Tetap Waspada Saat Jalani Normal Baru
Perang bersama melawan penyebaran virus SARS-CoV-2 belum berakhir. Kewaspadaan yang rasional pun perlu terus dijaga.
Untuk memotret perilaku masyarakat selama pembatasan sosial dan harapan mereka setelah penerapan kebijakan itu, Litbang Kompas mengadakan jajak pendapat pada 16-22 Mei 2020.
Survei ini tidak berpretensi mengevaluasi kebijakan pemerintah. Fokus survei adalah melihat kemungkinan terbentuknya kebiasaan baru sebagai hasil dari penerapan pembatasan sosial. Kebiasaan baru itulah yang nantinya menjadi salah satu ciri situasi normal baru.
Kemungkinan munculnya kebiasaan baru tersebut dapat dipotret dari perilaku yang sering dilakukan responden selama penerapan pembatasan sosial. Perilaku yang sering dilakukan responden adalah berolahraga (21,9 persen) dan beribadah bersama keluarga (20,5 persen).
Dua perilaku tersebut menjadi kegiatan yang lebih sering dilakukan daripada bersilaturahmi dengan kerabat melalui media sosial (13,9 persen), berbelanja kebutuhan sehari-hari secara daring (12 persen), belajar bersama anak (10,9 persen), menonton film dan mendengarkan musik secara daring (8,6 persen), memasak sendiri (7,1 persen), dan berjualan online (4,6 persen).
Apabila dikelompokkan ke dalam gugus kegiatan, hierarki kegiatan yang paling sering dilakukan responden adalah kegiatan terkait interaksi sosial-spiritual (beribadah bersama keluarga, bersilaturahmi, dan belajar bersama di rumah). Di bawahnya terdapat gugus kegiatan yang berhubungan dengan merawat kehidupan (berolahraga, belanja kebutuhan sehari-hari, dan berjualan daring).
Selanjutnya terdapat kelompok kegiatan yang bersifat hiburan (menonton film dan mendengarkan musik). Di posisi paling bawah terdapat kelompok kegiatan menyalurkan hobi. Berbagai kegiatan terkait hobi memiliki proporsi di bawah 1 persen, antara lain berkebun, membaca berita daring, merawat ikan, bermain gim, berjemur, dan menjahit.
Pentingnya kegiatan interaksi sosial-spiritual bagi responden didukung empat temuan lain di bawah ini.
Pertama, sebagian besar responden terus melakukan kegiatan saling menyapa secara daring dan membelanjakan uang untuk mendukung kegiatan tersebut. Sebanyak 71,3 persen responden melakukan pertemuan daring selama pembatasan sosial. Selain itu, 31,5 persen responden juga mengeluarkan uang untuk mendukung kegiatan yang dilakukan di rumah (termasuk untuk berinteraksi), seperti memasang jaringan baru internet, membeli smart TV, laptop, ataupun gawai baru.
Sebagian besar responden terus melakukan kegiatan saling menyapa secara daring dan membelanjakan uang untuk mendukung kegiatan tersebut.
Kedua, hal yang ingin segera dilakukan responden setelah ada pelonggaran adalah kegiatan terkait interaksi sosial-spiritual. Sebanyak 42,7 persen responden ingin segera bersilaturahmi ke keluarga atau kerabat segera setelah pembatasan sosial dilonggarkan. Hal lain yang juga ingin segera dilakukan responden adalah berlibur ke tempat wisata (13,5 persen) dan melakukan kegiatan peribadahan, seperti ziarah, haji, dan umrah (8,2 persen).
Ketiga, manfaat bekerja dan belajar di rumah menunjukkan pentingnya nilai interaksi bagi sebagian besar responden. Bagi 49,7 persen responden, waktu bersama keluarga yang lebih banyak menjadi manfaat terbesar saat harus bekerja dari rumah. Di bawahnya, manfaat bekerja di rumah adalah waktu kerja lebih fleksibel (11,5 persen), suasana kerja lebih tenang (10,8 persen), sama baiknya dengan bekerja di kantor (10,1 persen), mengurangi risiko penularan (8,2 persen), dan lebih produktif (5,9 persen).
Pentingnya interaksi juga terpotret dari kegiatan belajar di rumah. Bagi sebagian besar responden, manfaat utama belajar dari rumah adalah dapat belajar bersama orangtua dan keluarga (45,3 persen).
Manfaat lain belajar di rumah adalah waktu belajar lebih fleksibel (15,2 persen), suasana belajar lebih tenang (8,1 persen), lebih produktif (7,2 persen), materi pelajaran sesuai kebutuhan (6,4 persen), dan mengurangi risiko penularan (1,2 persen). Muncul juga manfaat lain, tetapi tidak sampai 1 persen, antara lain lebih mengenal teknologi, hemat biaya transportasi, lebih sering di rumah, dan melatih kesabaran.
Keempat, hal yang tidak dapat dilakukan saat harus bekerja dan belajar di rumah mencerminkan pentingnya nilai interaksi bagi responden. Bagi 15,3 persen responden, interaksi langsung dengan rekan kerja di lingkungan kantor menjadi hal yang dianggap tidak bisa dilakukan saat bekerja di rumah.
Persentase kegiatan tersebut menempati posisi paling tinggi, mengungguli pengawasan pabrik/proyek (9,2 persen) ataupun pembukuan/pemberkasan (7,5 persen) sebagai hal yang dianggap tak dapat dilakukan saat bekerja dari rumah.
Pendapat responden tentang hal yang tidak bisa dilakukan saat belajar di rumah juga mendukung pentingnya interaksi. Sebanyak 24,1 persen responden menyatakan interaksi langsung dengan teman merupakan hal yang tidak bisa dilakukan saat belajar di rumah. Persentase ini hampir sama dengan kegiatan olahraga dan ekstrakurikuler (24,1 persen) dan menjadi dua jawaban tertinggi terkait hal yang tidak bisa dilakukan saat belajar di rumah.
Habitus baru
Selama penerapan kebijakan pembatasan sosial, dua kegiatan utama yang harus dilakukan di rumah adalah bekerja dan belajar. Namun, berdasarkan jajak pendapat, tindakan adaptif yang dapat mencirikan kemunculan suatu habitus baru terkait kegiatan bekerja dan belajar di rumah belum dapat ditangkap dengan mudah. Situasi bekerja dan belajar di rumah masih dirasakan sebagai paksaan dari luar, yang belum mampu mengubah kebiasaan, apalagi menciptakan kebiasaan baru.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa belum dapat diharapkan akan muncul suatu habitus baru hasil dari pembatasan sosial. Bahkan, bagi sebagian besar responden, kegiatan bekerja dan belajar di rumah belum mampu menghasilkan manfaat bagi kegiatan itu sendiri (bekerja dan belajar). Alih-alih mengungkapkan manfaat bagi kegiatan bekerja dan belajar di rumah, sebagian besar responden malah menunjukkan pentingnya nilai interaksi sosial bagi mereka.
Situasi bekerja dan belajar di rumah masih dirasakan sebagai paksaan dari luar, yang belum mampu mengubah kebiasaan, apalagi menciptakan kebiasaan baru.
Kesimpulan bahwa suatu habitus baru belum dapat diharapkan kemunculannya dapat ditarik dari tiga temuan di bawah ini.
Pertama, sebagian besar responden berpendapat bahwa kegiatan bekerja dan belajar di rumah tidak efektif. Sebanyak 53 persen responden menyatakan bekerja dari rumah tidak efektif dan 68,3 persen menyebut belajar dari rumah tidak efektif.
Kedua, walaupun muncul berbagai manfaat terkait bekerja di rumah, bagi responden, kembali bekerja di tempat kerja merupakan pilihan utama (78,7 persen). Hanya 9 persen responden yang memilih tetap bekerja dari rumah dan 8,9 persen yang menginginkan kombinasi bekerja di kantor dan dari rumah.
Ketiga, belum ada tanda-tanda kemunculan kebiasaan baru juga didukung oleh pendapat sebagian besar responden (52 persen) bahwa pembatasan sosial ini akan segera berakhir dalam 1-3 bulan ke depan. Hal tersebut menunjukkan sebagian besar responden ingin segera keluar dari keharusan bekerja dan belajar di rumah. Artinya, segala perilaku yang ditunjukkan selama pembatasan sosial semata-mata merupakan upaya menahan diri dengan harapan responden segera mendapatkan kebebasan.
Karena kebijakan pembatasan sosial dipersepsikan sebagai hal yang akan cepat berakhir, adaptasi yang terjadi adalah semu sehingga responden berharap segera kembali ke kebiasaan semula ketika kebijakan pembatasan sosial dicabut. Maka, wacana penerapan situasi normal baru perlu disikapi dengan lebih rasional. Upaya menciptakan situasi normal baru di tengah pandemi ini dapat dipahami sebagai usaha pemerintah untuk bertindak adil terhadap tarikan dari tiga hal, yakni sektor ekonomi, kesehatan masyarakat, dan penerimaan sosial masyarakat.
Akan tetapi, wacana penerapan situasi normal baru ”buatan” tersebut berpotensi menumbuhkan harapan palsu di tengah usaha keras pemerintah dalam mengontrol pandemi. Maka, yang diperlukan adalah komunikasi publik yang tepat agar wacana ini tak disalahartikan sebagai pelonggaran yang membebaskan masyarakat untuk kembali menghidupi kebiasaan sebelum pandemi.
Perang bersama melawan penyebaran virus SARS-CoV-2 belum berakhir. Pemerintah perlu meyakinkan publik bahwa segala kebijakan yang dilakukan bertujuan melindungi warga dari bahaya virus, sekaligus membantu masyarakat tetap berdaya secara ekonomi.
Kewaspadaan yang rasional tersebut perlu terus dijaga mengingat temuan jajak pendapat menunjukkan, setelah pembatasan sosial, masyarakat ingin segera melakukan berbagai kegiatan terkait relasi sosial, seperti silaturahmi. (LITBANG KOMPAS)