggak ikut karena khawatir. Teman-teman juga siaran langsung. Saya mau ikut bikin, tapi enggak ngerti. Soalnya, gaptek,” katanya sedikit tersipu.
Di tengah musisi yang marak berpaling ke konser virtual sebagai celah melewati masa paceklik, seniman tradisi tertatih-tatih ditinggal pesatnya teknologi. Kegagapan artis-artis tradisional menggunakan internet mencuatkan persoalan sirkuler.
”Ada yang jual kue, baju, tempe goreng, nasi ulam, sampai layangan dan benangnya,” kata anggota Bidang Pelestarian dan Pemberdayaan Lembaga Kebudayaan Betawi, Ahmad Supandi. Seniman lain menyampaikan tausiyah dan menjadi penghulu. Mereka yang beruntung bisa mendapatkan Rp 200.000 per hari.
Ramadhan lampau, seniman tradisi Betawi seharusnya panen order. Setiap Bulan Suci, Supandi menerima sekitar 400 undangan. ”Panggilan itu dikirim ke lembaga-lembaga di mana saya jadi pengurusnya dan disebar ke sanggar,” kata Sekretaris Umum Lembaga Seni Kasidah Indonesia (Laski) DKI Jakarta itu.
Honor musisi berbeda-beda. Pemain gendang yang ulung, misalnya, mendapatkan Rp 500.000 sekali tampil. Kelompok tradisi Betawi lekat dengan religi. ”Makanya, saat bulan puasa, setiap grup bisa tampil sampai tiga kali sehari di mal, kantor, atau rumah,” katanya.
Mereka ditanggap tak hanya di Jakarta, tetapi juga Jawa Barat, Banten, hingga Yogyakarta. Kesenian itu seperti tanjidor, gambus, gambang keromong, lenong, rebana biang, hadrah, kasidah, dan ondel-ondel. Jumlah seniman tradisi Betawi ini diperkirakan sekitar 3.000 orang.
”Kalau cuma internet, 50 persen dari mereka bisa mengaksesnya. Masalahnya, kalau pementasan daring, mereka enggak paham promosi,” kata Supandi. Sebagian seniman rajin mengunggah konten pada awal masa pagebluk. Penonton ternyata tak seberapa.
”Bikin apa saja dilempar ke medsos. Enggak efektif. Sekarang kendur soalnya enggak berdampak pada pemasukan,” kata Supandi. Permintaan untuk menggelar pertunjukan di kantor-kantor pemerintah saja sudah kosong hingga akhir tahun ini.
Di Kabupaten Indramayu, Subang, dan Cirebon, Jabar, seniman pantura tak urung pula kelimpungan dihantam dampak pandemi. Kesenian yang biasanya menggempita hingga gang sempit, seperti singa depok, wayang orang, sandiwara, dan tarling dangdut (tardut), tak ayal meredup.
”Tanpa melek teknologi, seniman menjerit. Enggak ada aktivitas apa-apa,” kata Ketua Umum Lembaga Musik Seniman Pantura (L-Musentra) Adung Abdulgani. Seniman pun beralih menggarap sawah, mengamen, atau mencari ikan di pantai, rawa, dan empang.
Adung memperkirakan, ada sekitar 10.000 seniman yang menekuni kesenian pantura. Sebagian besar dari mereka adalah musisi tardut. ”Pemain tardut saja mungkin cuma sekitar 5 persen yang bisa memonetisasi internet,” katanya.
Penyanyi ternama, seperti Susy Arzetty, Diana Sastra, dan Dian Anic, yang karib dengan medsos, masih berkreasi. Mereka memasang konten setiap beberapa hari. Sebelum pandemi, penyanyi yang tak punya album saja menerima sekitar Rp 500.000 per hari.
”Gara-gara nganggur, muncul masalah baru. Seniman dan istrinya bertengkar. Banyak yang begitu. Hubungan rumah tangga morat-marit meski enggak sampai bubar,” kata Adung.
Memelihara harapan
Bagaimanapun seniman-seniman pantura mulai mengenyam secercah harapan. Pelaksana Tugas Bupati Indramayu Taufik Hidayat menunjukkan apresiasinya saat menerima mereka di Indramayu, Selasa (16/6/2020). Hajatan bisa diselenggarakan, tetapi harus ada pernyataan memenuhi protokol kesehatan, termasuk izin keramaian. Taufik akan membahas izin itu dengan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Indramayu dan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Indramayu.
Lepas dari itu, pagebluk menyentak pikiran seniman untuk memahami teknologi. Pelatihan sinden, bahasa, dan musik telah diadakan. ”Jadi pekerjaan rumah juga buat kami untuk berlatih menyiarkan konten. Ruang virtual menjadi kunci seniman untuk melalui masa pandemi,” kata Adung.
Seni kontemporer juga menemukan dimensi baru lewat dunia maya. Artis-artis mendobrak tabir jarak untuk menghadirkan lukisan, instalasi, dan patung di layar gawai. Meski percikan asa pun melingkupi mereka dengan mulai dibukanya beberapa galeri yang disertai pemberlakuan protokol kesehatan.
Tak kurang pula besarnya harapan insan perfilman. Sejauh ini, mereka berinovasi lewat serial audio, televisi kabel, dan telekonferensi. Seiring beroperasinya sejumlah mal, mereka turut menuai impian untuk kembali menayangkan karya di bioskop. Meskipun, sekali lagi, protokol kesehatan harus diprioritaskan.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid mengajak seniman untuk berkreasi lewat kanal Youtube, Budaya Saya. Mereka juga bisa berpartisipasi dalam Pameran Daring Solidaritas Perupa Indonesia Lawan Corona 2020.
Seratus hari masa pandemi telah terlewati. Semoga kesunyian berkesenian yang menggayuti para seniman tradisional selama pandemi ini perlahan menemukan kembali kesemarakannya di kanal-kanal yang baru.