Hotel Melati Tolak Mati Ketika Pandemi
Industri perhotelan kelas melati di pantai utara Jawa Barat menanggung beban ganda. Hotel dengan tarif murah itu harus mengeluarkan biaya tambahan di tengah minimnya tamu. Berbagai upaya pun dilakukan agar tidak mati.
Industri perhotelan kelas melati di pantai utara Jawa Barat menanggung beban ganda. Hotel dengan tarif murah itu harus mengeluarkan biaya tambahan di tengah minimnya tamu. Berbagai upaya pun dilakukan agar tidak mati saat pandemi.
Hotel Srikandi di jalur pantai utara, Tuparev, Kabupaten Cirebon, ditelan sepi, Rabu (1/7/2020) siang, tidak tampak satu pun kendaraan di tempat parkir. Sebuah sepeda motor karyawan bahkan dimasukkan ke lobi hotel bersama gerobak roti.
Etalase yang biasanya berisi makanan ringan dan minuman kini nyaris kosong. Lemari resepsionis masih dipadati kunci kamar. Hanya televisi yang ribut tak keruan menyiarkan sinetron tentang perceraian artis papan atas Indonesia yang kini tinggal di Malaysia.
”Dari 22 kamar, hanya satu yang terisi,” ucap Amirah, manajer sekaligus resepsionis Hotel Srikandi. Dari tujuh karyawan, hanya tiga orang yang masuk kerja. Selebihnya terpaksa di rumahkan. Gaji mereka dipotong.
Baca juga : Perhotelan Terpuruk, Pendapatan Daerah Kota Cirebon Rentan Anjlok
Akhir Maret lalu, hotel yang berdiri sejak 1987 ini terpaksa tutup akibat pandemi Covid-19. Bahkan, ketika pembatasan sosial berskala besar (PSBB) selama dua pekan, jalur Tuparev yang menghubungkan Kabupaten dan Kota Cirebon ditutup pada sore hari demi membatasi mobilitas warga.
Pertengahan Juni lalu, seiring pelonggaran PSBB, hotel ini mulai beroperasi. Namun, hanya 1-3 kamar yang terisi per hari. Padahal, pada hari normal, okupansinya bisa mencapai 80 persen.
Tamunya yang didominasi tenaga penjuala (sales) asal Jakarta dan Bandung belum sepenuhnya bekerja. ”Kami sudah kirim pesan Whatsapp bahwa hotel sudah buka kepada sekitar 10 pelanggan. Tetapi, jawabannya, mereka masih khawatir Covid-19,” ungkapnya.
Pihaknya sebenarnya sudah berupaya menerapkan protokol kesehatan. Tamu, misalnya, diwajibkan mengenakan masker dan langsung mencuci tangan di wastafel saat masuk hotel. Kamar juga dibersihkan setiap hari meski tanpa tamu. Namun, pihaknya tidak melarang tamu dari daerah episentrum Covid-19, seperti Jakarta. Tamu diwajibkan menulis riwayat perjalanan dan tujuannya.
Menurut Amirah, pihaknya sudah kewalahan jika harus mengeluarkan dana tambahan untuk pengadaan berbagai fasilitas terkait protokol kesehatan. Tarif kamar saja dipangkas dari Rp 190.000 menjadi Rp 150.000 per malam demi menarik tamu. Kamar itu memiliki fasilitas dua tempat tidur, televisi, pendingin ruangan, dan kamar mandi.
Hotel melati sudah kewalahan jika harus mengeluarkan dana tambahan untuk pengadaan berbagai fasilitas terkait protokol kesehatan. Tarif kamar saja dipangkas dari Rp 190.000 menjadi Rp 150.000 per malam demi menarik tamu.
Pemerintah setempat, lanjutnya, memberi keringanan pengurangan pembayaran pajak sebesar 25 persen selama Maret hingga Mei. Dalam kondisi normal, hotel yang beberapa kali meraih penghargaan pembayar pajak teladan ini membayar pajak lebih dari Rp 5 juta per bulan.
”Kami berharap pengurangan pajak ini berlanjut karena tamu masih sepi,” ucap Amirah yang sudah bekerja sekitar 10 tahun di hotel tersebut. Apalagi, pihaknya masih membayar listrik sekitar Rp 2 juta per bulan meski sempat tutup sekitar tiga bulan.
Pajak reklame yang hanya berukuran sekitar 120 sentimeter x 80 sentimeter juga dikabarkan naik tahun ini, dari Rp 400.000 menjadi Rp 500.000. ”Kenapa naiknya harus tahun ini? Kan, lagi pandemi. Gaji kami saja berkurang,” ujarnya.
Baca juga : Daerah Pantura Surabaya-Semarang Berisiko Tinggi Covid-19
Amirah bahkan sampai menjual roti di depan hotel saat sore hari. Beruntung, pemilik hotel mengizinkannya. Penghasilan sekitar Rp 100.000 per hari, lanjutnya, cukup membantu membayar pengobatan ibunya yang hanya terbaring lemah di tempat tidur.
”Hotel melati lainnya juga kondisinya sama, bahkan banyak yang sempat tutup,” ucap Amirah yang beberapa kali ikut pertemuan dengan pengurus Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Kabupaten Cirebon. Dari 23 hotel, sebanyak 17 hotel merupakan kelas melati dengan 421 kamar dan 541 tempat tidur.
Di Kota Cirebon, Hotel Cordova juga belum pulih meski telah beroperasi pasca-penutupan lebih dari dua bulan. ”Hari ini cuma ada satu tamu dari 30 kamar. Itu juga mau pulang,” ucap Faridah, karyawan Hotel Cordova.
Padahal, tarif kamar hotel yang berjarak sekitar 50 meter dari Stasiun Kejaksan itu mulai Rp 95.000 per malam. Sebagian besar tamu hotel merupakan pelaku perjalanan dari luar kota, seperti Jakarta dan Bandung. Sepinya hotel sempat memaksa 10 karyawan dirumahkan.
Perjalanan kereta api yang belum beroperasi penuh menjadi salah satu penyebabnya. Per 1 Juli, PT Kereta Api Indonesia Daerah Operasi III Cirebon hanya mengoperasikan delapan perjalanan atau sekitar 6 persen dari total 134 KA reguler per hari.
Demi mengantisipasi penyebaran Covid-19, pihaknya menerapkan protokol kesehatan, seperti mewajibkan karyawan dan tamu mengenakan masker dan mencuci tangan. Cairan antiseptik juga tersedia di meja resepsionis.
Selama ini, hotel kelas melati juga turut mendongkrak wisatawan. Dari 68 hotel di kota seluas 37 kilometer persegi itu, sebanyak 47 merupakan hotel kelas melati dengan harga lebih terjangkau. Pada 2019, sebanyak 126.551 wisatawan Nusantara dan 9.062 wisatawan mancanegara menginap di hotel nonbintang itu. Apabila banyak orang mengatakan hotel melati hanya pelengkap, pemikiran itu jelas keliru jika merujuk data di atas.
Pada 2019, sebanyak 126.551 wisatawan Nusantara dan 9.062 wisatawan mancanegara menginap di hotel melati.
Kewalahan
Upaya menolak mati di tengah pandemi juga dilakukan hotel kelas melati di Karawang, Jabar. Rabu, kesibukan di Hotel Pondok Ratu, Karawang, menunjukannya.
”Kringgg….”
Telepon jadul itu berteriak kencang mengusik Maman NP (61), pengelola Hotel Pondok Ratu, Karawang. Dari ujung telepon, seorang tamunya memesan dua gelas teh manis. Dia meminta pesanan itu untuk diantar ke kamar.
Ia pun meminta petugas lain bergegas. Mengenakan masker, petugas itu lalu mencuci tangannya. Pandemi mengubah kebiasaan di hotel. Begitu pun para tamu lain, mereka juga wajib mencuci tangan. Pihak hotel menghabiskan biaya lebih dari Rp 1 juta untuk memasang wastafel merah muda di dekat pintu. Bagi mereka, biaya sebesar itu jelas bukan harga yang murah.
Alat pengukur suhu tubuh juga tersedia di meja resepsionis. Semua kamar pun disemprot disinfektan setiap dua hari sekali. Pihaknya tetap berusaha mengantisipasi penyebaran Covid-19 di tengah upaya menggerakkan roda perekonomian.
Baca juga : Usaha Hidupkan Sunyi Wisata di Kota Wali
Dari 40 kamar, hanya 50 persen yang disiapkan demi membatasi pengunjung. Hari ini, jumlah kamar yang terisi merupakan yang terbanyak, 17 kamar. Mayoritas tamu berasal dari Jakarta.
Hotel Grand Mutiara, Karawang, juga berbuat hal yang sama. Pengelola hotel harus harus membeli sarung tangan bagi karyawannya. Sarung tangan plastik digunakan untuk melindungi tangan petugas saat membersihkan kamar tamu yang sudah selesai menginap.
Siang itu, ada lima kamar yang terisi dengan harga sewa berkisar Rp 100.000-Rp 200.000 per malam. Selama pandemi, tingkat keterisian hotel paling banyak hanya 10 unit dari total 50 kamar per hari. Mereka adalah sopir-sopir angkutan dan keluarga yang transit sebentar untuk istirahat.
Untuk menghemat biaya operasional, pihaknya terpaksa merumahkan enam orang dari total 12 karyawan. ”Kami berupaya maksimal mengikuti protokol dengan menyesuaikan budget yang ada,” kata Agus S (28), Kepala Hotel Grand Mutiara, yang merangkap resepsionis.
Kami berupaya maksimal mengikuti protokol dengan menyesuaikan budget yang ada.
Akan tetapi, kedua hotel melati ini tak menyediakan sekat pembatas khusus di meja resepsionis. Para karyawan juga tidak mengenakan pelindung wajah. Keterbatasan anggaran menjadi tantangan yang mereka hadapi. Pembelian atribut tersebut membutuhkan biaya yang tak sedikit.
Modal hotel melati memang tidak sekuat hotel berbintang. Sejak April 2020, Resinda Hotel, Karawang, misalnya, sudah memulai penerapan protokol dengan mewajibkan petugas menggunakan pelindung wajah dan sarung tangan lateks.
Pada bagian resepsionis juga disediakan pembatas untuk mencegah penularan langsung. Penyemprotan disinfektan dilakukan berkala di setiap bagian. Sistem tanpa sentuhan diterapkan pada lift dan cairan antispetik di lobi hotel bintang empat ini.
General Manager Resinda Hotel Ruth Hutapea menyebutkan, saat ini penambahan tingkat keterisian hotel mencapai 50 persen dari normal, yakni sekitar 75 kamar dari total 253 kamar. Angka ini lebih besar dibandingkan sebelumnya, yakni rata-rata keterisian 50 kamar.
Berbagai promo di laman hotel ditawarkan untuk menarik minat tamu. ”Secara bertahap ada peningkatan, tetapi memang belum signifikan,” katanya.
Seiring penerapan tatanan hidup normal baru, industri hotel berharap kembali menggeliat. Tidak terkecuali hotel kelas melati, yang selama ini menjawab kebutuhan para tenaga penjualan hingga wisatawan dengan dana terbatas atau tidak kebagian tidur di hotel berbintang.