Ekspresi dukungan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah dalam pengendalian pandemi relatif lebih tinggi disampaikan kalangan menengah. Di balik pesimisme yang ditonjolkan, kalangan ini justru yang adaptif.
Oleh
Bestian Nainggolan
·5 menit baca
Pandemi Covid 19 telah mengubah sisi mapan aktivitas masyarakat. Di antara yang terdampak, kalangan sosial ekonomi menengah cenderung menjadi yang paling tidak siap dan tidak antusias menghadapi perubahan.
Hasil survei Kompas yang dilakukan pada 9-12 Juni 2020 mengungkapkan berbagai sisi menarik perubahan akibat pandemi Covid 19. Paling menonjol, pola adaptasi perubahan pada kelompok sosial ekonomi masyarakat yang cenderung problematik. Pasalnya, bagaimana mungkin kelompok masyarakat yang dalam berbagai perubahan sosial dikenal paling dinamis, kali ini menjadi kalangan yang paling pesimistik?
Sebaliknya, di balik sifat pesimisme yang ditonjolkan, mengapa pula kalangan ini justru yang menjadi paling apresiatif dalam menilai segenap langkah dan kebijakan pemerintah selama ini dalam penanggulangan pandemi?
Dalam survei ini, kaum menengah ditandai oleh basis kepemilikan ekonomi dan strata sosial di atas rata-rata masyarakat, tetapi tidak menjadi yang paling atas. Dalam latar belakang ekonomi, misalnya, kaum menengah umumnya merupakan kalangan yang relatif mapan penghasilannya. Dengan penghasilan yang dimiliki, ia mampu mencukupi kebutuhan dan menikmati kehidupan ekonominya. Umumnya, mereka bekerja sebagai karyawan, baik pada sektor-sektor swasta maupun pemerintahan.
Begitu pula dari sisi strata sosial, seperti pendidikan. Sebagian besar kalangan ini berpendidikan menengah ke atas, bertumpu pada jenjang pendidikan setingkat universitas. Dari segi usia, kemapanan usia menjadi ciri khas yang menandakan. Umumnya berusia di atas 41 tahun sehingga jika dikelompokkan dalam generasi menjadi representasi dari Generasi X, baby Boomer, hingga silent generation.
Bagi kalangan menengah, tatkala pandemi Covid 19 menerjang, perubahan pola hidup menjadi pergulatan keseharian. Di satu sisi, masa pandemi telah mengikis penghasilan yang selama ini mereka peroleh dari pekerjaan yang dilakukan.
Bagi kalangan menengah, tatkala pandemi Covid 19 menerjang, perubahan pola hidup menjadi pergulatan keseharian.
Hasil survei menunjukkan, tidak kurang dari tiga perempat bagian dari kalangan ini (76,7 persen) mengaku berkurang penghasilannya. Dibandingkan dengan kelompok ekonomi lainnya, memang pengurangan terbesar terbanyak pada kalangan atas (Grafik 1).
Akan tetapi, pada kalangan atas jaring pengaman ekonomi yang lebih solid membuat proses adaptasi terhadap perubahan relatif menjadi lebih baik.
Di sisi lain, dengan perubahan pola penghasilan, secara rasional kelompok menengah berupaya menyiasati pola pemenuhan kebutuhannya. Apa yang terjadi, skala prioritas menjadi penting dilakukan. Pemenuhan kebutuhan hidup yang lebih bersifat primer selama pandemi menjadi prioritas utama. Sementara kebutuhan yang cenderung bersifat sekunder dan tersier tersisihkan. Gambaran hasil survei menunjukkan bahwa kalangan menengah menjadi semakin protektif ketimbang kelompok masyarakat lainnya.
Dengan pergulatan yang dialaminya, jelas kondisi-kondisi mapan yang dirasakan menjadi terganggu. Dalam cara pandang mereka, pandemi menjadi suatu persoalan ancaman yang harus sangat serius disikapi. Selain itu, mereka juga menyadari jika ancaman kali ini bakal tidak cepat terpulihkan. Dalam hasil survei ini, misalnya, lebih dari separuh bagian kelompok menengah yang paling meyakini jika pemulihan pandemi akan memakan waktu yang relatif panjang (Grafik 2).
Kurun waktu lebih dari tiga bulan berhadapan dengan pandemi membuat mereka mengukur segenap kemampuan yang dimiliki. Pertanyaan-pertanyaan apakah dengan perubahan yang dilalui mereka mampu beradaptasi dalam pola kehidupan normal baru tampaknya lebih banyak mewarnai segenap pergulatan kalangan menengah.
Namun, bagi kalangan menengah, hasil survei ini mengunjukkan bahwa sisi pesimistis yang kerap mendominasi cara pandang mereka. Sisi pesimistis semacam ini tergambarkan dari respons kesiapan (readiness) dan antusiasme (eagerness) yang ditonjolkan dalam memasuki kehidupan normal baru.
Dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya, kelompok menengah ini yang terlihat paling tidak siap dalam menghadapi perubahan kehidupan. Selain itu, mereka pun cenderung yang paling kurang antusias menghadapinya (Grafik 3).
Jika ditelusuri, respons pesimistik kalangan ini tumbuh dengan beragam pertimbangan. Sebagai kalangan menengah, pemahaman terhadap pandemi tampaknya relatif lebih luas dibandingkan dengan kelompok lainnya. Akses komunikasi dan interaksi yang lebih instens pada kalangan yang rata-rata berpendidikan relatif tinggi ini semakin membuka cakrawala pemahaman bagaimana seriusnya ancaman pandemi yang tidak kasatmata itu.
Begitu pula, umumnya mereka menyadari bahwa persoalan pandemi merupakan persoalan ancaman kesehatan tubuh secara global yang terjadi pada sebagian besar negara, bahkan tidak terluputkan pada negara-negara yang tergolong maju. Itulah mengapa bahwa pada kalangan ini telah mampu memilah dan menafsirkan secara jelas adanya ancaman kesehatan yang menanti.
Oleh karena begitu besar dampak yang ditimbulkan, dan kini sisi mapan kehidupan yang mereka miliki pun telah terganggu dibuatnya, membuat rasa pesimistik terhadap kesiapan dan antusiasme cenderung muncul. Bagi kalangan menengah, tampaknya jalan terbesar harapan perubahan dan pemulihan tidak lagi dapat sepenuhnya disandarkan pada dirinya. Sebaliknya, negara ataupun pemerintah, bagi kalangan ini, menjadi jawaban paling relevan yang mampu mengatasi persoalan.
Oleh karena itu, ekspresi dukungan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah dalam pengendalian pandemi relatif lebih tinggi disampaikan kalangan menengah. Berdasarkan hasil survei ini, misalnya, berbagai kebijakan pemerintah dalam penanganan pandemi dinilai lebih dua pertiga kalangan menengah telah dijalankan secara konsisten. Padahal, bagi kelompok masyarakat lainnya hanya separuh bagian yang menilai konsisten (Grafik 4).
Tingkat kepuasan yang dinyatakan kalangan menengah terhadap kinerja pemerintah pun tampak memuaskan dan mereka merasa yakin bahwa pemerintah mampu mengatasi persoalan ancaman pandemi ini.
Dalam konteks politik, bagi pemerintah, dukungan kaum menengah terhadap kinerja pemerintah semacam ini jelas membawa angin segar. Kalangan menengah yang dalam banyak persoalan dikenal paling kritis tersebut, dalam permasalahan ancaman pandemi ini cenderung berpihak. Berbagai upaya pemerintah melalui kebijakan yang dilakukan setidaknya diterima oleh kalangan menengah.
Meski demikian, menjadi persoalan kini apakah apresiasi kalangan semacam itu dapat terus-menerus terjaga di tengah arus perubahan yang semakin menggerus sisi mapan kalangan menengah? (LITBANG KOMPAS)