Terpukul Covid-19, Pengusaha Oleh-oleh di NTB Beralih Jualan Daring
›
Terpukul Covid-19, Pengusaha...
Iklan
Terpukul Covid-19, Pengusaha Oleh-oleh di NTB Beralih Jualan Daring
Terpuruknya industri pariwisata Nusa Tenggara Barat akibat pandemi Covid-19 turut berdampak pada usaha oleh-oleh. Mereka menutup toko fisik, kemudian beralih sementara ke penjualan secara daring.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS – Terpuruknya industri pariwisata Nusa Tenggara Barat akibat pandemi Covid-19 turut berdampak pada usaha oleh-oleh. Sepinya wisatawan membuat omzet turun sehingga pengusaha memilih menutup toko fisik, hingga merumahkan karyawan. Agar tetap bertahan hingga kondisi membaik, mereka beralih ke penjualan secara daring.
Pemilik Lestari Oleh-Oleh, toko oleh-oleh di kawasan Jalan Adi Sucipto Ampenan, Mataram Akhbar Habibie di Mataram, Selasa (30/6/2020) mengatakan, pandemi Covid-19 sangat berdampak pada usahanya. “Tiga bulan terakhir periode 2019 yakni Oktober, November, dan Desember omzet bersih sudah kembali. Tetapi begitu masuk Februari sampai sekarang, terus turun,” kata Habibie.
Menurut Habibie, sebelum pandemi, omset perbulan dari toko oleh-olehnya bisa mencapai Rp 100 juta. Produk yang dijual berasal usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dari pulau Lombok seperti olahan rumput laut, serta dari Sumbawa seperti susu kuda dan madu itu.
Alasan penutupan juga untuk menghindari penyebaran Covid-19. Apalagi yang belanja adalah tamu dari luar semua karena saat ini masih ada wisatawan. Kalau tidak ditutup, kami khawatir ada pembawa virus (Akhbar Habibie)
Saat ini, kata Habibie, omset perbulannya hanya sekitar Rp 4 juta – Rp 6 juta. Itu pun hanya dari madu. Turunnya omzet, membuatnya memutuskan menutup toko fisiknya sejak akhir Maret 2020 atau seminggu setelah kasus pertama Covid-19 di NTB terkonfirmasi.
“Alasan penutupan juga untuk menghindari penyebaran Covid-19. Apalagi yang belanja adalah tamu dari luar semua karena saat ini masih ada wisatawan. Kalau tidak ditutup, kami khawatir ada pembawa (virus),” ujarnya.
Menurut Habibie, karena menutup toko, otomatis ia merumahkan karyawannya. Gaji terakhir mereka hanya bisa diberikan pada akhir Maret lalu ditambah THR pada lebaran. Setelah itu, tidak bisa lagi karena tidak ada pemasukan.
Mendorong penguatan
Hal serupa juga disampaikan Rai Saputra, Ketua Pengurus Koperasi Serba Usaha (KSU) Syariah BMT Insan Samawa. KSU Syariah BMT Insan Samawa merupakan koperasi yang mendorong penguatan dan pemberdayaan ekonomi UMKM dengan mekanisme pembiayaan syariah di Sumbawa.
Rai mengatakan, sejak merebaknya Covid-19, mereka menghentikan permintaan terhadap sejumlah produk UMKM untuk oleh-oleh khas Sumbawa seperti kue kacang Manjareal, bronis madu dan bronis susu. “Sebelum pandemi, setiap bulan misalnya kami bisa menerima hingga 100 kotak lebih manjareal. Sekarang kami stop permintaan,” kata Rai.
Seperti di Lombok, oleh-oleh itu biasanya dibeli oleh wisatawan atau masyarakat yang akan keluar daerah. Tetapi sejak ada pembatasan, kunjungan sepi sehingga omset menurun hingga 80 persen. Apalagi, gerai mereka di Bandara Sultan Muhammad Kaharuddin Sumbawa, ikut tutup sejak bandara ditutup.
Habibie menambahkan, sejak menutup toko fisik, ia memutuskan beralih sementara ke penjualan secara daring. Semuanya dilakukan dari rumahnya. Produk yang ia jual yakni madu Sumbawa karena permintaannya terus datang.
“Saya promosi di Instagram, kemudian pembeli biasanya chat untuk memesan. Baik itu pembeli baru maupun pelanggan,” kata Habibie.
Selama pandemi, setiap bulan, Habibie bisa menjual sekitar 10-15 liter madu Sumbawa dengan harga Rp 400 ribu per liter. Sebagian besar pembelinya berasal dari Pulau Jawa.
Sementara untuk produk lain, kata Habibie, tidak dia jual karena tidak ada pembeli. Sisa produk yang sebelumnya ada di toko, sudah dikembalikan untuk yang menggunakan penjualan konsinyasi. “Kecuali untuk dodol. Tetapi mereka janji, nanti akan menggantinya dengan yang segar saat buka kembali. Saya berencana buka toko fisik pada pertengahan Juli. Tetapi itu juga masih fokus pada madu,” kata Habibie.
KSU Syariah BMT Insan Samawa juga mulai beralih ke daring. Tetapi Rai mengakui jika itu sulit juga mendongkrak pembelian terutama untuk produk oleh-oleh. “Kalau produk oleh-oleh kan sifatnya sekunder. Jadi belum signifikan karena pada saat pandemi, masyarakat cenderung ke kebutuhan pokok,” kata Rai.
Meski demikian, kata Rai, mereka tetap menggunakan daring karena melihat ada tren positif pada produk UMKM yang berbasis kesehatan. Misalnya olahan jahe dan temulawak madu. “Permintaan ada kenaikan untuk penjualan daring dengan pembeli dari Sumatera, Jogja, dan Jakarta,” kata Rai.
Lokapasar
Rai mengatakan, seterusnya mungkin akan lebih banyak fokus pada penjualan daring. Tidak hanya karena kondisi itu sepi wisatawan masih akan berlangsung lama, tetapi juga karena sudah ada pembicaraan dengan Perwakilan Dewan Perdagangan Islam Malaysia Datuk Sri Muhammad Rizal bin Muhammad Yusuf . Rencananya akan ada investasi dengan mengembangkan ada lokapasar (marketplace).
Mengingat belum ada kepastian kapan pandemi akan berakhir, Habibie berharap memudahkan masyarakat yang ingin berwisata. Misalnya dengan memberikan biaya tes cepat atau tes usap yang lebih murah.
Jika biaya terlalu tinggi, kata Habibie, maka orang akan berpikir dua kali untuk berwisata. Tetapi jika harga tes lebih murah dan mudah, tentu akan menarik masyarakat untuk berwisata. Termasuk mengalokasikan uang mereka untuk membeli oleh-oleh.
Sementara menurut Rai, pemerintah harus memaksimalkan promosi untuk menarik wisatawan. Tetapi, upaya itu harus dibarengi dengan tetap memperhatikan penerapan protokol kesehatan.
Terkait industri pariwisata, Pemerintah Provinsi NTB memang berencana membuka sejumlah obyek wisata unggulan. Meski demikian, menurut Wakil Gubernur NTB Sitti Rohmi Djalillah, mereka tidak ingin gegabah. Prinsip kehati-hatian menjadi prioritas sehingga tidak ada gelombang kedua Covid-19 yang justru akan memukul kembali sektor pariwisata.
Kepala Dinas Pariwisata NTB Lalu Moh Faozal mengatakan, pada masa normal baru sektor pariwisata, ada sejumlah fase yang akan dilakukan hingga 2021 mendatang. Mulai dari fase tanggap darurat yakni menekan dampak Covid-19 pada sektor pariwisata, fase pemulihan dengan fokus pada promosi, dan fase normalisasi yakni mengembalikan eksistensi pariwisata NTB.