Kenaikan permintaan kendaraan belum menggambarkan kondisi pasar yang sepenuhnya normal. Angka pertumbuhan permintaan itu baru berkisar 30-40 persen dari kapasitas sebelum terjadi Covid-19.
Oleh
Dahono Fitrianto
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bahaya supply shock atau syok pada pasokan barang-barang konsumsi bakal membayangi perekonomian nasional. Supply shock yang diperkirakan terjadi pada triwulan IV-2020 itu bisa memicu kenaikan harga.
Untuk mengantisipasi hal itu di industri otomotif, stimulus di sektor hulu diperlukan. Ini guna menjaga para pemasok bermodal terbatas tetap bisa beroperasi optimal saat terjadi lonjakan permintaan pasar.
Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Warih Andang Tjahjono, pekan lalu, memperkirakan, pasar dan penjualan otomotif mulai normal pada triwulan IV-2020 atau sekitar Oktober. Ketika hal ini terjadi, pasar bisa rebound cepat sekali.
”Kenaikannya bisa 2-3 kali lipat begitu kita benar-benar memasuki masa normal baru. Yang kami pikirkan saat ini adalah bagaimana menjaga pasokan menghadapi permintaan yang terus meningkat,” kata Warih.
Sejumlah pemain utama di sektor otomotif menyebutkan, pemulihan permintaan pasar sudah mulai terlihat pada Juni 2020. Direktur Pemasaran Roda 4 PT Suzuki Indomobil Sales (SIS) Donny Saputra mengatakan, penjualan kendaraan, terutama kendaraan niaga, naik tajam pada Juni ini sebesar dua kali lipat dibandingkan Mei.
”Peningkatan permintaan kendaraan niaga itu terjadi hampir dari semua sektor, yaitu pertanian, perkebunan, perdagangan, kelontong, dan perikanan,” kata Donny, Minggu (29/6/2020).
Peningkatan permintaan kendaraan niaga itu terjadi hampir dari semua sektor, yaitu pertanian, perkebunan, perdagangan, kelontong, dan perikanan.
Direktur Inovasi Bisnis, Penjualan, dan Pemasaran PT Honda Prospect Motor (HPM) Yusak Billy menturkan, tren pemesanan mobil Honda pada tiga minggu pertama Juni 2020 memang meingkat dibandingkan Mei. Hal itu ditunjukkan dengan peningkatan booking trend pada tiga minggu pertama Juni sebesar 50 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa bulan ini sudah ada tanda-tanda positif tren pemesanan.
Toyota melalui distributor resminya, PT Toyota Astra Motor (TAM), juga mencatatkan kenaikan pesanan. Surat pemesanan kendaraan (SPK) pada Juni meningkat 62 persen dibandingkan Mei.
Peningkatan juga terjadi pada penjualan ritel otomotif pada Juni tahun ini yang tumbuh sebesar 45 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. ”Kenaikan penjualan ritel dan SPK ini sejalan dengan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi pada awal Juni,” kata Direktur Pemasaran PT TAM Anton Jimmi Suwandy.
Donny mengingatkan, kenaikan itu belum menggambarkan kondisi pasar yang sepenuhnya normal. Angka pertumbuhan permintaan itu baru berkisar 30-40 persen dari kapasitas sebelum terjadi Covid-19.
”Saat ini masih butuh stimulus untuk resistansi penurunan kapasitas produksi karena para pemasok dalam rantai pasokan otomotif masih menanggung biaya produksi yang sama saat produksi hanya berjalan 20-40 persen dari kapasitas normal,” katanya.
Warih menambahkan, bahkan jika kapasitas produksi turun di bawah 50 persen kapasitas normal, beban biaya tetap yang ditanggung pemasok justru naik. Untuk itu, TMMIN tengah mendata para pemasok untuk mengetahui beban biaya tetap mereka sehingga bisa disampaikan ke kementerian terkait.
Direktur Administrasi dan Hubungan Eksternal dan Korporasi PT TMMIN Bob Azam menambahkan, saat ini ada ratusan perusahaan pemasok bagi TMMIN. Perusahaan pemasok itu terbagi dalam tiga kategori.
Pertama, perusahaan yang murni modal asing dan memiliki principal di Jepang. Kedua, perusahaan joint venture antara perusahaan Jepang dan Indonesia, dan ketiga adalah perusahaan murni milik orang Indonesia.
”Kategori pertama dan kedua kemungkinan masih mendapat dukungan principal, yang kategori ketiga ini yang kami khawatirkan karena cashflow-nya tidak begitu kuat,” ujar Bob.
Menurut Bob, banyak di antara perusahaan dalam negeri itu yang baru meraih break event point (BEP) saat kapasitas produksinya 70-80 persen dari kapasitas normal. Paling tidak sampai awal tahun depan mereka masih akan beroperasi dengan kapasitas 50-60 persen.
”Jadi, mereka yang baru BEP pada kapasitas 70-80 persen ini akan berat. Satu perusahaan pemasok kami bahkan sudah mengumumkan akan menutup usahanya,” imbuhnya.
Banyak di antara perusahaan dalam negeri itu yang baru meraih BEP saat kapasitas produksinya 70-80 persen dari kapasitas normal. Paling tidak sampai awal tahun depan mereka masih akan beroperasi dengan kapasitas 50-60 persen.
Untuk menjaga agar pasokan komponen dari para pemasok tetap mengalir, Bob mengusulkan agar ada stimulus bagi para pemasok, terutama yang bermodal terbatas. Stimulus itu, misalnya, penurunan pajak penghasilan (PPh) yang lebih besar dan bantuan ke akses permodalan dari perbankan. Sementara bagi pemasok di tier 1, diharapkan ada stimulus dalam penurunan biaya operasi, seperti biaya listrik dan gas.
Bob menambahkan, Toyota Motor Corporation (TMC) sudah memperingatkan agar jangan sampai terjadi supply shock saat permintaan melonjak tinggi. Kalau itu terjadi, bisa terjadi stagflasi, daya beli melemah, tapi pada saat bersamaan harga naik karena suplainya kurang.
Sementara itu, Donny mengatakan, stimulus bisa diberikan dalam bentuk insentif langsung berkaitan dengan proses produksi, seperti di sektor pajak, bea masuk impor, atau reduksi biaya, seperti listrik, gas, dan harga BBM untuk industri. ”Juga dibutuhkan skema bantuan permodalan untuk menambah daya tahan industri, terutama di level bawah,” ungkapnya.
Di sektor hilir, Billy mengatakan, perlu ada relaksasi atau stimulus kepada perusahaan pembiayaan. Hal ini mengingat penjualan mobil saat ini sekitar 50 persennya dilakukan secara kredit.
Sejak pandemi Covid-19 ini, perusahaan pembiayaan menerapkan syarat pembiayaan yang sangat ketat. Hal itu, misalnya, dengan uang muka minimal 40-50 persen.
”Kalau bisa ada relaksasi dan bantuan bagi lembaga pembiayaan ini. Uang muka 15-20 persen itu yang aman dan nyaman bagi konsumen,” papar Billy.