Cinta di Tengah Wabah Korona
Di kota, tiga belas kilometer dari kampung Kregolan, di ruang khusus sebuah rumah sakit pemerintah, Pidil terbujur di salah satu tempat tidur pasien.
Sarmiji membalikkan badan untuk membuka kembali pintu depan rumahnya setelah baru berjalan dua langkah ke dalam karena mendengar suara seseorang memanggil di luar. Tadinya ia hendak mandi setelah mengurus kebun kecil di samping rumahnya. Ia memang sudah mencuci kaki dan tangannya dengan sabun lewat keran air yang ada di halaman rumahnya sesuai anjuran yang akhir-akhir ini sering ia dengar, tetapi ia masih merasa kurang bersih kalau belum membasuh seluruh tubuhnya.
”Permisi, Pak, apakah benar ini rumahnya Pak Sarmiji?”
”Ya, benar, saya sendiri. Ada apa ya?”
”Saya mencari indekos. Saya dengar di rumah ini ada kamar kosong yang mau disewakan. Apa betul, Pak?”
”O ya, mari duduk dulu,” Sarmiji menyilakan tamu asing itu duduk di kursi rotan yang ditata di teras depan rumahnya. Dia adalah seorang laki-laki muda, yang dari tampangnya kira-kira berusia 20 tahunan awal. Dari penampilan dan logatnya, Sarmiji yakin si pemuda adalah perantau.
”Kok, jenengan bisa tahu?”
”Bu Martini yang tinggal di situ yang memberi tahu,” kata si tamu sambil menunjuk arah rumah orang yang dimaksud.
”O, Martini. Dia itu sepupu saya. Kok, bisa kenal Martini?”
”Ketemu kemarin. Saya lewat di depan rumah Bu Martini. Kebetulan beliau sedang menyapu halaman. Saya tanya, ’ada tidak warga di sini yang menerima anak indekos’. Bu Martini bilang ada, tiga rumah ke arah timur.”
”O, jadi begitu. Jenengan namanya siapa?”
”Pidil, Pak.”
”Pidil?”
”Iya, Pak. Pidil Markotip.”
”Pidil Markotip?”
”Ya, Pak.”
”Jenengan di sini mencari ketenangan? Pas sekali. Di sini sangat tenang. Jenengan bisa belajar dengan tenang.”
”Iya, Pak. Sepertinya suasana di sini tenang sekali.”
”Tapi, maklum, ya, anak saya itu agak rewel,” kata Sarmiji, menunjuk ke arah anaknya yang sedang bermain sendirian di bawah pohon duku di halaman rumahnya.
Pidil melihat sebentar ke arah gadis yang ditunjuk Sarmiji sebelum menjawab, ”O, ya, Pak, tidak apa-apa. Tidak masalah.”
Perkenalan dengan anak muda itu berlangsung tidak lebih dari satu jam. Sarmiji yakin kalau sosok di hadapannya orang baik-baik setelah puas mengorek informasi tentang latar belakangnya. Ia pun menerima anak muda itu untuk menempati kamar kosong di lantai atas rumahnya.
Sarmiji memang tidak terlalu ngotot ingin menyewakan kamar kosong tersebut. Ia menyewakannya lebih supaya rumahnya tidak terlalu sepi. Rumah itu hanya ia, istri, dan anak satu-satunya yang menempati. Karena itu, ia sangat selektif terhadap calon penumpang di rumahnya.
***
Sejak dulu, di Padukuhan Kregolan belum pernah ada warga yang rumahnya ditumpangi anak kos. Letaknya yang jauh dari kota dianggap tidak cocok bagi perantau yang umumnya beraktivitas di pusat kota, entah kuliah atau bekerja. Sarmiji, dengan demikian, menjadi yang pertama dan satu-satunya. Pria 62 tahun itu tak peduli soal kepanikan massal yang tengah melanda manusia di mana-mana ketika menerima anak muda itu menumpang di rumahnya.
Perihal anak muda yang kini menyewa kamar di rumah Sarmiji, ia adalah mahasiswa semester akhir di salah satu universitas di Yogyakarta. Ia berbadan kurus dan tinggi, berkulit kuning langsat, rambutnya gondrong keriting dan lebih sering diikat, mirip ekor kuda yang terbakar. Wajahnya tirus, tulang pipinya menonjol ke depan, dan tatapannya seperti seperti ayam bangkok ketika tidak sedang bicara. Namun, saat sedang tersenyum, ia tampak ganteng terutama karena giginya rapi dan bersih.
”Jenengan di sini mencari ketenangan? Pas sekali. Di sini sangat tenang. Jenengan bisa belajar dengan tenang.”
Ia mencari ketenangan untuk menyelesaikan skripsinya. Di indekos lamanya di kota, ia selalu terganggu oleh para penghuni lain yang kerap bising tanpa kenal waktu. Ia tak sengaja sampai di Kregolan ketika pada suatu sore yang cerah di tengah-tengah musim hujan, ia jalan-jalan bersama pacarnya naik sepeda motor Astrea Star kesayangannya, menyusuri jalanan perdesaan di pedalaman Kecamatan Seyegan, Sleman. Waktu itu ia belum tahu nama-nama kampung yang dilewatinya, termasuk Kregolan tempat ia tinggal sekarang. Ia terpesona melihat perkampungan Seyegan yang banyak terdapat hamparan sawah serta bukit-bukit pendek yang rimbun dan tak terjamah. Dari bentangan sawah paling barat, ia dapat melihat pebukitan Menoreh dengan jelas. Sementara di sebelah utara, ia dapat memandang Gunung Merapi dan Gunung Merbabu yang tampak seperti sepasang kekasih yang sedang berswafoto. Sejak saat itu ia kemudian hampir setiap hari jalan-jalan ke perdesaan Seyegan untuk melepas penat di kepalanya sambil mencari-cari rumah warga yang menerima anak kos, hingga tibalah sekarang keinginannya itu tercapai.
Di lantai atas rumah Sarmiji, anak muda itu menempati kamar yang cukup lapang. Di luar kamarnya ada ruang tamu yang juga lapang, sangat lapang bahkan untuk seorang anak kos yang tinggal sendiri. Kamar itu memiliki dua pintu, satu di depan menghadap ruang tamu sedangkan yang satunya lagi di belakang menghadap ke kebun kecil milik si tuan rumah. Di luar pintu belakang kamar ada balkon yang tidak lebar, kira-kira hanya satu langkah kaki orang dewasa, tapi cukup untuk berdiri memandang ke arah kebun. Di ujung lorong balkon itu ada kamar mandi tanpa saluran untuk buang air besar. Karena itu setiap hendak buang air besar, anak muda itu harus turun ke kamar mandi yang ada di bawah.
Setiap pagi setelah bangun tidur, anak muda itu selalu memandangi kebun dari balkon. Ia akan mendapati Sarmiji dan istrinya di bawah sana, merawat tanaman di kebun mereka. Di kebun itu mereka menanam terong ungu, cempokak, cabai rawit, pisang kepok, dan pepaya california. Sepasang suami-istri pensiunan guru itu sangat rajin dan telaten. Tak cuma menyiram dan membersihkan gulma yang mengganggu, mereka juga selalu memastikan tak ada hama yang dapat merusak tanaman mereka. Daun-daun kering atau yang mulai menguning mereka sisihkan. Mereka baru akan berhenti ketika matahari pagi mulai menyengat.
Kadang-kadang, anak gadis mereka juga ikut menemani mereka di kebun, bukan untuk membantu mereka merawat tanaman, melainkan bermain air dari selang yang dicolokkan ke keran yang tak jauh dari kebun. Sarmiji dan istrinya sering kewalahan tiap kali anak gadis mereka itu ikut berkebun.
Rumah Sarmiji terbilang besar untuk ukuran pensiunan guru. Di dalamnya ada lima kamar, termasuk satu di lantai atas yang kini ditempati Pidil, tiga kamar mandi, dua ruang tamu, dapur yang luas, serta satu ruangan tempat menaruh barang-barang yang tak terpakai. Sarmiji dan istrinya bahu-membahu membangun rumah itu dengan menabung selama lebih dari 35 tahun, menyisihkan separuh gaji yang mereka terima saban bulan selama masih aktif bertugas. Rumah itu jelas sunyi karena penghuninya tak sebanding dengan jumlah kamarnya.
Setelah berkebun, kadang-kadang mereka tidak langsung masuk ke dalam dan beristirahat, melainkan kembali menyapu halaman rumah mereka meski hanya ada beberapa lembar daun duku yang gugur. Kadang-kadang ketika pepaya california atau pisang kepok mereka mulai menguning, mereka akan memanennya, lalu menjualnya ke warung kelontong yang tak jauh dari rumah mereka.
Selain berkebun, nyaris tak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukan Sarmiji dan istrinya, kecuali bolak-balik memperhatikan bunga-bunga di halaman rumah mereka yang kerap dirusak oleh anak gadis mereka. Di sana ada bunga mawar dengan tiga warna yang ditanam langsung di tanah tanpa pot. Ada juga tanaman bidara, bunga kertas, dan anggrek, yang semuanya mereka beli. Selain itu juga ada tanaman paku dan rumput dandelion yang tumbuh sendiri. Sedikit-sedikit mereka pangkas bagian yang kepanjangan atau bagian yang sudah layu. Mereka tak punya teman lain selain anak gadis mereka satu-satunya yang masih aktif lari ke sana lari ke sini alih-alih berpacaran.
****
Pidil Markotip lekas akrab dengan keluarga Sarmiji. Saban hari sesudah maghrib, mereka berkumpul di teras rumah, ngobrol-ngobrol tentang pengalaman hidup masing-masing. Hampir setiap hari pula Pidil diberi makanan, entah kue atau nasi dengan lauk pauk. Sarmiji dan istrinya senang belaka bisa bersedekah makanan kepada Pidil seperti halnya Pidil sangat senang menerimanya.
Tidak hanya suami-istri pensiunan guru itu saja yang senang dengan keberadaan Pidil. Anak gadis mereka, Eta, juga sangat senang. Dia jadi punya teman yang bisa diajak bermain walaupun yang diajak bermain sering kewalahan. Ya, Pidil mau tak mau harus meladeni Eta main boneka, masak-masakan, atau petak umpet--permainan-permainan yang tak pantas untuk anak seusianya. Sebenarnya Pidil senang meladeni Eta, namun, yang kadang membuatnya jengkel, Eta tak pernah mau berhenti bermain dengannya kecuali setelah dipukul oleh ayahnya. Jika sudah demikian, Pidil jadi merasa serba salah. Ia kasihan terhadap Eta, tapi di sisi lain permainan harus dihentikan karena ia harus melanjutkan garapan skripsinya.
***
Sejak pindah indekos, Pidil jadi jarang ketemu pacarnya. Ketatnya norma sosial di desa membuat ia tak berani mengajak pacarnya main ke kamarnya. Lagipula, sejak awal ia telah menyepakati ketentuan yang dibuat oleh Sarmij, bahwa tidak boleh membawa teman lawan jenis ke kamar. Pacarnya pun, sebenarnya, juga tidak terlalu keberatan dengan hal itu.
”Enggak apa-apa. Hitung-hitung kita pacaran halal mulai sekarang,” kata pacarnya saat ia meminta persetujuan untuk pindah indekos ke perdesaan.
Namun, setiap hari Minggu, ia dan pacarnya tetap jalan-jalan sore seperti biasa. Suatu sore sebelum jalan-jalan, pacarnya diajaknya mampir ke indekosnya, duduk-duduk di teras rumah sambil minum teh bersama pemilik rumah.
”Mbaknya kuliah juga?” tanya Sarmiji, menanyai pacar Pidil.
”Ya, Pak, satu kampus dengan Pidil.”
”Satu kelas juga?”
”Enggak, Pak. Beda fakultas dan beda jurusan. Saya Kedokteran, Pidil Antropologi.”
”Kedokteran?”
”Iya, Pak. Sekarang sedang co-ass,” jawab pacar si Pidil.
”Wah, hebat.”
Pintu depan di sebelah teras tempat Pidil, pacarnya, dan Sarmiji, duduk sambil mengobrol tiba-tiba terbuka. Yang keluar bukan istrinya, tetapi anak gadisnya. Dia menggendong boneka beruang kesayangannya dengan tangan kiri. Tangan kanannya memegang Choki-Choki. Mulutnya belepotan cokelat. Rambutnya tidak dikepang seperti biasa, tetapi tergerai, tampak awut-awutan karena tak disisir. Dia memandangi Pidil dan pacarnya saat Pidil dan pacarnya memandanginya. Sesudah itu ia menoleh ke arah ayahnya. Tak lama kemudian, dicampakkannya Choki-Chokinya yang masih berisi separuh, lalu berlari masuk kembali ke dalam rumah dan menutup pintu keras-keras.
”Kami jalan-jalan dulu, ya, Pak,” Pidil dan pacarnya pamit kepada Sarmiji.
”Monggo. Hati-hati, ya.”
***
Dua bulan lebih tiga hari sejak Pidil tinggal di kampung Kregolan, terjadi kehebohan di rumah Sarmiji. Warga berbondong-bondong mendatangi rumah Sarmiji, meminta pemuda gondrong itu diusir. Melihat keramaian di halaman rumahnya yang diiringi dengan teriakan-teriakan, anak gadisnya yang seminggu lagi akan genap berusia 22 tahun, menangis ketakutan. Eta menggenggam erat lengan ayahnya, memohon agar ayahnya membela Pidil. Ketika ayahnya melepaskan genggamannya, ia berpaling ke tangan ibunya. Ibunya pun, dengan berat hati, juga tidak dapat memenuhi permintaannya.
Kamar lantai atas tempat Pidil menumpang kini kosong. Beberapa barang seperti meja belajar, laptop, dan lemari kecil masih di dalam, tetapi penghuninya sudah tidak ada. Di atas kasur, guling terbaring menindihi bantal.
”Bapak-bapak dan ibu-ibu tidak perlu khawatir. Mas Pidil sekarang sudah tidak tinggal di sini lagi,” kata Sarmiji menghampiri warga di halaman rumahnya.
Sebenarnya, tidak ada kejadian apa pun di rumah Sarmiji yang patut membuat warga geram. Sarmiji baik-baik saja, istrinya baik-baik saja, dan Eta—sejauh ini— juga baik-baik saja. Pidil pun dikenal sangat ramah dan santun. Semua warga disapanya. Kenyataannya warga juga tidak sampai memeriksa rumah Sarmiji, apalagi sampai menggerebek kamar si anak kos.
Di kota, tiga belas kilometer dari kampung Kregolan, di ruang khusus sebuah rumah sakit pemerintah, Pidil terbujur di salah satu tempat tidur pasien. Ia didiagnosis positif terinfeksi virus korona. Ia menjadi pasien Covid-19 nomor urut 196 sejak pandemi itu masuk ke Indonesia. Pacarnya telah lebih dulu terinfeksi, diduga karena tertular oleh pasien yang ditanganinya tepat seminggu sebelum dirinya divonis, dan kini sedang dirawat di rumah sakit yang sama, terbaring persis di sebelah tempat tidurnya. Mereka berdua saling bertatapan dalam ketiadapastian akan sembuh.
Warga segera membubarkan diri begitu mendengar penjelasan Sarmiji. Ia dan istrinya kembali masuk ke dalam rumah dengan suasana hati muram. Anak gadis mereka, Eta, yang mengidap tunagrahita berat sejak dari lahir, tak henti-hentinya menangis sejak Pidil tak lagi tinggal di rumah itu. Segala macam mainan yang disodorkan ayah dan ibunya tak dapat menghiburnya.
”Sepertinya putri kita sedang jatuh cinta, Ma,” ucap Sarmiji, lirih, sambil merangkul pundak istrinya. (*)
Abul Muamar, lahir dan besar di Perbaungan, Serdangbedagai. Menulis kumpulan cerpen berjudul Pacar Baru Angelina Jolie (Gorga, 2019)