Pandemi Covid-19 terus meluas dan merenggut banyak korban jiwa di sejumlah negara adi dunia. Kini masyarakat di seluruh dunia menanti kehadiran vaksin yang efektif menangkal virus korona tipe baru pemicu penyakit itu.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 telah menginfeksi 10,4 juta orang dan menewaskan 508.000 orang di seluruh dunia hingga Selasa (30/6/2020). Dengan penambahan kasus baru bisa mencapai 195.000 per hari, rata-rata ada dua orang yang terinfeksi tiap detiknya.
Kasus yang terus melaju ini membuat umat manusia kini diliputi ketidakpastian mengenai kapan dan bagaimana wabah bisa dikendalikan. Padahal, semakin lama Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru itu melanda, dampaknya bisa semakin dalam ke berbagai sendi kehidupan.
Pandemi merupakan siklus berulang dan menjadi pembunuh utama manusia, selain perang serta bencana alam. Flu spanyol pada 1918-1920 menginfeksi 500 juta orang dan menewaskan 50 -100 juta penduduk Bumi.
Wabah ini di Jawa dikenal sebagai pagebluk, yang menurut penelitian Siddharth Chandra di jurnal Population Studies (2013) menewaskan 4,3 juta orang hanya di Pulau Jawa dan Madura. Sementara di daerah lain, korbannya rata-rata mencapai 10 persen populasi.
Penyakit cacar (smallpox), pes, dan kolera secara berulang mewabah dan menjadi ancaman utama kehidupan manusia modern. Sepanjang abad ke-20 saja, cacar telah menginfeksi 300 juta orang, sebelum berhasil diberantas pada tahun 1980-an berkat masifnya surveilans dan kesuksesan vaksin.
Ya, vaksin memang menjadi pembeda dalam sejarah penanganan penyakit infeksi. Sebelum vaksin ditemukan, dunia merupakan tempat yang jauh lebih berbahaya, di mana jutaan orang meninggal setiap tahun dari berbagai penyakit yang sekarang dapat dicegah.
China diketahui merintis bentuk pertama vaksinasi pada abad ke-10, dengan memaparkan orang sehat ke jaringan kulit yang mengalami koreng. Delapan abad kemudian, dokter Inggris, Edward Jenner, pada 1976 menemukan vaksin cacar, berkat kejeliannya mengamati perempuan pemerah susu yang berulang kali terpapar cacar sapi (cowpox) ringan, tetapi terlindungi dari smallpox mematikan.
Jenner kemudian melakukan percobaan dengan menyuntikkan nanah dari cacar sapi ke anak laki-laki usia delapan tahun yang tidak lama kemudian memperlihatkan gejala penyakit itu, tetapi segera sembuh dan menjadi kebal terhadap cacar. Pada 1798, hasil percobaan ini diterbitkan dan kata vaksin, yang berasal dari bahasa Latin vacca yang berarti sapi, tercipta.
Vaksin yang memiliki tujuan untuk memicu respons tubuh guna melindungi dari patogen dari luar terus dikembangkan. Louis Pasteur memelopori pembuatan vaksin untuk rabies, kolera, dan anthrax pada awal abad ke-20. Vaksin ini dibuat dengan menyuntikkan bakteri patogen yang telah dilemahkan.
Berikutnya, vaksin menjadi senjata pamungkas untuk melawan berbagai penyakit infeksi mematikan. Sekitar 2,6 juta orang hampir meninggal karena campak setiap tahun sebelum vaksin penyakit ini diperkenalkan pada tahun 1960-an. Vaksinasi, menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menurunkan sekitar 80 persen angka kematian karena campak antara tahun 2000 dan 2007.
Kini, vaksin kembali diharapkan menjadi senjata pamungkas terhadap Covid-19. Namun, membuat vaksin bukanlah perkara mudah dan murah. Misalnya, vaksin ebola baru rampung dibuat setelah lima tahun. Bahkan, vaksin demam berdarah dengue membutuhkan 30 tahun penelitian, sebelum akhirnya tersedia di pasaran, itu pun efektivitasnya masih dipertanyakan.
Seiring dengan sebaran Covid-19 yang semakin tak terbendung, kebutuhan terhadap vaksin pun meningkat. Di seluruh dunia, lebih dari 100 vaksin Covid-19 saat ini tengah dikembangkan, dengan satu perusahaan farmasi Eropa memperkirakan siap untuk memproduksi secara global pada awal September 2020. Di China, tempat wabah ini bermula, lima vaksin sedang diuji pada manusia, dan sebuah badan pemerintah mengatakan setidaknya satu di antaranya bisa siap pada akhir tahun ini.
Indonesia yang terlambat masuk gelanggang mengandalkan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Kementerian Riset dan Teknologi untuk menyiapkan vaksin. Sejauh ini progresnya baru 10-20 persen, sekalipun mereka masih optimistis bisa menyelesaikannya pada Maret 2021.
Jika vaksin Covid-19 ini berhasil dibuat tim peneliti di Lembaga Eijkman, untuk pertama kali Indonesia bakal memiliki vaksin yang dibangun dari nol. Meski barangkali terlambat, Indonesia memang harus memiliki vaksin sendiri. Selain mengantisipasi kemungkinan mutasi virus, yang artinya harus terus memodifikasi vaksin yang dibuat, kebutuhannya pada masa depan sangat besar.
Agar efektif memutus penularan Covid-19, vaksin ini harus diberikan minimal kepada 70 persen dari populasi agar terbentuk kekebalan kelompok atau dikenal sebagai herd immunity. Itu berarti, untuk Indonesia saja dibutuhkan minimal 189,7 juta vaksin, dengan catatan vaksin yang dibuat harus memiliki efektivitas sangat tinggi.
Agar efektif memutus penularan Covid-19, vaksin ini harus diberikan minimal kepada 70 persen dari populasi agar terbentuk kekebalan kelompok atau dikenal sebagai herd immunity.
Masalahnya, dengan waktu yang singkat, akankah vaksin yang dihasilkan nanti akan efektif? Belum lagi, kita juga masih menghadapi orang-orang yang antisains, yang salah satu manifestasinya adalah antivaksin. Belajar dari penerapan vaksin untuk berbagai wabah sebelumnya, dibutuhkan waktu bertahun-tahun hingga cakupannya bisa meluas dan efektif.
Kita tentu jangan berhenti berharap, tetapi ketidakpastian tentang kapan dan bagaimana wabah ini bakal berakhir masih menyisakan banyak tanda tanya. Karena itu, sambil menunggu para peneliti berlomba mencari vaksin, langkah terbaik yang bisa dilakukan saat ini adalah tetap berupaya semaksimal mengendalikan penularan.
Untuk skala negara, tes, penelusuran, dan perawatan pasien tetap menjadi kunci mengurangi korban. Sementara di level individu, siapa saja bisa berperan dengan menjaga protokol kesehatan dengan tetap memakai masker, menjaga jarak, dan rajin cuci tangan.