Pandemi Covid-19 berdampak buruk pada kondisi perekonomian. Namun, pandemi juga merupakan momentum peradaban.
Oleh
A Prasetyantoko
·4 menit baca
Di tengah begitu banyak ketidakpastian, satu hal yang pasti, dunia akan memasuki resesi. Bank Dunia dalam Global Economic Prospect terbitan Juni menyatakan, pandemi Covid-19 akan mengakibatkan kontraksi output per kapita terburuk sejak 1870 di sebagian besar negara di dunia.
Menurut catatan Bank Dunia, sejak 1870-an telah terjadi 14 kali resesi besar dan resesi tahun ini akan menjadi salah satu yang terbesar sejak Perang Dunia Kedua. Dampak Depresi Besar 1930-1932, perekonomian global terkontraksi (minus) 18 persen dan Perang Dunia II mengakibatkan pertumbuhan minus 15 persen. Tahun ini, Bank Dunia meramalkan perekonomian global akan tumbuh minus 5,2 persen, sedangkan perekonomian Indonesia 0 persen.
Dana Moneter Internasional (IMF) punya proyeksi serupa dalam laporan tiga bulanan World Economic Outlook edisi Juni dengan judul ”A Crisis Like No Other, An Uncertain Recovery”. Proyeksi pertumbuhan global 2020 pada April yang minus 3 persen direvisi menjadi minus 4,9 persen atau 1,9 persen lebih rendah.
Sementara, Indonesia direvisi dari 0,5 persen menjadi minus 0,3 persen. Selain lebih dalam, resesi juga diperkirakan akan lebih lama pemulihannya.
Menghadapi ancaman resesi yang kian nyata, semua perangkat kebijakan telah dikerahkan. Jika bertumpu pada kebijakan fiskal semata, sudah pasti tak akan memadai. Sinergi kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil sangat dibutuhkan, meski tak serta-merta mencukupi. Menghadapi pandemi sebesar ini, tak bisa hanya bertumpu pada kebijakan ekonomi karena diperlukan evaluasi menyeluruh dari semua pemangku kepentingan.
Sinergi kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil sangat dibutuhkan meski tak serta-merta mencukupi.
Relaksasi ekonomi
Pandemi Covid-19 telah memaksa kehidupan terhenti dan memasuki fase baru yang tidak normal. Badan Pusat Statistik melakukan studi menggunakan mahadata untuk mengamati perubahan perilaku akibat pandemi.
Pertama, memantau mobilitas masyarakat dengan bantuan Google Mobility Index. Pada April, setelah diberlakukan kebijakan pembatasan sosial berskala besar di DKI Jakarta, aktivitas di kantor turun 73 persen, sedangkan aktivitas di tempat perdagangan ritel dan rekreasi turun 70 persen. Kedua, dari data penerbangan, jumlah penerbangan domestik per hari menuju Jakarta turun 67,3 persen pada April. Aktivitas di luar rumah yang menurun drastis membuat kualitas udara membaik. Data Air Quality Index menunjukkan, kualitas udara kawasan Bogor naik 44,9 persen, kawasan Bekasi naik 13,8 persen, dan kawasan Surabaya membaik 39,2 persen pada April. Ketiga, transaksi masyarakat bermigrasi, ditandai dengan peningkatan transaksi perdagangan secara elektronik atau e-dagang. Dari data berbagai pasar daring, transaksi pada April naik 4,8 kali lipat dibandingkan dengan transaksi pada Januari 2020. Lonjakan tertinggi pada transaksi makanan dan minuman, yakni 10,7 kali.
Pandemi Covid-19 menyisakan berita baik, yaitu kualitas udara yang membaik dan lonjakan transaksi daring. Namun, secara umum dampaknya terhadap perekonomian sangat berat. Pertumbuhan triwulan I-2020 masih 2,97 persen, tetapi pada triwulan II dan III diprediksi negatif. Secara teknis, jika pertumbuhan dua triwulan berurutan negatif, maka disebut resesi. Risiko resesi kian nyata akan terjadi. IMF memperkirakan, perekonomian negara maju rata-rata akan terkontraksi 8 persen pada tahun ini, sedangkan negara berkembang terkontraksi 3 persen. Berita baiknya, perekonomian negara berkembang akan pulih lebih dulu ketimbang negara maju.
Risiko resesi kian nyata akan terjadi.
Sebesar apa pun tantangan perekonomian global, negara berkembang memiliki posisi lebih baik dalam menghadapi resesi. Dengan kebijakan yang proporsional dan tepat, resesi bisa dilewati dan kita akan memasuki fase lain perekonomian.
Selain merancang pembukaan kembali sektor ekonomi secara bertahap dengan protokol kesehatan ketat, pemerintah juga memprioritaskan sembilan sektor untuk dibuka dengan catatan memenuhi syarat. Sembilan sektor tersebut adalah sektor pertambangan, perminyakan, industri, konstruksi, perkebunan, pertanian, perikanan, logistik, dan transportasi barang.
Pertimbangan memilih sembilan sektor ini adalah kontribusi terhadap perekonomian (produk domestik bruto/PDB) cukup tinggi, menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak, dan keterkaitan tinggi dengan sektor lain. Menurut hitungan Badan Pusat Statistik, angkatan kerja pada Februari 2020 sebanyak 137,1 juta orang. Sekitar 30 persen ada di sektor pertanian, 20 persen di sektor perdagangan, industri pengolahan 25 persen, konstruksi 5 persen, dan transportasi 3 persen.
Pembukaan kembali sektor ekonomi punya risiko jumlah penduduk yang tertular Covid-19 bisa meningkat. Selain itu, tak menjamin adanya permintaan masyarakat karena daya beli masyarakat menurun dan banyak yang memilih transaksi daring. Inilah suasana normal baru yang perlu terus dievaluasi efektifitasnya. Dalam jangka pendek, pasti akan terjadi tarik ulur antara relaksasi dan penutupan kembali, baik secara sukarela atau karena penerapan kebijakan dari pemerintah (daerah). Pada fase ini, yang diperlukan adalah merumuskan kembali normal baru perekonomian pascapandemi Covid-19.
Mungkin saja, banyak sektor yang sudah tak lagi relevan dan jika dipaksakan dibuka kembali tak akan bertahan secara bisnis. Sangat mungkin banyak penghuni pusat perbelanjaan tak lagi memerlukan gerai, tetapi harus memindahkan toko ke platform secara daring. Demikian pula dengan sektor makanan dan minuman dengan biaya sewa ruang mahal, mungkin tak relevan lagi. Fase awal relaksasi menjadi kesempatan evaluasi menyeluruh. Evaluasi bukan saja dari sisi bisnis proses, tetapi juga model bisnis berbagai kegiatan usaha. Bagi regulator, inilah saat terbaik memberi insentif bagi sektor/bidang usaha yang ramah lingkungan, inklusif, dan berorientasi pada keberlanjutan.
Bisa jadi resesi justru menjadi momentum seleksi sektor ekonomi/usaha yang memiliki kontribusi pada perbaikan kualitas udara serta adopsi teknologi. Pandemi Covid-19 adalah sebuah momentum peradaban yang memaksa kita berpikir dan berperilaku dengan prinsip keberlanjutan.