Urgensi Keberimbangan Ambang Batas Pilpres
Publik terbelah dalam menyikapi ketentuan ambang batas pencalonan presiden yang oleh DPR tetap dipertahankan dalam RUU Pemilu. Sebagian publik menginginkan ambang batas diturunkan agar muncul calon presiden alternatif.
Pemberlakuan ambang batas pencalonan dalam pemilihan presiden semestinya tak menutup peluang bagi partai politik peserta pemilu untuk mengajukan pasangan calon. Keberimbangan antara kebutuhan akan dukungan partai yang kuat dan perlunya pemilih diberikan lebih banyak pilihan penting untuk dirumuskan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu.
Kebutuhan akan keberimbangan ini terbaca dari hasil jajak pendapat Kompas pertengahan Juni lalu. Secara umum hasil jajak pendapat menyebutkan ambang batas pemilihan presiden (presidential threshold) masih perlu diterapkan pada Pemilu 2024. Respons ini tidak tunggal sebab kelompok responden lainnya justru berharap pemilihan presiden berikutnya bisa memunculkan lebih banyak pasangan calon.
Separuh responden (53,8 persen) dalam jajak pendapat ini menganggap pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden tetap perlu. Sementara itu, hampir 40 persen responden menganggap sebaliknya. Bagi kelompok yang setuju masih diberlakukan, ambang batas bertujuan untuk membatasi jumlah pasangan calon presiden. Sebaliknya, kelompok responden yang cenderung menganggap tidak perlu lagi diterapkan beralasan agar pasangan calon presiden lebih banyak dan tidak dimonopoli oleh kekuatan partai politik besar atau pemenang pemilu.
Secara umum hasil jajak pendapat menyebutkan ambang batas pemilihan presiden masih perlu untuk diterapkan pada Pemilu 2024. Respons ini tidak tunggal sebab kelompok responden lainnya justru berharap pemilihan presiden berikutnya bisa memunculkan lebih banyak pasangan calon.
Menariknya, kelompok responden yang cenderung setuju dengan pemberlakuan ambang batas pemilihan presiden ini juga menjadi kelompok yang setuju dengan wacana dalam RUU Pemilu yang mengusulkan kenaikan ambang batas parlemen, dari 4 persen menjadi 7 persen. Sebaliknya, kelompok responden yang cenderung menolak ambang batas pencalonan presiden cenderung gamang dengan usulan kenaikan ambang batas parlemen tersebut. Hal ini memang memperkuat, ada kelompok masyarakat yang cenderung setuju dengan pembatasan politik melalui ambang batas, tetapi di sisi lain ada kelompok publik yang cenderung tidak mempermasalahkannya.
Kembali pada konteks pemilihan presiden, secara sederhana bisa dibaca ada keinginan untuk mempertahankan ambang batas pencalonan presiden, tetapi bisa jadi jangan sampai ambang batas itu justru menghalangi munculnya pasangan calon alternatif. Pendek kata, ada harapan agar ambang batas pemilihan presiden bisa tetap menjamin iklim kontestasi yang sehat dengan membuka ruang bagi pemilih untuk memilih presiden yang lebih baik. Dalam konteks ini, pemilih lebih diuntungkan karena lebih banyak kontestan.
Sebab, ada kecenderungan sepanjang empat pemilihan presiden secara langsung digelar, ambang batas pencalonan presiden menjadi penghalang bagi munculnya sosok-sosok baru dalam konstelasi politik nasional. Jika mundur ke belakang, ambang batas pencalonan presiden, yang menjadi pintu masuk bagi partai politik maupun gabungan partai politik untuk bisa mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden, ini mulai diterapkan pada pemilihan presiden 2004.
Ada kecenderungan sepanjang empat pemilihan presiden secara langsung digelar, ambang batas pencalonan presiden menjadi penghalang bagi munculnya sosok-sosok baru dalam konstelasi politik nasional.
Saat itu, syarat yang diwajibkan agar partai atau gabungan partai politik bisa mengajukan pasangan calon adalah harus memiliki minimal 15 persen kursi DPR atau 20 persen perolehan suara sah nasional. Dengan syarat ini, pada tahun 2004 muncul lima pasangan calon. Pemilihan presiden pun dilakukan dalam dua putaran karena tidak ada pasangan calon yang meraih suara mencapai 50 persen + 1.
Setelah Pemilu 2004, ambang batas pencalonan presiden dinaikkan sebesar 5 persen menjadi minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen perolehan suara sah nasional. Kenaikan ambang batas ini diikuti oleh semakin sedikitnya jumlah pasangan calon. Di Pemilu 2009, jumlah pasangan calon berkurang menjadi tiga. Jumlah ini makin menyusut menjadi dua pasangan calon di Pemilihan Presiden 2014 dan 2019. Bahkan, di dua pemilihan presiden terakhir tersebut, sosok calon presiden yang muncul sama, yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Tetap dipertahankan
Dalam draf RUU Pemilu tertanggal 6 Mei 2020, aturan soal ambang batas pemilihan presiden ini tetap dipertahankan. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 187 Ayat (1) di mana pasangan calon presiden dan calon wakil presiden diusulkan oleh partai atau gabungan partai yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Klausul menggunakan hasil pemilu anggota DPR sebelumnya ini sempat mengundang polemik. Aturan ini dipakai di Pemilu 2019 berdasarkan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Akibat penggunaan basis kursi dari hasil pemilu lima tahun sebelumnya, empat partai politik baru peserta pemilu, yakni Partai Berkarya, Partai Solidaritas Indonesia, Partai Garuda, dan Partai Persatuan Indonesia, tidak memperoleh hak yang sama sebagai peserta pemilu untuk mengajukan pasangan calon presiden. Tentu, sebagai partai pendatang baru, baik kursi maupun suara dukungan belum pernah mereka raih sebelumnya di pemilu.
Dalam catatan Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, ambang batas pemilihan presiden ini berpotensi menjadi ajang candidacy buying, menjadi alat untuk menghilangkan lawan politik, dan menghasilkan calon tunggal serta tidak menawarkan calon alternatif.
Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 222 UU No 7/2017 ini pun pernah beberapa kali diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Namun, MK menolak permohonan tersebut. Dalam putusan MK nomor 53/PUU-XV/2017 dan 51-52-59/PUU-VI/2008, presidential threshold dikatakan sebagai open legal policy atau merupakan kebebasan dari pembentuk undang-undang untuk mengatur selama tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Baca juga : Buka Ruang bagi Calon Saat Pilpres
Dalam catatan Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, pasal yang masih mengatur soal ambang batas pemilihan presiden ini berpotensi menjadi ajang candidacy buying, menjadi alat untuk menghilangkan lawan politik, dan menghasilkan calon tunggal serta tidak menawarkan calon alternatif.
Keberimbangan
Dengan sikap publik yang cenderung terbelah menyikapi ambang batas pemilihan presiden ini, peneliti pada Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Moch Nurhasim, melihat, pemberlakuan ambang batas sebaiknya tidak terlalu tinggi, bahkan kalau bisa diturunkan. Ia mengambil jalan tengah sebagai keberimbangan antara kepentingan membatasi jumlah pasangan calon presiden dan kepentingan membuka peluang calon alternatif. Menurut Nurhasim, ambang batas sekitar 10 persen kursi DPR atau 15 persen suara nasional bisa menjadi alternatif.
Dengan alternatif ini, calon presiden tetap mengantongi dukungan politik, tetapi tetap bisa menghindari munculnya polarisasi politik seperti yang terjadi di pemilihan presiden 2014 dan 2019. ”Agar tidak terjadi fragmentasi politik, calon presiden sudah punya modal awal dukungan, tetapi presidential threshold tidak menyebabkan polarisasi politik,” ungkap Nurhasim.
Keberimbangan antara kepentingan soliditas dukungan partai dalam pemilihan presiden dan terbukanya ruang bagi munculnya calon presiden alternatif sebagai bagian untuk memenuhi hak pemilih penting untuk dijadikan bahan dalam revisi undang-undang pemilu ke depan.
Selain mengusulkan batasan 10 persen kursi dan 15 persen suara nasional, Nurhasim juga melihat perlunya pembatasan maksimal dukungan dari partai politik terhadap pasangan calon. Misalnya, batas maksimal dukungan partai politik dibatasi 35 persen agar menghindari terjadinya polarisasi politik atau kondisi head to head ataupun calon tunggal. Apalagi pemilihan presiden di Indonesia menganut sistem mayoritas mutlak (50 persen + 1), sehingga jangan dipaksakan menjadi plurality seperti pada pemilihan presiden 2014 dan 2019.
Pada akhirnya, keberimbangan antara kepentingan soliditas dukungan partai dalam pemilihan presiden dan terbukanya ruang bagi munculnya calon presiden alternatif sebagai bagian untuk memenuhi hak pemilih penting untuk dijadikan bahan dalam revisi undang-undang pemilu ke depan.
Bagaimanapun, kontestasi politik lima tahunan bukan sekadar ajang pertarungan politik dan perebutan kekuasaan semata, tetapi semestinya juga menjadi panggung pendidikan politik bagi pemilih sekaligus momentum untuk peningkatan kualitas demokrasi elektoral Indonesia. Semoga.
Baca juga : Desain Pemilu Dirumuskan