Pemahaman Penggunaan Silon oleh Bakal Calon Dikeluhkan Penyelenggara Pilkada di Daerah
›
Pemahaman Penggunaan Silon...
Iklan
Pemahaman Penggunaan Silon oleh Bakal Calon Dikeluhkan Penyelenggara Pilkada di Daerah
Sistem Informasi Pencalonan cenderung menjadi masalah karena pasangan calon perseorangan tidak terbiasa dengan sistem tersebut. Sementara itu, anggaran sosialisasi cenderung dipangkas.
Oleh
INGKI RINALDI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemahaman sebagian bakal pasangan calon perseorangan dalam menggunakan Sistem Informasi Pencalonan atau Silon dalam Pilkada Serentak 2020 dikeluhkan. Akibatnya, kerja Panitia Pemungutan Suara untuk memverifikasi pencalonan menjadi lebih berat di masa pandemi Covid-19.
Hal itu terungkap dalam diskusi daring bertema ”Pilkada Lanjutan: Tantangan Pencalonan di Era Covid-19”, Senin (29/6/2020). Diskusi tersebut diselenggarakan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) dengan menghadirkan penyelenggara pemilu dan akademisi sebagai pembicara.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pasangkayu, Sulawesi Barat, Syahran Ahmad mengatakan terdapat kesalahan-kesalahan dalam pengetikan nama, alamat, dan nomor induk kependudukan (NIK) dalam KTP yang dimasukkan ke Silon. Hal ini membuat pengecekan satu per satu dalam tahapan verifikasi administrasi mesti dilakukan selama berhari-hari.
Berikutnya, Panitia Pemungutan Suara (PPS) juga cenderung kesulitan saat sebagian perbedaan data itu masih muncul dalam tahapan verifikasi faktual. Menurut Syahran, hal ini menyusul dokumen yang diberikan kepada PPS untuk melakukan verifikasi bukanlah fotokopi KTP pendukung bakal calon bersangkutan.
Hingga Senin itu masih berlangsung tahapan penyampaian dukungan bakal pasangan calon perseorangan dari KPU kabupaten/kota kepada PPS. Tahapan tersebut berlangsung 24-29 Juni. Selain itu, berlangsung pula tahapan verifikasi faktual di tingkat desa/kelurahan selama 14 hari sejak dokumen syarat dukungan bakal pasangan calon diterima PPS. Proses ini berlangsung 24 Juni-12 Juli.
Diusung parpol
Syahran juga mengingatkan adanya potensi gugatan atau bahkan pengerahan massa dari bakal calon yang diusung partai politik dan gabungan partai politik. Hal ini menyusul ketentuan dokumen persetujuan dari pengurus tingkat pusat partai politik yang dalam sejumlah pilkada sebelumnya biasanya diserahkan pada hari terakhir pendaftaran.
Menurut dia, persoalan muncul tatkala dokumen persetujuan itu keluar di Jakarta pada hari terakhir pendaftaran, tetapi belum diterima di daerah bersangkutan pada hari tersebut. Bakal pasangan calon itu kemungkinan membawa massa untuk memaksa KPU setempat menerima pendaftaran.
”Akhirnya terjadi sengketa dan lain-lain,” kata Syahran.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat Alwan Ola Riantoby mengatakan, tantangan bagi bakal calon perseorangan membesar pada saat pandemi Covid-19. Hal ini menyusul sulitnya melakukan mobilisasi pendukung. Alwan juga mempertanyakan sinkronisasi pengawasan menyusul sebagian perbedaan antara data dalam Silon dan kondisi faktual.
Terkait hal itu, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Rahmat Bagja, yang juga hadir dalam diskusi mengatakan sejumlah kendala yang disebutkan Syahran sudah bisa ditebak. Ia menyebutkan, Silon cenderung menjadi masalah karena pasangan calon tidak terbiasa dengan sistem tersebut.
Mestinya, sebelum verifikasi faktual, sosialisasi terus-menerus harus dilakukan. Namun, di sisi lain, anggaran sosialisasi cenderung dipotong. Bagja menambahkan, dari sisi pengawasan, Bawaslu juga tidak memiliki salinan formulir terkait dukungan bakal calon perseorangan tersebut. Ia menyebutkan, formulir itu hanya dimiliki KPU dan bakal pasangan calon.
Anggota KPU, Hasyim Asy’ari, yang dihubungi setelah diskusi tersebut mengatakan bahwa untuk penggunaan Silon digunakan dua metode, yaitu input data dengan mengetik serta memasukkan data dan pemindaian dokumen serta pengunggahan dokumen.
Sementara itu, pengajar FISIP Universitas Indonesia, Sri Budi Eko Wardani, dalam diskusi menyebutkan sejumlah persoalan dalam tahapan pencalonan itu cenderung tidak berbeda dengan yang terjadi sejak 2005. Kondisi pandemi Covid-19 tidak sepenuhnya menjadi penyebab sejumlah persoalan tersebut.
Sri mengategorisasi dua isu dalam topik tersebut, yakni masalah di seputar tahapan pencalonan dari jalur perseorangan dan yang diusung partai politik serta manajemen tata kelola penyelenggaraan pemilu.
”Ini situasi manajemen tata kelola bukan khas masa pandemi. Selama ini masalahnya itu-itu juga,” sebut Sri.