Atasi Antrean, Kereta Harus Kosong di Stasiun Akhir
›
Atasi Antrean, Kereta Harus...
Iklan
Atasi Antrean, Kereta Harus Kosong di Stasiun Akhir
PT KCI menerapkan aturan mengosongkan kereta di stasiun akhir guna mengatasi antrean penumpang. Adapun Disnakertrans dan Energi DKI Jakarta memastikan kantor menerapkan jam kerja untuk menghindari lonjakan penumpang.
Oleh
Helena F Nababan
·6 menit baca
PT Kereta Commuter Indonesia yang mengelola pengoperasian kereta rel listrik se-Jabodetabek memastikan kereta harus dikosongkan saat tiba di stasiun akhir. Langkah itu dilakukan untuk menanggulangi antrean penumpang di luar stasiun yang masih saja panjang saat jam sibuk.
Erni Sylvianne Purba, Vice President Corporate Communications PT Kereta Commuter Indonesia (PT KCI), Rabu (1/7/2020), menjelaskan, sejak pembatasan sosial berskala besar (PSBB) masa transisi, jumlah penumpang KRL terus meningkat. Di tengah pandemi Covid-19, manajemen PT KCI menerapkan protokol kesehatan, salah satunya membatasi jumlah penumpang di dalam stasiun, di peron, dan di dalam kereta. Akibatnya, penumpang yang hendak masuk stasiun mengantre.
Di sejumlah stasiun pemberangkatan, penumpang harus mengantre demi bisa naik kereta. Oleh sebagian penumpang, hal itu dirasa menyulitkan sehingga ada sejumlah penumpang yang diketahui naik KRL ke stasiun-stasiun yang menjadi titik pemberangkatan meskipun stasiun tujuannya berada di arah sebaliknya. Mereka naik KRL ke arah yang sesungguhnya berlawanan dengan stasiun tujuannya agar dapat naik kereta dengan cepat tanpa harus mengikuti penyekatan dan antrean pengguna di stasiun.
Sebagai contoh, pada pagi hari, sejumlah orang dengan tujuan akhir Stasiun Gondangdia naik dari Stasiun Cilebut. Namun, bukannya menunggu kereta di peron arah ke Jakarta Kota, mereka menunggu kereta di peron arah ke Bogor yang tidak ada penyekatan karena memang arah tersebut berlawanan dengan pola pergerakan mayoritas penumpang pada jam sibuk.
Mereka kemudian menaiki kereta arah ke Bogor yang memang kosong. Sesampainya di Stasiun Bogor, mereka tetap duduk, tidak turun dari kereta dan langsung menunggu kereta berangkat kembali ke arah Jakarta Kota.
Pada sore hari, sejumlah pengguna dengan tujuan Bogor atau Bekasi juga memilih untuk naik kereta tujuan Jakarta Kota lebih dahulu. Di Stasiun Jakarta Kota, mereka menunggu di dalam hingga kereta berangkat kembali ke arah sesuai stasiun tujuannya.
Perilaku ini, lanjut Purba, sebenarnya telah ada sejak masa sebelum pandemi Covid-19. Sebelumnya, sebagian pengguna KRL menempuh cara ini untuk mendapatkan tempat duduk selama perjalanan menggunakan KRL.
Namun, di masa pandemi dengan berbagai pembatasan yang ada, Purba menegaskan, tindakan tidak bertanggung jawab semacam ini membuat jumlah pengguna dari stasiun pemberangkatan tidak dapat dimuat maksimum ke dalam kereta. Dampaknya, antrean kereta di stasiun menjadi tidak lancar. Tindakan sebagian pengguna itu membuat ribuan orang harus mengantre lebih lama lagi di stasiun.
”Untuk itu, petugas pengamanan akan menyisir kereta sesampainya di stasiun dan meminta semua pengguna yang ada untuk turun dan mengosongkan kereta sebelum diisi pengguna yang telah menunggu di peron. Para pengguna tersebut jika ingin kembali menggunakan KRL harus melakukan tap out di gate elektronik stasiun, kemudian mengantre kembali dari titik awal antrean di stasiun pemberangkatan,” tuturnya.
Petugas pengamanan akan menyisir kereta sesampainya di stasiun dan meminta semua pengguna yang ada untuk turun dan mengosongkan kereta sebelum diisi pengguna yang telah menunggu di peron.
Langah itu dilakukan agar mereka yang hendak menyiasati antrean dapat diedukasi dan tidak coba-coba lagi melakukan hal serupa.
Adapun terkait upaya mengurangi antrean, sebetulnya Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) bersama Pemprov DKI Jakarta sudah menyiapkan sejumlah bus gratis bagi penumpang KRL. Bus-bus itu ditempatkan di stasiun keberangkatan guna mengurangi kepadatan di dalam stasiun dan kereta.
Budi Rahardjo, Kepala Humas BPTJ, menjelaskan, bus gratis ini sifatnya semula membantu mengurai kepadatan penumpang KRL pada waktu-waktu tertentu agar KRL bisa tetap menjalankan jaga jarak aman antar-penumpang. Jadi, benar-benar sifatnya membantu mengalihkan penumpang KRL pada saat terjadi lonjakan.
Evaluasi menunjukkan, waktu-waktu padat tersebut terjadi pada Jumat sore dan Senin pagi. ”Oleh karena itu, bus-bus tersebut disediakan hanya pada Jumat sore dan Senin pagi. Jika kemudian ternyata jumlah penumpang semakin banyak dan muncul demand yang konsisten, tidak tertutup kemungkinan akan dibuka rute bus reguler atau penataan rute bus sehingga sebagian masyarakat pengguna KRL bisa beralih menggunakan bus,” kata Budi.
Namun, lanjut Budi, sebetulnya perlu diingat bahwa masa normal baru tetap tidak dapat disamakan dengan masa sebelum pandemi. Sejauh masih terjadi pandemi, prinsipnya tetap perlu dilakukan pembatasan dan pengaturan aktivitas agar sesuai dengan kondisi baru.
Untuk angkutan umum massal, misalnya, tidak mungkin ketersediaan sarana dan prasarana yang ada mampu mengakomodasi tuntutan yang sama seperti sebelum pandemi. Hal itu karena adanya ketentuan penegakan agar selalu dipastikan ada jarak antar-orang sesuai protokol. Demikian pula, tidak mungkin ketersediaan sarana dan prasarana ditingkatkan secara signifikan dalam waktu singkat.
Peningkatan atau lonjakan penumpang KRL, menurut Ketua DPD HIPPI DKI Jakarta Sarman Simanjorang, salah satunya karena geliat di sektor informal mulai terasa.
Sampai saat ini, lanjut Simanjorang, perkantoran termonitor masih disiplin melaksanakan pengaturan jam kerja. ”Hal ini dapat kita lihat di berbagai perkantoran yang masih relatif belum ramai seperti biasanya,” ujarnya.
Namun, geliat ekonomi yang sudah mulai berputar, seperti pembukaan mal dan berbagai pusat perbelanjaan, kemudian geliat bisnis UKM yang sudah mulai berjalan, menambah masuknya tenaga kerja yang semakin meningkat. Jadi, memang perlu ada pengawasan dan pengaturan rute serta penambahan moda transportasi di stasiun ataupun terminal yang berpotensi menimbulkan kerumunan.
”Jadi, naiknya jumlah penumpang di angkutan umum didominasi pekerja nonformal atau pekerja jasa UKM di DKI Jakarta. Kita sangat berharap masyarakat atau para pekerja tetap disiplin melaksanakan protokol kesehatan baik dalam perjalanan maupun di tempat pekerja,” kata Sarman.
Ia menambahkan, pengusaha sangat berkomitmen menerapkan protokol kesehatan di tempat kerja. Mereka sangat berharap pembatasan sosial berskala besar masa transisi ini berjalan sukses. Dengan begitu, tidak ada kebijakan baru pengetatan PSBB yang akan merugikan dunia usaha.
Budi menambahkan, untuk itu, yang paling diperlukan memang ada pengaturan jam masuk dan pulang kerja dengan jeda minimal tiga jam di wilayah Jabodetabek sehingga mobilitas pekerja tidak menumpuk pada jam tertentu saja. Jika dapat diimplementasikan, aturan ini sebenarnya akan dapat mencegah penumpukan penumpang pada KRL karena keberangkatan bisa tersebar di jam-jam yang selama ini masih lenggang.
Yang paling diperlukan memang ada pengaturan jam masuk dan pulang kerja dengan jeda minimal tiga jam di wilayah Jabodetabek sehingga mobilitas pekerja tidak menumpuk pada jam tertentu saja.
Andri Yansyah, Kepala Dinas Tenaga Kerja, Energi, dan Transmigrasi DKI Jakarta, menilai, berdasarkan pengawasan Disnakertrans dibantu 2.000 PNS dengan 170 orang di antaranya dari Disnakertrans, kepatuhan perusahaan atau perkantoran dalam pengelolaan jam masuk kantor dan jumlah karyawan yang masuk serta penerapan protokol Covid-19 sudah baik. Dari 1.259 perusahaan atau perkantoran yang disidak, dua saja yang diminta tutup. Sebanyak 351 kantor atau tempat kerja mendapat peringatan pertama dan 101 mendapat peringatan kedua.
Secara terpisah, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam konferensi pers tentang PSBB transisi lanjutan di Balai Kota DKI Jakarta menyatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan melakukan pengawasan dan pengetatan protokol kesehatan pada dua area utama yang memiliki probabilitas tinggi penyebaran Covid-19, yakni pasar dan KRL.
Untuk KRL, Pemprov DKI Jakarta akan menggandeng semua pihak untuk mengeksekusi langkah tersebut. Di sektor transportasi umum massal, khususnya KRL, akan disiapkan skema pengawasan dan pengendalian pengguna jasa transportasi tersebut. Pemprov DKI Jakarta juga akan menggandeng semua pihak, baik TNI-Polri maupun PT KCI.
”Secara umum, nanti jajaran baik TNI, polisi, maupun Pemprov akan bekerja sama dengan KCI untuk bisa memantau pengaturan penumpang di KRL. Jadi, kesimpulan dalam pertemuan tadi, kami perpanjang 14 hari (PSBB masa transisi fase 1) dan akan ada pengendalian di dua wilayah (pasar dan KRL) itu,” kata Anies.