Hagia Sophia, Saksi Perjalanan Sejarah Turki, dan Ambisi Erdogan
Hagia Sophia didirikan sebagai gereja pada 532. Kala merebut Konstantinopel, kekaisaran Utsmani mengubah Konstantinopel menjadi Istanbul dan Hagia Sophia dijadikan masjid. Sejak 1931, Hagia Sophia jadi museum.
Sudah lebih dari 1.400 tahun, Hagia Sophia—bangunan bersejarah dan salah satu ikon wisata kota Istanbul, Turki—memikat warga dunia. Bangunan itu juga telah menjadi saksi sejarah pergantian era, dengan penguasa dan tradisi yang berbeda-beda, di wilayah tersebut.
Di bawah Kekaisaran Bizantium, bangunan itu merupakan gereja katedral utama. Pada masa Kekhalifahan Ottoman, gedung tersebut digunakan sebagai masjid. Dan pada masa Turki modern, bangunan itu diubah menjadi museum yang menjadi daya tarik jutaan turis setiap tahun.
Kini, bangunan peninggalan abad ke-6 tersebut menjadi pusat perdebatan panas di kalangan berbagai kelompok di Turki saat ini. Kelompok nasionalis, kelompok konservatif, dan kelompok agama berupaya mendorong perubahan bangunan itu menjadi masjid. Namun, langkah itu ditentang kelompok lainnya yang ingin situs Warisan Dunia UNESCO itu tetap menjadi museum. Di mata kelompok terakhir ini, Hagia Sophia—atau juga biasa disebut Ayasofya—melambangkan status Istanbul sebagai jembatan antarbenua dan kebudayaan.
Perdebatan seputar status Hagia Sophia kini menjadi isu internasional setelah Amerika Serikat (AS) dan Yunani ikut angkat bicara. Dua negara itu menentang pengubahan status bangunan tersebut. Yunani bahkan telah mengirim surat protes kepada UNESCO, menolak upaya perubahan status Hagia Sophia.
Hari Kamis (2/7/2020) ini, Pengadilan Tata Usaha Negara Turki dijadwalkan akan membuat keputusan penting terkait dengan status Hagia Sophia: apakah tetap menjadi museum atau diubah menjadi masjid. Kantor berita Turki, Anadolu, melaporkan bahwa keputusan pengadilan bisa keluar pada Kamis ini atau hingga dalam waktu dua pekan ke depan.
Hagia Sophia didirikan sebagai gereja pada 532 atas perintah Kaisar Justinian I. Raja Kekaisaran Barat atau Bizantium itu memerintahkan pembangunan gereja pengganti setelah gereja lama rusak akibat perang. Konstantinopel—kini bernama Istanbul—dipilih sebagai lokasi pembangunan gereja baru itu.
Sampai abad ke-15, Hagia Sophia berfungsi sebagai gereja untuk Katolik ataupun Kristen ortodoks. Pada pertengahan abad ke-15, Konstantinopel direbut oleh pasukan Turki Utsmani di bawah Mehmed II. Nama Konstantinopel diubah menjadi Istanbul. Jatuhnya Konstantinopel diikuti dengan perubahan fungsi Hagia Sophia dari gereja menjadi masjid. Fungsi itu berlangsung pada 1453 hingga 1931.
Selama menjadi masjid, sejumlah bangunan dibuat hingga menjadi kompleks Hagia Sophia yang dikenal sekarang. Menara-menara perlahan ditambahkan sejak 1451. Aneka renovasi dilakukan untuk menjaga keutuhan bangunan yang kini berusia hampir 1.500 tahun itu.
Setelah Kekhalifahan Utsmani runtuh selepas Perang Dunia I, Pemerintah Turki di bawah Mustafa Kemal Ataturk mencabut status masjid dari Hagia Sophia. Sejak 1935 sampai sekarang, Hagia Sophia menjadi museum dan terbuka untuk umum. Hagia Sophia menjadi salah satu tujuan wisata terpenting di Istanbul.
”Sebagai museum, Hagia Sophia berfungsi sebagai tempat dan lambang dialog dan hidup berdampingan dalam kedamaian bagi masyarakat dan kebudayaan, saling pengertian dan solidaritas di antara Islam dan Kristen,” kata Patriarch Bartholomew I, Pemimpin Tertinggi Gereja Orthodoks Timur.
Baca juga: Akar Sejarah Konflik dan Harmoni Arab, Persia, Turki
Dewan Negara, pengadilan tertinggi untuk urusan tata negara di Turki, bukan kali ini saja memeriksa permintaan pengubahan Hagia Sophia. Pada 2005, lembaga itu menolak permintaan sejumlah pihak yang ingin mencabut status Hagia Sophia sebagai museum. Pada 2018, Mahkamah Konstitusi Turki juga menolak permintaan tersebut.
Perubahan sikap Erdogan
Kegagalan di dua pengadilan itu tidak menyurutkan keinginan sejumlah kelompok di Turki untuk menjadikan Hagia Sophia sebagai masjid. Apalagi, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan berubah sikap pada 2019 dan secara terbuka mendukung perubahan itu. Sejak jadi Wali Kota Istanbul pada 1994 sampai akhirnya menjadi Presiden Turki, Erdogan hampir tidak pernah bersuara soal perdebatan mengubah status Hagia Sophia.
Sejumlah pengamat meyakini, Erdogan—seorang pemimpin populis yang selama berkuasa hampir dua dekade di Turki sering menyoroti para elite sekuler di negaranya sebagai sumber masalah—memanfaatkan perdebatan seputar Hagia Sophia untuk mengonsolidasikan basis dukungan dari kelompok konservatif. Selain itu, ia juga dinilai tengah mengalihkan perhatian dari substansi persoalan ekonomi Turki.
”Ini bukan sekadar masalah bangunan,” ujar Soner Cagaptay, analis Turki pada lembaga Washington Institute. ”Ataturk menjadikan Hagia Sophia sebagai museum untuk menegaskan visinya tentang sekularisasi Turki. Dan hampir 100 tahun kemudian, Erdogan berupaya melakukan hal sebaliknya.”
Baca juga: Ekonomi Turki Lumpuh
”(Erdogan) merasakan tekanan penurunan dukungan dan karena itu dia menggunakan isu-isu yang diharapkannya akan menggalang ulang dukungan di kalangan sayap kanan dengan berdasarkan topik-topik warga pribumi, populis, dan anti-elitis,” tambah Cagaptay.
Mantan anggota parlemen Turki, Aykan Erdemir, menyebut keputusan pengadilan soal Hagia Sophia hanya akan bersifat simbolis. ”Keputusan pengadilan akan memberi aura pengesahan pada perubahan museum menjadi masjid walakin itu tidak wajib,” ujar Erdemir, pria yang kini menjabat Direktur Program Turki pada Foundation for Defense of Democracies.
Anggota parlemen Turki dari jalur perseorangan, Ozturk Yilmaz, berpendapat, gugatan mengubah status Hagia Sophia bukan masalah h ukum. ”Kalau pemerintah mau mengubah museum menjadi masjid, hanya diperlukan dekrit presiden. Pengadilan hanya memberi pengesahan,” ujarnya.
Isu internasional
Masalahnya, pengubahan itu akan menjadi isu internasional. ”Perdebatannya tidak hanya di dalam Turki, tetapi juga antara Ankara dan Uni Eropa, Yunani, bahkan Amerika Serikat,” kata akademisi Turki yang menjadi peneliti di Robert Bosch Academy, Galip Dalay.
Baca juga: Erdogan Akui Kekalahan
Rabu kemarin, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengeluarkan pernyataan berisi imbauan kepada Turki untuk tetap menjaga Hagia Sophia sebagai museum. Hal itu menjadi bukti komitmen Turki pada penghormatan atas keyakinan dan keragaman sejarah. ”Kami mendesak Pemerintah Turki tetap menjaga Hagia Sophia sebagai museum,” ujarnya.
Pernyataan Pompeo langsung direspons Ankara. Jubir Kementerian Luar Negeri Turki Hami Aksoy mengungkapkan keheranannya atas komentar Pompeo. Turki, kata Aksoy, selalu menjaga nilai-nilai sejarah, budaya, dan sentimen Hagia Sophia sejak penaklukan Konstantinopel. Aksoy menegaskan, isu Hagia Sophia adalah isu domestik. ”Hagia Sophia, seperti aset-aset kebudayaan Turki lainnya di tanah kami, adalah properti milik Turki," katanya.
Keberatan juga disampaikan Yunani. ”Saya berharap Presiden Erdogan tidak meneruskan sesuatu yang akan melukai Turki,” ujar Nikos Dendias, Menteri Luar Negeri Turki. ”Monumen ini telah mengalami banyak hal, dan hal ini akan selalu terulang, tetapi citra Turki bakal sangat terpukul.”
Media-media Turki melaporkan, Pemerintah Turki mempertimbangkan kemungkinan untuk mempertahankan Hagia Sophia tetap terbuka bagi wisatawan meski andaikata bangunan itu diubah menjadi masjid. Sama seperti Masjid Biru, Istanbul, yang berada tepat di seberang Hagia Sophia dan berfungsi sebagai masjid ataupun tujuan wisata.
Hurriyet dan media lainnya menyebutkan, Hagia Sophia bisa diubah lagi menjadi masjid pada hari libur nasional pada 15 Juli mendatang saat Turki memperingati empat tahun keberhasilan mereka menggagalkan kudeta. Cagaptay, analis Turki, mengatakan bahwa isu Hagia Sophia diperkirakan hanya akan ”memberi dampak sementara dalam menjaga basis dukungan terhadap dia (Erdogan)”.
”(Tetapi) jika dia tidak mampu mewujudkan pertumbuhan ekonomi, saya tidak melihat dia akan memenangi pemilu-pemilu, seperti yang dia dapatkan pada masa lalu,” ujar Cagaptay. (AP/AFP)